KABARBURSA.COM - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi menunda kebijakan tarif baru ke sejumlah negara selama 90 hari dimulai sejak pengumuman pada Rabu, 9 April 2025. Penangguhan tarif ini dinilai membawa efek positif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang ditutup menguat 4,79 persen ke level 6.254 pada perdagangan Kamis, 10 April 2025.
Pengamat pasar modal sekaligus Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan aksi tersebut mampu menenangkan pelaku pasar hingga memicu reli serentak di bursa Asia dan Eropa.
"Dan memberi ruang bagi investor untuk kembali masuk ke aset berisiko, termasuk saham Indonesia," ujar dia kepada KabarBursa.com, Jumat, 11 April 2025.
Namun, di tengah penguatan IHSG, Hendra melihat masih ada sejumlah hal yang perlu diwaspadai. Salah satunya adalah aksi jual bersih (net sell) oleh investor asing yang tercatat mencapai Rp632 miliar pada hari yang sama.
Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa penguatan IHSG belum sepenuhnya didukung oleh arus modal asing. Di sisi lain, ketegangan antara AS dan China juga belum sepenuhnya mereda.
"Terutama setelah AS tetap menaikkan bea masuk produk Tiongkok menjadi 125 persen, dan dibalas oleh tarif 84 persen dari pihak Beijing. Sentimen global yang rapuh ini membuat pasar tetap bergerak dalam volatilitas tinggi," jelasnya.
Hendra menyebut, IHSG kini mengincar resistance di area 6.418, dan jika mampu menembus, target berikutnya berada di 6.600 – 6.800.
"Potensi yang bukan mustahil, asalkan kombinasi katalis makro dan penguatan sektor-sektor utama mampu terjaga secara konsisten," kata Hendra.
Selain itu, Hendra menyatakan musim pembagian dividen yang segera dimulai menjadi katalis tambahan bagi IHSG. Sejumlah emiten terutama sektor perbankan dan konsumer, kata dia, diperkirakan akan membagikan dividen dalam jumlah besar.
"Namun, efek ex-date dan potensi aksi profit taking tetap harus diantisipasi. Investor disarankan selektif dan fokus pada emiten yang tak hanya memberi dividen tinggi, tetapi juga memiliki pertumbuhan laba berkelanjutan," pungkasnya.
Revisi ARB dan Trading Halt Dinilai Efektif
Langkah Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam merevisi peraturan auto rejection bawah (ARB) dan trading halt dinilai efektif.
Sebelumnya, BEI resmi melakukan penyesuaian terhadap perubahan panduan penanganan kelangsungan perdagangan dalam kondisi darurat usai libur panjang lebaran 2025.
Adapun ketentuan tersebut memberlakukan, trading halt selama 30 menit jika IHSG mengalami penurunan mendalam hingga lebih dari 8 persen.
Kemudian, trading halt dilakukan selama 30 menit apabila IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 15 persen. Lalu yang ketiga, trading suspend apabila IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 20 persen.
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan kebijakan merevisi ARB dan trading halt sukses mencegah penurunan mendalam I.
"Memang peraturan baru tersebut bertujuan sebagai bagian dari mitigasi risiko manakala performa IHSG negatif," ujar dia saat dihubungi KabarBursa.com, Kamis, 10 April 2025.
Meski peraturan tersebut sudah diumumkan BEI, IHSG masih terkoreksi cukup dalam sebesar 9,9 persen pada pembukaan perdagangan Selasa, 8 April 2025 hingga akhirnya BEI melakukan trading halt.
Meski begitu, Nafan melihat kinerja IHSG masih relatif baik ketimbang bursa saham di negara Asia lainnya dan Eropa yang melemah hingga 10 persen pada pekan lalu.
"Jadi sejauh ini efektif kalau menurut saya kebijakan yang ditempuh oleh Bursa Efek Indonesia terkait dengan peraturan trading hall maupun juga ARB," katanya.
Manfaatkan Jeda 90 Hari Tarif AS
Langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani memanfaatkan jeda 90 hari yang diberikan Amerika Serikat untuk menyusun kerangka kerja sama ekonomi bersama negara-negara ASEAN dinilai sebagai bentuk diplomasi strategis yang patut diapresiasi.
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi menilai di tengah tekanan tarif sepihak dari Washington, Indonesia justru bergerak membangun solidaritas regional untuk memperkuat posisi tawar kawasan.
“Di tengah tekanan tarif sepihak dari Amerika Serikat, Indonesia tidak hanya merespons secara bilateral, tetapi juga memilih membangun solidaritas regional sebagai upaya memperkuat posisi tawar kolektif,” ujar Syafruddin dalam keterangannya di Jakarta, Kamis 10 April 2025.
Menurutnya, strategi ini tepat karena mengarah pada pembentukan kekuatan kolektif di tengah ketegangan perdagangan global. Namun ia menekankan bahwa langkah tersebut tidak boleh berhenti pada tataran diplomasi semata. Kerangka kerja sama yang digagas harus diwujudkan dalam bentuk aksi nyata yang dapat memperkuat ketahanan ekonomi kawasan.
“Kerangka kerja sama ini harus benar-benar diwujudkan dalam agenda konkret, seperti penguatan rantai pasok regional, harmonisasi standar industri, dan perluasan pasar intra-ASEAN—agar tidak berhenti pada retorika diplomatik,” jelasnya.
Lebih jauh, Syafruddin menjelaskan bahwa dalam konteks game theory, strategi membentuk aliansi seperti ini sangat penting bagi negara berkembang untuk menyeimbangkan dominasi negara adidaya yang makin agresif dalam kebijakan perdagangannya.
“Dalam konteks game theory, strategi ini merupakan langkah membentuk koalisi negara berkembang untuk menyeimbangkan kekuatan negara adidaya yang makin agresif,” terang dia.
Apabila dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan, menurutnya, Indonesia tidak hanya memperkuat daya tahan ekonomi nasional, tetapi juga berpotensi menjadi motor penggerak transformasi ASEAN sebagai kekuatan ekonomi global yang lebih mandiri dan dihormati.
“Jika dijalankan secara konsisten, Indonesia bukan hanya memperkuat daya tahan nasional, tetapi juga ikut memimpin transformasi ASEAN menjadi kekuatan ekonomi yang lebih mandiri, tangguh, dan dihormati dalam arsitektur global,” katanya.(*)