Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Harga Minyak Ambrol, Pasar Cemas Gara-gara Perang Dagang

Harga minyak dunia kembali anjlok lebih dari USD2 per barel setelah investor kembali khawatir terhadap perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang kian memanas.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 11 April 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Harga Minyak Ambrol, Pasar Cemas Gara-gara Perang Dagang Harga minyak dunia kembali anjlok lebih dari USD2 per barel setelah investor kembali khawatir terhadap perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM – Harga minyak dunia kembali tergelincir lebih dari USD2 per barel pada Jumat, 11 April 2025, dini hari WIB. Kenaikan yang sempat terjadi di sesi sebelumnya kini seolah tak berbekas, setelah investor mulai berpaling dari kabar penghentian sementara tarif AS dan kembali fokus pada perang dagang yang makin meruncing antara Washington dan Beijing.

Dilansir dari Reuters di Jakarta, Jumat, Minyak mentah AS jenis West Texas Intermediate (WTI) ditutup melemah USD2,28 atau turun tiga koma tujuh persen ke level USD60,07 per barel. Sementara itu, minyak Brent juga tak kalah terpukul, turun USD2,15 atau tiga koma tiga persen ke USD63,33 per barel.

Padahal sehari sebelumnya, kedua kontrak ini sempat melesat lebih dari dua dolar per barel setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan jeda penerapan tarif tinggi terhadap puluhan mitra dagangnya. Namun momen itu hanya bertahan seumur jagung. Dalam waktu kurang dari 24 jam, Trump malah menaikkan tarif untuk produk asal China hingga mencapai total 145 persen, seperti ditegaskan Gedung Putih pada Kamis kemarin.

Sebagai respons, China langsung membalas dengan tarif tambahan sebesar 84 persen atas barang impor dari AS. Kenaikan tarif ini diprediksi akan membuat ekspor minyak mentah AS ke China makin tersendat, yang pada akhirnya bisa menyebabkan penumpukan pasokan dan kenaikan cadangan minyak domestik. Firma penasihat perdagangan Ritterbusch and Associates menyampaikan hal ini dalam catatan kepada kliennya.

Data dari pelacak kapal Kpler menunjukkan ekspor minyak mentah AS ke China anjlok ke 112.000 barel per hari pada Maret, turun nyaris separuh dari rata-rata tahun lalu yang sebesar 190.000 barel per hari.

“Kalau sengketa dagang ini berlanjut, dampaknya terhadap perekonomian global bisa sangat besar,” ujar Henry Hoffman, co-portfolio manager di Catalyst Energy Infrastructure Fund.

Laporan pemerintah AS yang dirilis Rabu lalu juga memperlihatkan cadangan minyak mentah meningkat 2,6 juta barel dalam sepekan, hampir dua kali lipat dari proyeksi konsensus analis yang memperkirakan kenaikan 1,4 juta barel. Analis Macquarie bahkan memperkirakan cadangan akan terus bertambah dalam laporan pekan ini.

Di saat bersamaan, AS juga tetap melanjutkan rencana penerapan tarif tambahan sepuluh persen terhadap seluruh produk impornya. Badan Informasi Energi AS (EIA) pada Kamis menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dan memperingatkan bahwa tarif bisa memberikan tekanan berat terhadap harga minyak. EIA juga merevisi turun proyeksi permintaan minyak baik untuk tahun ini maupun tahun depan.

“Ekspektasi penurunan permintaan akibat tarif serta bayang-bayang resesi di AS akan tetap menjadi kekhawatiran utama pelaku pasar, dan kemungkinan besar akan menahan kenaikan harga minyak dalam waktu dekat,” catat Ritterbusch and Associates.

Harga Minyak bisa Terus Merosot Hingga 2026

Proyeksi Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) mengindikasikan harga minyak kemungkinan akan tetap murah hingga setidaknya dua tahun ke depan. Dalam laporan tersebut, EIA memperkirakan harga rata-rata minyak Brent sepanjang 2025 akan berada di kisaran USD81 per barel (sekitar Rp1,34 juta). Angka ini diperkirakan turun menjadi USD74 (Rp1,22 juta) pada 2025 dan terus melemah ke USD66 (Rp1,09 juta) pada 2026.

Turunnya harga minyak ini bukan sekadar efek dari tensi geopolitik atau keputusan OPEC+ untuk mengatur suplai. Yang lebih menentukan adalah pertumbuhan pasokan global yang melaju jauh lebih cepat ketimbang pemulihan permintaan. Negara-negara produsen di luar OPEC+ justru tampil agresif meningkatkan output mereka, membuat pasar kelebihan pasokan dan harga kian melemah.

Kendati begitu, ada satu faktor yang berpotensi membalik arah tren, yakni sanksi energi baru dari pemerintah Amerika Serikat terhadap Rusia yang diumumkan pada awal Januari 2025. Jika sanksi ini berhasil menekan volume ekspor Rusia secara signifikan, maka suplai global bisa terganggu dan harga minyak kemungkinan besar akan naik kembali.

Namun hingga skenario itu benar-benar terjadi, EIA tetap memperkirakan tren penurunan harga akan berlanjut dalam jangka menengah. Permintaan energi dunia yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi, ditambah dengan stok minyak global yang masih melimpah, menciptakan tekanan ganda yang menahan harga tetap di bawah.

OPEC+ Tambah Produksi

Harga minyak dunia makin tak punya ruang untuk bernapas setelah OPEC dan sekutunya di aliansi OPEC+ memutuskan mempercepat rencana kenaikan produksi. Aliansi produsen ini kini berencana mengembalikan pasokan sebanyak 411 ribu barel per hari (bph) ke pasar mulai Mei 2025—naik drastis dari rencana awal yang hanya 135 ribu bph.

Faktor penekan lainnya datang dari Laut Hitam. Konsorsium Pipa Kaspia (CPC) menyatakan pengadilan Rusia memutuskan fasilitas ekspor mereka tetap bisa beroperasi. Putusan ini menghindarkan Kazakhstan dari potensi penurunan produksi dan gangguan pasokan minyak global.

Meskipun impor minyak mentah, gas, dan produk olahan masih dikecualikan dari tarif baru Trump, kebijakan dagang yang agresif ini tetap berisiko memicu inflasi, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan memperkeruh perseteruan dagang global—semuanya menjadi sentimen negatif bagi harga minyak.

Merespons kondisi ini, analis Goldman Sachs memangkas target harga minyak untuk Desember 2025 sebesar USD5 masing-masing. Brent diprediksi berada di angka USD66 (sekitar Rp1,08 juta), sementara WTI di angka USD62 (sekitar Rp1,01 juta).

“Kami melihat risiko penurunan lanjutan pada proyeksi harga ini, apalagi untuk 2026, karena ancaman resesi yang makin besar dan—meski lebih kecil—potensi tambahan pasokan dari OPEC+,” tulis Kepala Riset Minyak Goldman Sachs, Daan Struyven, dalam catatan resminya.

Sementara itu, HSBC juga memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global pada 2025. Dari semula 1 juta barel per hari menjadi hanya 900 ribu barel, karena efek dari tarif dagang dan keputusan OPEC+.(*)