Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Rupiah Menguat Terdorong Berkurangnya Kekhawatiran Resesi AS

Pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi mengatakan katalis yang membuat rupiah menguat ialah karena pasar mengurangi beberapa ekspektasi untuk resesi Amerika Serikat.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 10 April 2025 | Penulis: Hutama Prayoga | Editor: Yunila Wati
Rupiah Menguat Terdorong Berkurangnya Kekhawatiran Resesi AS Menghitung rupiah. Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji

KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah ditutup menguat 49 poin ke level Rp16.823 terhadap dolar AS pada perdagangan Kamis, 10 April 2025. Penguatan mata uang Indonesia ini ditopang oleh beberapa sentimen. 

Pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi mengatakan, katalis yang membuat rupiah menguat ialah karena pasar mengurangi beberapa ekspektasi untuk resesi Amerika Serikat. 

"Namun, prospek ekonomi jangka pendek tetap tidak pasti, dengan risalah rapat Federal Reserve bulan Maret menunjukkan para pembuat kebijakan gelisah atas inflasi yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang lebih lambat," ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 10 April 2025.

Ibrahim menyebut kekhawatiran akan resesi juga mereda setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan perpanjangan 90 hari untuk memberlakukan putaran tarif timbal balik terbarunya. 

Menurut dia, pasar masih tetap waspada terhadap agenda kebijakannya, terutama mengingat perubahan sikapnya baru-baru ini terkait tarif. 

"Perang dagang yang meningkat dengan Tiongkok juga menghadirkan hambatan ekonomi yang berkelanjutan bagi AS, mengingat negara tersebut masih menjadi mitra dagang utama," katanya. 

Adapun untuk proyeksi besok, Jumat, 11 April 2024, Ibrahim memperkirakan mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat direntang  Rp16.750 - Rp16.830.

Perlu diketahui, pada kemarin nilai tukar rupiah juga ditutup menguat sebesar 18 poin di level Rp16.872 dari terhadap dolar AS. 

Ibrahim mengatakan, penguatan rupiah hari ini dipicu oleh faktor eksternal yakni penambahan tarif sebesar 50 persen oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump kepada China. 

"Sehingga tarif kumulatif AS terhadap negara tersebut menjadi 104 persen. Angka tersebut jauh di atas 60 persen yang diancam oleh Donald Trump selama upaya kampanyenya tahun lalu," kata Ibrahim, kemarin. 

Tarif Trump bikin The Fed Galau Atur Suku Bunga

Sebelumnya diberitakan, Ketua Federal Reserve Jerome Powell sedang berada dalam posisi yang bikin kepala pening. Di tengah naiknya tensi ekonomi akibat tarif impor baru yang dikeluarkan Presiden Donald Trump, Powell kini dipaksa menari di antara dua kutub yang saling bertabrakan: inflasi dan resesi.

Tarif baru yang dijadwalkan mulai berlaku Rabu ini tak cuma membuat pelaku pasar kelabakan, tapi juga memicu spekulasi resesi. Banyak ekonom, pelaku usaha, dan investor khawatir lonjakan tarif ini bakal menekan belanja dan perekrutan tenaga kerja. Dalam situasi seperti itu, biasanya bank sentral akan memangkas suku bunga untuk meredam dampak pelemahan ekonomi.

Masalahnya, di saat yang sama, lonjakan tarif akan membuat harga barang impor—termasuk bahan baku industri dalam negeri—naik tajam. Ini bisa mendorong inflasi naik lebih cepat. Jadi, kalau suku bunga dipangkas, The Fed justru bisa dituding memperkeruh inflasi.

“Mereka ada di posisi serba salah,” kata mantan Gubernur The Fed, Laurence Meyer, dikutip dari The Wall Street Journal, Rabu, 9 April 2025.

Sejak dulu, tugas utama The Fed memang menjaga inflasi tetap rendah dan stabil, sembari memastikan pasar tenaga kerja sehat. Tapi, menurut Riccardo Trezzi, mantan ekonom The Fed yang kini mendirikan firma konsultasi Underlying Inflation di Jenewa, “Pemerintahan ini sudah menghasilkan kejutan paling buruk buat The Fed dan sekarang mereka tak bisa berbuat apa-apa.”

Dalam pernyataan pekan lalu, Powell menyebut The Fed belum butuh terburu-buru memotong suku bunga. Ini sinyal bahwa opsi rate cut masih jauh dari meja rapat. “Nanti juga bakal ketahuan seiring waktu. Kita belum bisa pastikan kapan tepatnya, tapi proses pembelajarannya sedang berlangsung,” ujarnya.

Meski begitu, pasar tetap yakin pemangkasan suku bunga akan dilakukan akhir tahun ini. Alasannya, tekanan ekonomi akibat tarif akan membuat perusahaan kehilangan daya untuk menaikkan harga yang artinya inflasi akan melambat usai lonjakan awal.

Namun di sisi lain, The Fed juga ogah memotong suku bunga terlalu cepat. Kalau kelemahan ekonomi berhasil diredam, inflasi bisa jadi justru akan bertahan lebih lama. Para pejabat Fed memberi sinyal akan lebih hati-hati dibanding krisis-krisis sebelumnya dan hanya akan bergerak setelah benar-benar melihat pelemahan pasar tenaga kerja.

“Kalau kamu pemain trapeze, jangan lompat dulu dari platform sebelum partnermu benar-benar lompat,” ujar Vincent Reinhart, kepala ekonom BNY Investments, menggambarkan kehati-hatian The Fed.

Sementara, keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menaikkan tarif resiprokal bikin pasar keuangan global terguncang. Di Indonesia, dampaknya bisa sangat nyata, yakni nilai tukar rupiah melemah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terancam terkoreksi pasca-Lebaran

“Pelemahan kurs rupiah diperkirakan berlanjut karena investor akan mencari aset yang lebih aman dan keluar dari negara berkembang,” kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, dalam keterangan tertulis, Kamis, 3 April 2025.

Bhima menilai, pelemahan rupiah tersebut berisiko memicu imported inflation. Harga barang-barang impor, terutama pangan dan produk sekunder seperti peralatan rumah tangga dan elektronik, akan terdongkrak. Daya beli masyarakat kelas menengah bawah pun terancam ikut terkikis.

Dari sisi pasar modal, Bhima memprediksi tekanan jual akan meningkat usai libur Lebaran. Risiko capital outflow masih tinggi dan dalam skenario terburuk, bukan tak mungkin terjadi trading halt jika panic selling melanda.

Namun di tengah badai tarif ini, ia menilai Indonesia justru bisa memanfaatkan peluang relokasi industri dari negara-negara yang terkena tarif tinggi. Tapi syaratnya tidak bisa semata mengandalkan tarif yang lebih rendah dibanding negara tetangga seperti Vietnam dan Kamboja.

Bhima menekankan pentingnya reformasi regulasi yang konsisten, penyederhanaan perizinan, serta stabilitas kebijakan domestik. Wacana-wacana kontroversial seperti RUU Polri dan RUU KUHAP, menurutnya, sebaiknya ditunda dulu demi menjaga iklim investasi.

Ia juga menggarisbawahi pentingnya kesiapan infrastruktur industri, ketahanan energi dari sumber terbarukan, dan pengembangan sumber daya manusia untuk mendorong daya saing jangka panjang. Ruang untuk memberikan insentif fiskal pun dinilai terbatas karena keberlakuan Global Minimum Tax, yang membuat negara-negara tak lagi bisa bebas bersaing lewat insentif pajak.

Namun dari sisi moneter, Indonesia dinilai masih punya ruang manuver. Bank Indonesia disebut Bhima masih memiliki cadangan devisa yang cukup untuk melakukan operasi pasar dan menjaga stabilitas nilai tukar. Bahkan, ruang untuk menurunkan suku bunga acuan dinilai terbuka demi memberi stimulus ke sektor riil yang terpukul dampak perang dagang.

“Bank Indonesia masih punya ruang untuk operasi moneter, saat cadangan devisa gemuk. BI bahkan bisa turunkan suku bunga acuan 50 bps, untuk stimulus sektor riil yang terdampak perang dagang,” kata Bhima.(*)