Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Hapus Kuota Impor Bisa Akhiri Rente: Tetap Ancam Petani!

Sistem tanpa kuota bukan tanpa risiko. Tanpa instrumen pengendali lain.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 10 April 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Pramirvan Datu
Hapus Kuota Impor Bisa Akhiri Rente: Tetap Ancam Petani! Ilustrasi petani. Foto: Abbas Sandji/Kabar Bursa

KABARBURSA.COM - Pengamat Pertanian, Khudori menyoroti instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus sistem kuota dalam impor pangan. Untuk diketahui, perintah tersebut dikarenakan elama ini kuota impor selain membatasi pengusaha dalam berbisnis juga hanya menguntungkan pihak tertentu. 

Oleh karena itu Presiden meminta Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan tidak lagi memakai kuota impor. Siapapun yang hendak mengimpor sebaiknya dibebaskan.

Ia menilai kebijakan ini berpotensi menghapus praktik rente dalam impor pangan. Namun di sisi lain, ia juga mengingatkan bahwa penghapusan kuota bukan berarti membuka keran impor secara bebas.

“Jika perintah Presiden dimaknai demikian (bebas impor tanpa regulasi), bukankah itu bertolak belakang dengan semangat kemandirian, semangat swasembada yang diusung Asta Cita?” ujar Khudori kepada Kabar Bursa, 10 April 2025.

Khudori menyebut sistem kuota selama ini memang rawan disalahgunakan. Namun menurutnya, perintah Presiden harus dimaknai sebagai dorongan untuk mencari instrumen alternatif selain kuota yang tetap mampu melindungi produsen domestik dari gempuran produk impor murah.

“Rezim kuota juga menyuburkan korupsi. Korupsi berulang di sektor pangan yang telah dihukum mayoritas terjadi karena rezim kuota,” kata dia.

Ia mencontohkan kasus-kasus korupsi impor pangan seperti kuota bawang putih, daging sapi, hingga gula yang menyeret politisi, birokrat, dan pengusaha.

Menurut Khudori, akar masalah terletak pada distribusi kuota yang tidak transparan dan membuka ruang favoritisme.

“Rezim kuota impor berpotensi melahirkan masalah hukum, baik dari aspek pidana maupun hukum persaingan usaha. Secara pidana, rezim kuota bisa memfasilitasi persekongkolan antara pemberi dan calon penerima kuota. Biasanya dimediasi politikus,” jelasnya.

Ia menambahkan, kuota impor yang dikendalikan lewat surat persetujuan impor (SPI) kerap menjadi “barang dagangan” yang memiliki harga. Dalam kasus impor bawang putih, kata Khudori, bahkan ditemukan adanya permintaan fee yang terus naik tiap tahun. 

“Tahun ini, diduga fee yang diminta naik menjadi Rp7.000–Rp8.000/kg. Secara hukum tentu tidak mudah untuk membuktikan adanya fee ini,” tegasnya.

Meski demikian, Khudori juga mengingatkan bahwa sistem tanpa kuota bukan tanpa risiko. Tanpa instrumen pengendali lain, petani, peternak, dan nelayan lokal akan terancam oleh serbuan produk impor yang lebih murah, karena harga di pasar global cenderung tidak mencerminkan daya saing riil akibat subsidi dan dukungan ekspor dari negara produsen.

“Harga pangan di pasar dunia bersifat distortif, baik karena subsidi, dukungan domestik maupun subsidi ekspor. Ini yang membuat harga pangan di pasar dunia murah,” ungkapnya.

 Oleh karena itu, menurut Khudori, perlindungan tetap harus ada agar produsen domestik tidak mati perlahan. Sebagai solusi, Khudori mengusulkan agar pemerintah menggunakan mekanisme tarif impor sebagai pengganti kuota. 

“Dengan tarif impor pemerintah tetap bisa melindungi produsen pangan domestik dari serbuan pangan impor yang distortif. Tinggal dihitung berapa tingkat tarifnya,” ujarnya.

Selain itu, penerapan tarif juga akan memberikan pemasukan negara yang dapat dialokasikan untuk insentif bagi produsen pangan dalam negeri. Yang terpenting, kata Khudori, mekanisme tarif tidak bertentangan dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

“Tarif juga memungkinkan negara untuk mendapatkan pemasukan baru dari tarif. Bukan mengalir ke para pencoleng seperti dalam rezim kuota,” tegasnya.

Cadangan Beras Pemerintah

Presiden RI Prabowo Subianto resmi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2025 tentang Pengadaan dan Pengelolaan Gabah/Beras Dalam Negeri serta Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (CBP), sebagai upaya memperkuat ketahanan pangan nasional dan mewujudkan swasembada beras.

Dalam Inpres tersebut, Prabowo menegaskan pentingnya menyerap hasil panen petani secara optimal guna memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri tanpa mengandalkan impor. Menurutnya, tanpa pangan, maka tidak ada negara. 

Presiden juga menekankan bahwa pangan adalah fondasi utama negara, sehingga para petani yang memproduksi pangan layak disebut sebagai tulang punggung bangsa.

"Alhamdulillah Bapak Presiden Prabowo telah mengeluarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2025. Tentu ini akan menjadi pedoman bersama pemerintah dengan Perum Bulog agar bagaimana dapat menyerap hasil panen petani kita secara maksimal," ujar Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) Arief Prasetyo Adi, melalui pernyataan resmi, dikutip Rabu, 9 April 2025.

Arief menambahkan, Inpres ini akan memperkuat instrumen perlindungan penyerapan gabah sesuai target dan mendukung pengelolaan stok CBP secara optimal. Ia menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk tidak lagi melakukan impor beras, sehingga produksi dalam negeri harus mampu memenuhi kebutuhan nasional.

“Pemerintah telah berkomitmen tidak ada impor beras lagi. Jadi produksi dalam negeri harus mampu memenuhi kebutuhan kita," kata Arief.

Berdasarkan Inpres tersebut, target pengadaan beras dalam negeri pada 2025 ditetapkan sebesar 3 juta ton. Pemerintah juga menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp 6.500 per kilogram untuk Gabah Kering Panen (GKP) dengan semua kualitas di tingkat petani. Penugasan pengadaan ini diberikan kepada Bulog berdasarkan keputusan rapat koordinasi bidang pangan.

Stabilisasi Pasokan Dan Harga Pangan

Selain untuk program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), cadangan beras pemerintah juga dialokasikan untuk bantuan pangan, tanggap darurat bencana, program makan bergizi gratis, hingga bantuan pangan luar negeri.

"Kalau instruksi untuk kami di Badan Pangan Nasional, meliputi menghitung kebutuhan anggaran dan memberi penugasan ke Bulog untuk penyelenggaraan CBP. Lalu menyusun struktur biaya HPP dan menetapkannya serta petunjuk teknis pengadaan gabah atau beras dalam negeri untuk CBP. Kompensasi dan margin penugasan yang wajar juga kami koordinasikan bersama Kementerian Keuangan," jelas Arief.

Lebih lanjut, Arief menekankan bahwa kecukupan stok CBP menjadi faktor penting dalam menjaga stabilitas harga dan pasokan pangan. Cadangan ini memungkinkan pemerintah melakukan intervensi pasar ketika terjadi fluktuasi harga ataupun untuk membantu masyarakat berpendapatan rendah.

"Kecukupan stok beras yang ada di Bulog itulah yang menopang stabilitas pasokan dan harga pangan, sebab dengan stok yang ada dan cukup, dapat dilakukan berbagai intervensi stabilisasi pangan seperti penyaluran beras SPHP dan bantuan pangan beras. Impaknya bisa kita lihat bahwa inflasi terjaga hingga hari ini," kata Arief.(*)