KABARBURSA.COM – Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas. Setelah Pemerintah Amerika Serikat secara tiba-tiba menaikkan tarif impor terhadap produk China hingga mencapai 125 persen.
Langkah ini memicu reaksi keras dari Pemerintah China yang langsung mengancam akan menerapkan tarif balasan dan bahkan memboikot film-film Hollywood sebagai bentuk protes. Dalam kondisi global yang penuh ketidakpastian ini, pelaku pasar pun menanti arah pergerakan pasar saham, termasuk dampaknya terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
"Kalau kita analogikan, saat ini Amerika Serikat dan China ibarat dua harimau di kebun binatang yang siap bertarung menunjukkan siapa yang lebih kuat. Naiknya tarif hingga 125 persen ini jelas mencerminkan tidak adanya pelonggaran diplomasi ekonomi," ujar sa Research Analyst Lotus Sekuritas, Muhammad Thoriq Fadilla dalam acara Bursa Pagi-Pagi pada Kamis, 10 April 2025.
Thoriq menjelaskan bahwa sebelumnya AS sudah menetapkan tarif brokal sebesar 104 persen dan dibalas oleh China sebesar 84 persen. Kini, tensi meningkat setelah lonjakan menjadi 125 persen, yang berpotensi memicu pembalasan tambahan dari Beijing.
Meski demikian, pasar sempat mendapat sentimen positif dari keputusan Presiden AS Donald Trump yang menunda penerapan tarif impor ke negara mitra selain China. Tarif yang semula direncanakan 30 hingga 40 persen, diturunkan menjadi 10 persen selama tiga bulan ke depan.
Keputusan tersebut memberi angin segar pada bursa Asia, termasuk indeks Nikkei yang melonjak hingga 7,62 persen. Thoriq berharap hal serupa terjadi pada IHSG.
"IHSG sempat melemah tajam hingga 9,16 persen dan terkena trading halt pada Selasa, 8 April 2025 kemarin. Tapi dengan adanya penundaan tarif ini, diharapkan ada perlawanan teknikal untuk menutup gap tersebut," ujarnya.
Terkait kemungkinan panic selling, Thoriq menilai hal itu kecil kemungkinannya terjadi saat ini, karena volume net sell asing pada perdagangan terakhir hanya sebesar Rp1,05 triliun, jauh di bawah net sell sebelumnya yang mencapai Rp3,5 triliun.
Dari sisi domestik, Thoriq menyoroti sentimen positif yang datang dari dividen jumbo Bank Himbara, seperti BBRI yang menetapkan dividen sebesar Rp208 per lembar saham dan BMRI sebesar Rp466.
"Euforia cum date dari BBRI menjadi katalis positif. Tapi perlu diwaspadai saat memasuki tanggal ex date karena berpotensi terjadi profit taking," kata Thoriq.
Ia juga menekankan bahwa dividen besar dari Bank Himbara merupakan modal awal bagi pendanaan Badan Pengelola Investasi Danantara, yang mengelola aset hingga Rp14.000 triliun. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa saham perbankan akan tertekan setelah ex date.
"Saya sarankan wait and see setelah ex date. Jika saham Bank Himbara menembus support dan membentuk new low, barulah kita bisa pertimbangkan buy on weakness," jelas Thoriq.
Thoriq mengamati adanya rotasi akumulasi asing dari saham-saham konglomerasi menuju saham berfundamental stabil seperti Telkom, Jasa Marga, Astra, Indofood, serta perbankan besar yang sudah menyentuh harga terendah.
"Saham-saham milik grup besar seperti Aguan, Prajogo Pangestu, atau Tokhir mulai didistribusikan. Kini asing justru masuk ke saham-saham dengan fundamental kuat. Ini yang menopang IHSG kemarin meski global kurang mendukung," tutur dia.
Menjawab pertanyaan soal prospek saham Bank Himbara tiga bulan ke depan, Thoriq menyarankan untuk melepas saham setelah ex date dan menunggu momentum pembalikan arah pasca laporan keuangan kuartal I-2025.
"Kalau ditanya bisa hold atau tidak, saya lebih memilih lepas dulu setelah eksdet. Kita tunggu laporan kuartal pertama akhir April sebagai bahan pertimbangan masuk kembali," ujar dia.
Dengan kondisi global yang masih penuh ketegangan serta dinamika domestik yang terus bergulir, Thoriq mengingatkan agar investor tetap rasional, berbasis analisis, dan tidak terjebak euforia atau kepanikan jangka pendek.
Dinamika Perdagangan Global
Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati menyebut tarif resiprokal yang diterapkan oleh presiden Amerika, Donald Trump kepada 60 negara tak lagi berdasarkan aturan ekonomi, tapi semata-mata untuk selamatkan defisit.
Sri Mulyani mengatakan imbas kebijakan tersebut dinamika perdagangan global kini tak lagi mengenal sekutu, dan prinsip-prinsip ilmu ekonomi nyaris tak lagi relevan dalam kebijakan yang diambil Washington.
“Tadinya kita masih berharap adanya supply chain yang berdasarkan perkawanan, makanya waktu itu muncul friendsharing, nearsharing. Sekarang bahkan tidak ada definisi yang disebut kawan atau friend lagi,” ujar Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di menara Mandiri, Jakarta Selatan, Selasa 8 April 2025.
Ia mencontohkan bagaimana Amerika Serikat yang dulunya membentuk blok dagang seperti NAFTA (yang terdiri dari AS, Kanada, dan Meksiko), kini justru memberlakukan tarif terhadap sesama mitra strategis.
“Karena Amerika terhadap Kanada, terhadap Meksiko, negara yang tergabung dalam NAFTA, ini pun juga yang didudani oleh Amerika Serikat, sekarang ini diabandon (ditinggalkan) dan menjadi persaingan yang tidak ada lagi definisi kawan atau lawan,” lanjutnya.(*)