KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG ditutup melemah sebesar7,90 persen atau turun 514 poin ke level 5.996 pada perdagangan Selasa, 8 April 2025.
Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan sentimen pemicu koreksi mendalam IHSG datang dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menaikkan tarif dagang hingga 32 persen terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Meskipun ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 9,9 persen dari total ekspor nasional, Hendra bilang, reaksi pasar yang berlebihan mengindikasikan adanya kekhawatiran lebih dalam.
"Ketegangan dagang global, potensi perlambatan ekonomi dunia, serta belum adanya respons cepat dari pemerintah RI sebelum pasar dibuka," ujar dia kepada KabarBursa.com di Jakarta, Selasa, 8 April 2025.
Kendati begitu, Hendra memandang koreksi ini lebih mencerminkan sentimen jangka pendek dan bukan kerusakan fundamental ekonomi. Dia menyebut dari sisi teknikal, IHSG kini berada di area support 5.945–6.045, dengan level krusial selanjutnya di 5.500–5.636.
"Artinya, secara jangka pendek, masih ada risiko pelemahan lanjutan. Namun, kemungkinan technical rebound tetap terbuka, terutama jika ada sinyal diplomasi tegas dari Presiden Prabowo Subianto dalam menanggapi kebijakan tarif Trump," kata dia.
Menurutnya, investor tetap bisa melirik sejumlah saham yang menarik untuk dikoleksi. Saham konsumer seperti INDF dengan target harga 7.500 dan AMRT di 2.200 layak diperhatikan karena defensif terhadap gejolak global.
Saham keuangan seperti BBNI masih undervalued dengan potensi rebound ke 4.270. Saham-saham lain seperti TLKM, BRIS, dan SCMA juga dinilai layak dikoleksi untuk jangka menengah dengan potensi gain 18–30 persen.
"Strateginya adalah tidak terburu-buru masuk sekaligus, tetapi bertahap atau average down sambil menanti konfirmasi teknikal," ujarnya.
Di sisi lain, dia mengimbau kepada investor jangka pendek untuk menerapkan strategi day trading atau swing trading dengan manajemen risiko yang ketat, mengingat pasar masih bergerak dalam volatilitas tinggi.
IHSG Terkoreksi, Sri Mulyani: Tidak cuma di Indonesia
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti tekanan besar yang melanda pasar keuangan global, termasuk di Indonesia yang mengalami penurunan IHSG. Meski demikian, Sri Mulyani mengklaim penurunan IHSG di Indonesia lebih baik dibandingkan negara lain.
"Kita semuanya tahu hari ini adalah hari pertama pembukaan bursa yang kita sudah melihat. Indonesia tadi sesi yang kedua di bawah 8 persen, 7,7 persen,” ujar Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di menara Mandiri, Jakarta Selatan, Selasa, 8 April 2025.
Menurutnya, koreksi tajam juga terjadi di banyak negara lain, bahkan lebih ekstrem dibandingkan Indonesia.
"Kalau kita lihat banyak negara yang indeks harga sahamnya pada tanggal 8 April dibanding 2 April banyak yang koreksinya sangat dalam hingga 14 persen. Bahkan tadi yang Pak Menko menyampaikan beberapa bisa mencapai ke atas 25 persen," lanjutnya.
Merespons gejolak pasar, Bank Indonesia (BI) disebut sudah mengambil langkah-langkah preventif bahkan sebelum bursa dibuka. Langkah tersebut turut membantu menstabilkan tekanan yang terjadi di pasar keuangan domestik.
“Gubernur Bank Indonesia sudah menyampaikan juga beberapa langkah bahkan sebelum pembukaan hari ini dan Alhamdulillah kita sekarang sudah bisa turun ke bawah 17 persen," ujar Sri Mulyani.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tekanan terhadap harga saham, nilai tukar, dan obligasi sebenarnya merupakan fenomena yang kerap terjadi dalam konteks global. Dalam kondisi seperti ini, menurutnya, pasar keuangan Indonesia berperan sebagai shock absorber, menahan guncangan eksternal, meski tetap harus mewaspadai potensi risiko jangka panjang.
"Dinamika ini seperti harga saham, nilai tukar maupun dalam hal ini obligasi surat berharga itu seperti FED, kita itu seperti shock absorber. Karena shock-nya terjadi ini adalah bentuk respons yang mungkin harus terbiasa kita lihat namun tidak berarti kita kemudian shifting attention-nya dari fondasi yang tetap harus dijaga," tegasnya.
Ia menambahkan, tekanan ini bukanlah hal baru. Pergerakan US Treasury dan indeks dolar mengindikasikan menurunnya kepercayaan mutlak terhadap mata uang AS.
"US Treasury baik yang 2 tahun maupun 10 tahun agak melemah karena dia diaktifkan tapi dolar indeksnya juga melemah. Jadi kepercayaan 100 persen terhadap dolar juga mulai menurun," ujarnya.
Meskipun indikator volatilitas seperti Fixed Index menunjukkan peningkatan, menurut Sri Mulyani, gejolaknya masih bisa dikelola. Ia mengingatkan bahwa suasana pasar saat ini ibarat “alarm yang mulai berbunyi”, sehingga pemerintah dan pelaku pasar perlu tetap waspada tanpa terjebak dalam kepanikan.
"Fixed Index yaitu volatility juga meningkat tapi kalau kita bandingkan pada saat Covid kenaikannya sebetulnya masih relatively manageable tapi ini menggambarkan suasananya alarm-nya mulai berkunjung jadi kita harus juga tetap hati-hati tanpa panik," tandasnya.(*)