Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Harga Minyak Dunia Amblas ke Titik Terendah 4 Tahun

Harga minyak global anjlok lebih dari USD1 per barel akibat kekhawatiran resesi dari perang dagang AS–China. Ancaman tarif tambahan dan isu nuklir Iran memperburuk sentimen.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 09 April 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Harga Minyak Dunia Amblas ke Titik Terendah 4 Tahun Ilustrasi: Harga minyak global anjlok lebih dari USD1 per barel akibat kekhawatiran resesi dari perang dagang AS–China. Foto: fs.usda.gov.

KABARBURSA.COM – Harga minyak dunia kembali tergelincir lebih dari USD1 per barel pada Rabu, 9 April 2025, dini hari WIB, dan menyentuh level terendah dalam empat tahun terakhir. Sentimen negatif datang dari ketakutan pasar bahwa dunia sedang meluncur ke jurang resesi akibat memanasnya perang dagang antara dua raksasa ekonomi, Amerika Serikat dan China.

Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, Minyak Brent ditutup anjlok USD1,39 atau sekitar 2,16 persen ke level USD62,82 per barel. Sementara minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) merosot USD1,12 atau 1,85 persen ke angka USD59,58 per barel.

Sejak Presiden Donald Trump mengumumkan paket tarif dagang baru pada 2 April lalu, dua acuan harga minyak itu sudah longsor sekitar 16 persen. Dan kabar makin panas datang lagi: mulai pukul 00.01 waktu Washington hari Rabu, Amerika akan resmi menerapkan tarif sebesar 104 persen untuk barang-barang asal China. Ini berarti tambahan 50 persen di atas tarif sebelumnya, setelah Tiongkok gagal mencabut bea balasan mereka sebesar 34 persen terhadap produk AS.

Bukannya melunak, Beijing justru menegaskan tak akan tunduk pada tekanan. Kementerian Perdagangan China menyebut ancaman Trump sebagai bentuk pemerasan dan bersumpah akan “melawan sampai akhir”. Pernyataan ini langsung mengguncang sentimen pelaku pasar dan menambah ketakutan soal melambatnya ekonomi global.

Minyak WTI bahkan sempat meluncur lebih jauh ke USD57,88 per barel dalam perdagangan pasca-penutupan. Di waktu yang hampir bersamaan, indeks saham AS juga ikut tenggelam di zona merah.

“Situasi ini menciptakan skenario yang sangat dekat dengan resesi global. Ketakutan terhadap penurunan permintaan energi mulai terasa,” ujar Direktur Strategi Pasar di StoneX, Alex Hodes.

Pernyataan dari Perwakilan Dagang AS, Jamieson Greer, juga tak membantu. Ia menyampaikan kepada senator bahwa Tiongkok belum menunjukkan itikad untuk bergerak menuju perdagangan yang adil dan resiprokal.

Di tengah ketegangan itu, bank-bank besar mulai menyesuaikan proyeksi harga. Goldman Sachs memperkirakan harga Brent akan berada di angka USD62 per barel hingga akhir 2025, sedangkan WTI berada di kisaran USD58. Bahkan untuk skenario jangka panjang, Brent diprediksi bisa melorot ke USD55 dan WTI ke USD51 pada 2026.

Sinyal dari Gedung Putih menunjukkan bahwa pemerintahan Trump memang berniat menurunkan harga minyak ke kisaran USD50 atau bahkan lebih rendah. Tujuannya: menciptakan energi murah yang dianggap sebagai misi utama ekonomi domestik.

Menurut Natasha Kaneva, Kepala Strategi Komoditas Global J.P. Morgan, strategi ini bisa saja membawa sektor energi kembali ke masa-masa sulit seperti era perang harga 2014 antara OPEC dan produsen shale AS. “Kalau memang itu harus dilalui demi biaya produksi yang lebih murah, maka mereka siap menghadapi turbulensinya,” kata Kaneva.

Isu Iran: Ancaman Sanksi Baru dan Ketegangan Nuklir Bayangi Pasar

Di tengah gonjang-ganjing pasar akibat tarif dagang, satu kejutan datang dari isu nuklir Iran. Presiden AS Donald Trump pada Senin lalu secara mengejutkan mengumumkan bahwa Washington dan Teheran akan memulai pembicaraan langsung soal program nuklir Iran.

Namun euforia itu cepat reda. Menteri Luar Negeri Iran buru-buru membantah dan mengatakan bahwa yang akan terjadi hanyalah pembicaraan tidak langsung. Artinya, ketegangan masih jauh dari kata reda.

Pemerintah AS juga tampaknya tak akan menunggu terlalu lama. Menteri Energi AS, Chris Wright, menegaskan jika Iran tidak segera mencapai kesepakatan dengan Trump, maka Negeri Mullah itu harus siap-siap menerima sanksi baru yang lebih ketat.

“Saya sangat yakin akan ada sanksi yang jauh lebih ketat pada Iran, dan mudah-mudahan ini bisa memaksa mereka untuk meninggalkan program nuklirnya,” ujar Wright dalam wawancara dengan CNBC, Selasa, 8 April 2025, lalu.

Sementara itu, data dari American Petroleum Institute (API) memperlihatkan dinamika menarik di pasar minyak. Persediaan minyak mentah AS tercatat menyusut 1,1 juta barel untuk pekan yang berakhir 4 April. Di sisi lain, stok bensin justru naik sebanyak 210 ribu barel, sedangkan stok distilat—bahan bakar seperti solar dan avtur—turun sebesar 1,8 juta barel.

Angka resmi dari Badan Informasi Energi AS (EIA) baru akan dirilis pada Rabu ini. Tapi arah data sementara ini menunjukkan konsumsi energi di AS masih tinggi, meski harga minyak sedang dalam tekanan berat.

Saat ini, embargo baru terhadap Iran yang mulai mengemuka dan perundingan nuklir yang belum jelas bentuknya, menambah beban berat pasar minyak di tengah guncangan tarif. Kondisi ketidakpastian geopolitik di Timur Tengah masih membayangi emas hitam ini.(*)