Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Wall Street Tersungkur, Trump bikin Pasar Panik Tiada Henti

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 09 April 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Wall Street Tersungkur, Trump bikin Pasar Panik Tiada Henti Ilustrasi: papan pantau IHSG di Bursa Efek Indonesia. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM – Wall Street kembali mengalami gejolak hebat pada Rabu, 9 April 2025, dini hari WIB. Pasar saham Amerika ini sempat melesat tajam di awal sesi, tapi justru berbalik arah dan ditutup di zona merah. Investor masih diliputi ketidakpastian soal perang dagang yang dikobarkan Presiden Donald Trump—yang dijadwalkan akan memasuki babak baru tengah malam nanti.

Dilansir dari AP di Jakarta, Rabu, Indeks S&P 500 sempat melambung hingga 4,1 persen—nyaris mencetak hari terbaiknya dalam beberapa tahun terakhir. Tapi kegembiraan itu tak bertahan lama. Indeks justru berbalik arah, terjun bebas sampai minus 3 persen, sebelum sedikit mengerem dan ditutup turun 1,6 persen. Kini S&P 500 sudah anjlok nyaris 19 persen dari rekor tertingginya yang tercatat Februari lalu.

Nasib serupa dialami Dow Jones Industrial Average, yang sempat melonjak 1.460 poin sebelum akhirnya berbalik dan ditutup turun 320 poin atau 0,8 persen. Indeks Nasdaq lebih parah lagi, ambruk 2,1 persen.

Kejutan ini datang setelah reli saham global yang cukup meyakinkan. Indeks di Tokyo naik 6 persen, Paris 2,5 persen, dan Shanghai 1,6 persen. Tapi seperti sudah diperingatkan para analis, reli itu tak akan bertahan lama. Naik-turun tajam seperti ini kemungkinan masih akan terus terjadi dalam hitungan jam, bukan hari.

Menurut koresponden Associated Press, Charles de Ledesma, pasar dunia sempat agak tenang menyusul pernyataan dari Iran yang membuka peluang negosiasi dengan pemerintahan Trump. Namun, yang jadi pertanyaan besar tetap satu, sampai kapan Trump akan bertahan dengan tarif tinggi terhadap negara-negara lain?

Sebab jika tarif itu berlangsung lama, dampaknya bisa terasa langsung ke harga barang di AS dan memperlambat perekonomian. Ancaman resesi pun tak bisa dielakkan. Tapi jika Trump segera melunak dan membuka jalur negosiasi, skenario terburuk masih bisa dicegah.

Harapan itulah yang membuat Wall Street sempat menggeliat pagi tadi. Trump bahkan mengklaim bahwa hasil pembicaraan dengan penjabat Presiden Korea Selatan membuka jalan untuk “kesepakatan besar” yang saling menguntungkan.

“Tim terbaik mereka sedang dalam perjalanan ke Amerika Serikat, dan sejauh ini kelihatannya positif,” tulis Trump di platform Truth Social. “Kami juga sedang bernegosiasi dengan banyak negara lain dan semuanya ingin membuat kesepakatan dengan Amerika.”

Di Jepang, lonjakan saham terjadi setelah Perdana Menteri Shigeru Ishiba menunjuk negosiator dagang untuk melakukan pembicaraan resmi dengan AS. Langkah ini merupakan tindak lanjut dari kesepakatan bilateral antara Ishiba dan Trump, menurut pejabat Jepang.

Meski begitu, investor tetap diminta waspada. Senior Strategist Wells Fargo, Sameer Samana, mengingatkan bahwa sejumlah negara kunci justru semakin memanaskan suasana, bukan meredakannya.

China misalnya, langsung bereaksi keras atas ancaman Trump yang disampaikan Senin lalu. Negeri Tirai Bambu menyatakan akan “melawan sampai akhir” dan menyiapkan langkah balasan jika Trump jadi menaikkan tarif terhadap produk mereka.


Tarif 104 Persen untuk China

Pagi yang mendung belum tentu hujan, tapi kalau Karoline Leavitt sudah buka suara, biasanya pertanda badai. Juru bicara Gedung Putih itu memastikan ancaman Presiden Donald Trump untuk menaikkan tarif impor China akan jadi kenyataan nanti. Hari ini, semua produk dari China bakal dikenai tarif masuk hingga 104 persen.

Tarif gila-gilaan itu merupakan bagian dari paket kebijakan dagang terbaru Trump yang akan berlaku tanpa ampun. Tak ada pengecualian, tak ada toleransi. Jamieson Greer, kepala negosiator perdagangan AS, menegaskan Trump ogah bikin celah. Semua produk bakal kena tarif, tak peduli negara mana atau industri apa.

Greer juga menyampaikan di depan sidang Komite Senat bahwa sudah ada sekitar 50 negara yang menghubungi AS terkait perang tarif ini. “Kalau kalian punya ide yang lebih baik untuk bikin neraca dagang kami lebih seimbang, mari ngobrol. Kami terbuka untuk negosiasi,” ujarnya dengan nada setengah menawarkan, setengah menggertak.

Perang dagang ini, mau tak mau, dianggap sebagai serangan terhadap globalisasi yang selama ini membentuk wajah ekonomi dunia. Globalisasi memang bikin harga barang di rak-rak swalayan jadi murah, tapi juga menyebabkan pabrik-pabrik pindah ke negara-negara lain. Trump, yang sejak awal menyatakan niatnya untuk memperkecil defisit dagang AS, sepertinya sudah tak mau menoleh ke belakang.

Di Wall Street, dampaknya langsung terasa. Saham perusahaan yang rantai pasoknya menjalar ke banyak negara ikut ambruk. Ralph Lauren misalnya, jatuh 5,6 persen. Sekitar 15 persen produksinya masih bergantung pada pabrik di China. Best Buy lebih sial lagi. Meskipun mereka tak mengimpor langsung dari China, vendor-vendor mereka ternyata sangat tergantung pada negara itu. Diperkirakan 55 persen barang di rak Best Buy berasal dari impor vendor asal China. Akibatnya? Sahamnya longsor 8,3 persen.

Meski begitu, masih ada segelintir pemenang. Saham perusahaan asuransi kesehatan justru menguat, setelah Centers for Medicare & Medicaid Services mengumumkan kenaikan pembayaran Medicare Advantage yang lebih besar dari perkiraan untuk tahun depan. Humana melonjak 10,7 persen, sementara United Health naik 5,4 persen.

Namun secara keseluruhan, pasar tetap memerah. Indeks S&P 500 kehilangan 79,48 poin ke level 4.982,77. Dow Jones Industrial Average turun 320 poin ke 37.645,59. Nasdaq terjerembap 335,35 poin ke posisi 15.267,91.

Di pasar obligasi, imbal hasil Treasury jangka panjang naik untuk hari kedua berturut-turut, mencoba memulihkan diri dari pelemahan tajam di bulan-bulan sebelumnya. Yield obligasi 10 tahun naik jadi 4,27 persen dari 4,15 persen pada akhir perdagangan Senin dan 4,01 persen pada Jumat lalu.

Biasanya, kenaikan yield mencerminkan ekspektasi pasar terhadap kekuatan ekonomi AS dan potensi inflasi ke depan. Tapi untuk kali ini, bisa jadi pasar sedang mencoba menebak langkah Trump selanjutnya—yang seperti biasa, selalu tak terduga. (*)