KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia menyiapkan sejumlah opsi fiskal dalam menghadapi tekanan tarif dari Amerika Serikat (AS), termasuk wacana pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) impor. Rencana ini menjadi bagian dari proposal yang akan dibawa dalam agenda pembicaraan dagang antara kedua negara, sebagai respons terhadap ketidakseimbangan neraca perdagangan yang menjadi sorotan Washington.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan bahwa pemerintah belum berkomitmen pada bentuk atau besaran insentif tertentu, namun membuka ruang diskusi atas skema fiskal yang memungkinkan.
“Kita tidak melakukan negosiasi, kita hanya memberikan daftar opsi yang tersedia. Nanti Pak Menko (Perekonomian) dan tim yang akan melakukan pembicaraan langsung dengan pihak Amerika,” ujar Anggito saat ditemui di kantor Kemenko Perekonomian di Jakarta, kemarin. Dikutip Selasa 8 April 2025.
Ia menegaskan, pendekatan yang disiapkan Indonesia tidak hanya terbatas pada penurunan tarif, tetapi juga mencakup perbaikan tata kelola administratif sebagai bagian dari strategi yang lebih menyeluruh.
“Kita mendukung langkah-langkah yang dikorelasikan oleh Pak Menko, baik non-tarif maupun administratif. Jadi dua-duanya menjadi menu utama yang akan dibawa,” katanya.
Diskon PPN dan PPh impor tetap masuk dalam daftar opsi, namun pemerintah masih melakukan evaluasi menyeluruh terhadap potensi dampaknya terhadap anggaran negara. Menurut Anggito, pendekatan cost-benefit menjadi dasar utama dalam menentukan keputusan akhir.
“Kita tidak mau bilang apa-apa dulu, semuanya kita sampaikan dalam bentuk benefit dan cost-nya. Jangan lupa, kita juga harus menjaga kredibilitas dan fiskal kita,” tegasnya.
Di luar opsi fiskal, reformasi administratif juga sedang dipercepat, utamanya di sektor kepabeanan dan perpajakan. Pemerintah mendorong percepatan pemeriksaan impor, penyederhanaan prosedur bea cukai, hingga percepatan restitusi pajak sebagai langkah untuk meningkatkan efisiensi dan kenyamanan pelaku usaha.
“Pemeriksaan sekarang waktunya dipangkas hampir separuh. Untuk restitusi juga dipercepat agar pengusaha bisa mendapat layanan yang lebih transparan dan adil. Ini reformasi yang juga ditunggu oleh pelaku usaha,” jelas Anggito.
Ia menambahkan bahwa serangkaian kebijakan ini tidak hanya dirancang sebagai respons jangka pendek terhadap dinamika dagang dengan AS, tetapi juga sebagai bagian dari upaya reformasi struktural nasional di bidang fiskal dan perdagangan.
“Kita memang belum komit apa-apa, tapi ini menjadi momentum untuk meluncurkan berbagai reformasi sekaligus,” pungkasnya.
Langkah-langkah Perbaikan
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, memaparkan bahwa strategi ini dijalankan lewat tiga pendekatan utama.
Langkah pertama menyasar modernisasi sistem administrasi perpajakan melalui pembaruan sistem inti atau core tax administration. Inovasi ini memperkenalkan fitur-fitur anyar yang dirancang untuk memangkas birokrasi dan memudahkan wajib pajak, termasuk penyusunan otomatis Surat Pemberitahuan (SPT), sistem manajemen akun wajib pajak, hingga integrasi sistem akuntansi penerimaan negara.
Upaya kedua menyasar efisiensi pemeriksaan pajak. Melalui terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 15/2025, pemerintah memangkas waktu pemeriksaan secara signifikan. Pemeriksaan reguler kini hanya berlangsung 6 bulan dari sebelumnya 12 bulan, sementara untuk pemeriksaan kelompok usaha dan transfer pricing dipersingkat dari 24 bulan menjadi 10 bulan.
"Dengan ini, transparansi, kecepatan, dan efektivitas pemeriksaan pajak diharapkan meningkat," ujar Febrio.
Langkah ketiga menargetkan penyederhanaan proses restitusi pajak. Lewat PMK No. 119/2024, wajib pajak yang mengalami lebih bayar PPh dapat langsung memperoleh pengembalian tanpa melalui tahapan pemeriksaan. Prosedur ini dinilai akan sangat membantu pelaku usaha dalam menjaga arus kas dan efisiensi operasional.
Tak hanya perpajakan, reformasi juga menyentuh sektor kepabeanan. Febrio menjelaskan bahwa kini nilai pabean dapat ditetapkan berdasarkan rentang harga (price range) dengan mempertimbangkan bukti kuat dari importir. Jika dokumen dinilai valid, nilai transaksi tersebut dapat langsung dijadikan acuan tanpa koreksi.
"Banyak reformasi struktural yang kami siapkan. Ini bukan semata respons terhadap Trump, tetapi bagian dari upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kemudahan berusaha di Indonesia," tandas Febrio.
Merosotnya Penerimaan Pajak
Kementerian Keuangan melaporkan defisit APBN mencapai Rp31,3 triliun per Februari 2025. Defisit di awal tahun ini merupakan yang pertama dalam empat tahun terakhir. Hal ini disebabkan merosotnya penerimaan pajak hingga 41,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak menilai kondisi keuangan negara saat ini begitu mengkhawatirkan. "Kami sangat prihatin dengan tren fiskal ini. Turunnya penerimaan pajak secara drastis bukan hanya mengancam keberlanjutan anggaran negara. Tetapi juga bisa berdampak luas pada perekonomian nasional, stabilitas nilai tukar, dan kepercayaan investor," ujar Amin dalam keterangan tertulis yang diterima KabarBursa.com di Jakarta, Jumat, 14 Maret 2025.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan salah satu penyebab utama turunnya penerimaan pajak adalah gangguan teknis pada sistem Coretax yang berdampak pada proses administrasi perpajakan. Menanggapi hal ini, Amin menilai permasalahan tersebut tidak boleh dianggap remeh dan harus segera diatasi dengan langkah konkret.
Ia menilai jika sistem perpajakan baru justru membuat penerimaan negara merosot tajam, berarti ada kesalahan serius dalam perencanaannya. Menurutnya, pemerintah perlu segera memastikan Coretax berfungsi dengan optimal.
"Kalo tidak, pemerintah harus menyiapkan mekanisme darurat agar pengumpulan pajak tidak terus terganggu," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.
Di sisi lain, lemahnya penerimaan pajak juga mencerminkan perlambatan ekonomi yang berdampak pada pajak korporasi dan PPN. Jika kondisi ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan defisit APBN akan melebihi target Rp 612,2 triliun (2,53 persen dari PDB) tahun ini.
Selain itu, keterlambatan publikasi laporan APBN KiTa untuk Januari-Februari 2025 turut menimbulkan kekhawatiran perihal transparansi dalam pengelolaan fiskal.
Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini menegaskan keterbukaan data keuangan negara sangat krusial untuk menjaga kepercayaan publik dan investor.
"Kita tidak ingin ada spekulasi negatif akibat keterlambatan informasi. Menteri Keuangan harus lebih transparan dan responsif dalam menyampaikan kondisi fiskal negara agar pasar dan dunia usaha dapat mengantisipasi risiko dengan baik," katanya.
Amin mengatakan BAKN DPR RI berkomitmen untuk mengawal kebijakan ekonomi nasional agar tetap berada di jalur yang sehat dan berkelanjutan.
"Kami akan terus mengawasi dan memberikan masukan kepada pemerintah agar kebijakan fiskal kita tidak hanya sekadar memenuhi target angka. Tetapi benar-benar memperkuat ekonomi nasional secara menyeluruh," katanya.(*)