KABARBURSA.COM - Harga emas turun lebih dari 2 persen pada Senin, 7 April 2025, karena investor memilih dolar AS sebagai aset aman menyusul gelombang tarif baru dari pemerintah AS yang memicu kekhawatiran resesi global.
Meski demikian, para analis tetap optimistis terhadap prospek emas mengingat kondisi ekonomi yang penuh tantangan.
Seperti dikutip dari Reuters, harga spot emas turun 2,4 persen menjadi USD2.963,19 per ons, setelah sempat menyentuh level terendah dalam hampir empat pekan di USD2.955,89 sebelumnya. Kontrak berjangka emas AS ditutup turun 2 persen di USD2.973,60.
“Emas terkoreksi karena investor beralih ke uang tunai dan aset safe haven lainnya seperti Franc Swiss dan Yen Jepang di tengah gejolak pasar, membuka risiko koreksi lebih dalam,” ujar Nikos Tzabouras, analis pasar senior di Tradu.com.
Dolar AS menguat terhadap sejumlah mata uang utama, menjauh dari level terendah enam bulan yang dicapai pekan lalu. Dolar yang lebih kuat membuat emas menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lain.
“Kita melihat tekanan besar di pasar emas akibat kekhawatiran likuiditas dan aksi margin call dari spekulan,” kata Bart Melek, kepala strategi komoditas di TD Securities.
Indeks saham utama di AS juga melemah dalam perdagangan yang bergejolak, setelah Presiden Donald Trump mengancam akan menaikkan tarif terhadap China hingga 50 persen jika Beijing tidak mencabut tarif balasannya.
Sementara itu, Gedung Putih menyebut laporan bahwa Trump mempertimbangkan jeda 90 hari untuk tarif—kecuali terhadap China—sebagai “berita palsu”.
Kontrak berjangka kini memperkirakan potensi pemangkasan suku bunga oleh The Fed sebesar sekitar 120 basis poin hingga Desember, dengan peluang pemangkasan pada Mei sekitar 37 persen.
Suku bunga yang lebih rendah biasanya meningkatkan daya tarik emas, karena emas tidak memberikan imbal hasil (yield).
Emas, yang kerap dijadikan aset lindung nilai saat ketidakpastian politik dan ekonomi, sempat mencetak rekor tertinggi sepanjang masa di USD3.167,57 pada Kamis lalu. Kenaikan ini ditopang oleh derasnya arus dana ke aset aman dan permintaan kuat dari bank sentral.
Selain emas, harga perak naik tipis 0,5 persen ke USD29,71 per ons, bangkit dari level terendah tujuh bulan. Platina melemah 1 persen ke USD907,09, sementara palladium turun 0,9 persen ke USD903,19 per ons.
Tarik Ulur Geopolitik dan Ancaman Resesi
Kekacauan ini bermula dari pengumuman Trump soal tarif impor baru terhadap sejumlah negara mitra dagang utama. Gedung Putih sendiri membantah laporan bahwa Trump tengah mempertimbangkan jeda tarif 90 hari untuk semua negara kecuali China.
Sebagai respons, Uni Eropa mengusulkan tarif balasan sebesar 25 persen terhadap berbagai produk asal AS, menurut dokumen yang diperoleh Reuters. Ketegangan ini membuat euro sempat menguat hingga 0,7 persen ke USD1,1050 sebelum terkoreksi ke USD1,0928. Poundsterling bahkan menyentuh posisi terendah dalam sebulan di USD1,27125.
Thierry Wizman, Global FX and Rates Strategist di Macquarie, menyatakan bahwa status dolar sebagai aset safe haven mulai goyah. "Ada potensi hilangnya kepercayaan global terhadap dolar sebagai mata uang cadangan jika ketidakpastian berlanjut," ujarnya.
Mata uang sensitif risiko seperti dolar Australia dan Selandia Baru, serta krona Swedia dan Norwegia, juga mencatat pelemahan signifikan. Dolar Australia bahkan sempat menyentuh titik terendah lima tahun di USD0,59835, sedangkan Kiwi turun lebih dari 1 persen ke USD0,55355.
Sementara itu, Trump’s tariff tantrum pekan lalu berhasil menyapu bersih hampir USD6 triliun nilai kapitalisasi pasar saham AS, menambah tekanan terhadap portofolio investor global.
Pasar Bertaruh pada The Fed
Lebih dari 50 negara dilaporkan telah membuka kanal diplomatik dengan Gedung Putih untuk memulai negosiasi dagang. China sendiri membalas dengan tarif tambahan sebesar 34 persen untuk seluruh produk AS dan menyatakan, “Pasar sudah berbicara.”
Ekspektasi pasar kini condong ke arah pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 100 basis poin hingga akhir tahun, dengan peluang 65 persen bahwa pemangkasan pertama dilakukan pada Mei. Namun, Ketua The Fed Jerome Powell masih memilih bersikap hati-hati dan menyebut terlalu dini untuk menentukan respons kebijakan yang tepat.
Namun, harapan itu belum sepenuhnya bersambut. Ketua The Fed Jerome Powell, dalam pidatonya Jumat lalu, menyampaikan nada yang lebih hati-hati. Ia menegaskan bahwa masih terlalu dini untuk menentukan jalur kebijakan yang pasti, mengingat banyak variabel yang bergerak dinamis dan belum sepenuhnya jelas bagaimana dampak jangka menengah dari kebijakan tarif ini terhadap inflasi maupun ketenagakerjaan di AS.
"Kami menyadari risiko-risiko yang berkembang, tetapi kami juga perlu berhati-hati agar tidak bereaksi berlebihan terhadap data yang belum sepenuhnya matang," ujar Powell. "Keseimbangan antara stabilitas harga dan pertumbuhan lapangan kerja tetap menjadi mandat ganda kami."
Sikap Powell itu seolah menjadi penyeimbang dari kepanikan pasar. Di satu sisi, The Fed ingin memberikan ruang bagi data ekonomi untuk berkembang dan menunjukkan arah sejatinya. Di sisi lain, pasar—yang kini bergerak lebih berdasarkan persepsi dan ekspektasi ketimbang data keras—sudah lebih dulu menagih langkah konkret.
Para analis memperkirakan bahwa jika tekanan di sektor riil, seperti manufaktur dan konsumsi domestik, terus menunjukkan pelemahan dalam dua bulan ke depan, maka Powell dan koleganya mau tak mau harus melunak. Apalagi jika inflasi mulai turun di bawah target 2 persen, maka pelonggaran moneter akan sulit dihindari. (*)