KABARBURSA.COM - Pasar keuangan global kembali berguncang setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara resmi memberlakukan kebijakan tarif resiprokal terhadap lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia. Kebijakan tersebut diumumkan pada 2 April, yang oleh Trump disebut sebagai "Hari Pembebasan AS", dan menjadi titik panas baru dalam eskalasi tensi perdagangan global.
Dampaknya segera terasa di bursa-bursa utama dunia, termasuk Wall Street yang mengalami penurunan tajam dalam beberapa hari terakhir.
Kondisi ini menempatkan pasar saham Indonesia dalam posisi rentan, terutama menjelang pembukaan kembali setelah libur panjang Lebaran 2025.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan akan mengalami tekanan berat pada perdagangan pekan pertama setelah liburan. Menurut analis pasar dan Co-Founder Pasardana Hans Kwee, respons pelaku pasar terhadap kebijakan tarif Trump sangat negatif, karena memicu kekhawatiran akan meluasnya perang dagang dan meningkatkan risiko resesi global.
Hans memproyeksikan bahwa IHSG berpotensi melemah tajam pada hari Selasa, 8 April 2025, mengikuti jejak bursa global yang terkoreksi saat pasar Indonesia masih tutup. Meski begitu, ia juga melihat peluang adanya rebound teknikal di akhir pekan mendatang.
Ia menyarankan investor untuk bersikap taktis dengan melakukan aksi beli saat harga saham mengalami penurunan signifikan atau strategi buy on weakness, karena koreksi dalam bisa menjadi peluang jangka menengah.
Secara teknikal, pergerakan IHSG berada dalam rentang support di kisaran 6.179 hingga 5.967, dengan resistance di level 6.550 sampai 6.706. Ini menunjukkan bahwa tekanan jual masih mungkin terjadi, namun ruang pemulihan juga terbuka jika sentimen global mulai membaik.
Efek dari kebijakan tarif ini tak hanya mengganggu kestabilan saham, namun juga memperburuk ekspektasi ekonomi makro. Bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) kini diprediksi akan memangkas suku bunga acuan sebanyak tiga hingga empat kali sepanjang tahun ini, untuk meredam dampak perlambatan ekonomi domestik.
Di Eropa, tekanan serupa juga dirasakan, dengan proyeksi bahwa Bank Sentral Eropa (ECB) akan melakukan pelonggaran moneter melalui pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin dalam tiga putaran mulai akhir bulan April.
Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena beban tarif cukup tinggi, dengan total beban mencapai 42 persen jika digabungkan dengan tarif dasar. Situasi ini menimbulkan tantangan besar bagi pelaku ekspor nasional. Maka dari itu, negosiasi cepat dan aktif dengan pemerintah AS menjadi kebutuhan mendesak untuk mencegah tekanan lanjutan terhadap ekonomi domestik.
Di sisi lain, mempererat kerja sama dengan blok ekonomi alternatif seperti BRICS bisa menjadi langkah strategis untuk mengamankan jalur perdagangan jangka panjang.
Dari sisi performa pasar, data dari aplikasi IPOT mencatat bahwa sepanjang tahun berjalan hingga akhir Maret 2025, IHSG mengalami penurunan sebesar 8,0 perseb, dari level 7.079 ke 6.472. Namun demikian, menjelang libur Lebaran, IHSG sempat mencatatkan penguatan mingguan sebesar 3,2 persen sebagai respons optimis terhadap kemungkinan stabilisasi ekonomi global.
Meskipun sempat bangkit, tren utama masih menunjukkan tekanan, dan langkah ke depan akan sangat ditentukan oleh respons kebijakan fiskal serta arah diplomasi dagang Indonesia.
Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian ini, pasar saham Indonesia berada di persimpangan penting. Keseimbangan antara risiko geopolitik dan peluang kebijakan akan menjadi faktor kunci dalam menentukan arah IHSG ke depan.
BEI Minta Investor Tidak Panik
Bursa Efek Indonesia (BEI) angkat bicara mengenai tarif baru dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang berimbas kepada pasar bursa global.
Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik menyatakan, kebijakan baru tersebut tidak berdampak terlalu besar terhadap bursa di negara-negara Asia.
"Kalau kita lihat data maka bursa bursa negara Asia yang dikenakan tarif tinggi tidak mengalami dampak negatif yang signifikan," ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 6 April 2025.
Justru, kata Jeffrey, yang terkena dampak paling dalam dalam imbas kebijakan tarif baru ini adalah bursa negara-negara di benua Eropa dan Amerika.
Dalam kondisi seperti ini, Jeffrey meminta agar para investor pasar modal Indonesia tidak panik dan meminta mereka untuk memperhatikan keputusan-keputusan yang diambil dalam berinvestasi.
"Investor agar tidak panik. Lakukan analisis secara cermat dan mengambil keputusan investasi secara rasional," kata dia.
Diberitakan pada Jumat, 4 April 2025, bursa saham Asia terlihat lesu imbas dari efek berantai tarif tinggi Donald Trump yang membuat Wall Street terguncang hebat,bahkan disebut sebagai gejolak paling besar sejak pandemi COVID-19 menghantam pasar global pada 2020 lalu.
Dilansir dari AP di Jakarta, indeks Nikkei 225 di Tokyo ambles 4,3 persen ke level 33.263,58. Di Seoul, indeks Kospi tenggelam 1,8 persen ke 2.441,86. Pemerintah Jepang dan Korea Selatan, dua sekutu utama AS, menyatakan fokus utama mereka saat ini adalah membuka negosiasi tarif yang lebih rendah dengan pemerintahan Trump. Australia juga tak luput. Indeks S&P/ASX 200 turun 2,2 persen menjadi 7.684,30.
Sehari setelahnya, pada Sabtu, 5 April 2025, dini hari WIB Bursa Wall Street seperti kehilangan rem: S&P 500 ambles 5,7 persen, Dow Jones Industrial Average longsor 2.054 poin, dan Nasdaq ikut anjlok 5,5 persen menjelang penutupan. Semua ini dipicu balasan China atas tarif tinggi dari Presiden Donald Trump. Perang dagang bukan hanya memanas—tapi mendidih.
Langkah China yang menaikkan tarif sebesar 34 persen untuk seluruh produk impor asal Amerika Serikat langsung menyambar pasar. Beijing menyatakan tarif itu akan efektif per 10 April. Ini respons atas kebijakan AS yang lebih dulu mematok tarif serupa terhadap barang-barang China.
Dua raksasa ekonomi dunia kini saling hantam, dan dunia ikut terguncang. Pasar Eropa ikut ketiban sial. Saham-saham di Benua Biru rontok hingga 5 persen. Harga minyak mentah jatuh ke titik terendah sejak 2021. Komoditas seperti tembaga—batu bata bagi pertumbuhan ekonomi—juga ikut loyo karena kekhawatiran bahwa ekonomi global bakal melempem.(*)