Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

BEI Imbau Investor Tidak Panik Soal Tarif Baru AS

Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik menyatakan kebijakan baru tersebut tidak berdampak terlalu besar terhadap bursa di negara-negara Asia.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 07 April 2025 | Penulis: Hutama Prayoga | Editor: Yunila Wati
BEI Imbau Investor Tidak Panik Soal Tarif Baru AS Papan pantau memperlihatkan sejumlah saham berada di zona merah. Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji

KABARBURSA.COM - Bursa Efek Indonesia (BEI) angkat bicara mengenai tarif baru dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang berimbas kepada pasar bursa global. 

Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik menyatakan, kebijakan baru tersebut tidak  berdampak terlalu besar terhadap  bursa di negara-negara Asia. 

"Kalau kita lihat data maka bursa bursa negara Asia yang dikenakan tarif tinggi tidak mengalami dampak negatif yang signifikan," ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 6 April 2025.

Justru, kata Jeffrey, yang terkena dampak paling dalam  dalam imbas kebijakan tarif baru ini adalah bursa negara-negara di benua Eropa dan Amerika. 

Dalam kondisi seperti ini, Jeffrey meminta agar para investor pasar modal Indonesia tidak panik dan meminta mereka untuk memperhatikan keputusan-keputusan yang diambil dalam berinvestasi. 

"Investor agar tidak panik. Lakukan analisis secara cermat dan mengambil keputusan investasi secara rasional," kata dia. 

Diberitakan pada Jumat, 4 April 2025, bursa saham Asia terlihat lesu imbas dari efek berantai tarif tinggi  Donald Trump yang membuat Wall Street terguncang hebat,bahkan disebut sebagai gejolak paling besar sejak pandemi COVID-19 menghantam pasar global pada 2020 lalu. 

Dilansir dari AP di Jakarta, indeks Nikkei 225 di Tokyo ambles 4,3 persen ke level 33.263,58. Di Seoul, indeks Kospi tenggelam 1,8 persen ke 2.441,86. Pemerintah Jepang dan Korea Selatan, dua sekutu utama AS, menyatakan fokus utama mereka saat ini adalah membuka negosiasi tarif yang lebih rendah dengan pemerintahan Trump. Australia juga tak luput. Indeks S&P/ASX 200 turun 2,2 persen menjadi 7.684,30.

Sehari setelahnya, pada Sabtu, 5 April 2025, dini hari WIB Bursa Wall Street seperti kehilangan rem: S&P 500 ambles 5,7 persen, Dow Jones Industrial Average longsor 2.054 poin, dan Nasdaq ikut anjlok 5,5 persen menjelang penutupan. Semua ini dipicu balasan China atas tarif tinggi dari Presiden Donald Trump. Perang dagang bukan hanya memanas—tapi mendidih.

Langkah China yang menaikkan tarif sebesar 34 persen untuk seluruh produk impor asal Amerika Serikat langsung menyambar pasar. Beijing menyatakan tarif itu akan efektif per 10 April. Ini respons atas kebijakan AS yang lebih dulu mematok tarif serupa terhadap barang-barang China. 

Dua raksasa ekonomi dunia kini saling hantam, dan dunia ikut terguncang. Pasar Eropa ikut ketiban sial. Saham-saham di Benua Biru rontok hingga 5 persen. Harga minyak mentah jatuh ke titik terendah sejak 2021. Komoditas seperti tembaga—batu bata bagi pertumbuhan ekonomi—juga ikut loyo karena kekhawatiran bahwa ekonomi global bakal melempem.

IHSG Berpotensi Koreksi

Sementara itu Indeks Harga Saham Gabungan atau  IHSG diprediksi akan bergerak fluktuatif cenderung melemah saat perdagangan dibuka kembali usai libur panjang Idulfitri 2025 pada Selasa, 8 April 2025.

Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi menyampaikan koreksi IHSG tak bisa dilepaskan dari langkah agresif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang siap menggulirkan tarif dagang baru

“Walaupun banyak pejabat mengatakan IHSG dibuka menguat (pasca Lebaran), tapi saya masih pesimis. Bahwa indeks akan terkoreksi dampak dari impor yang diterapkan,” ujar Ibrahim kepada KabarBursa.com melalui sambungan telepon, Rabu, 2 April 2025.

Selain tarif Trump, masalah geopolitik di Timur Tengah bisa memicu pelemahan IHSG pasca lebaran. Ibrahim bilang, Amerika Serikat sudah mengancam Iran menyelesaikan rektor nuklir. 

"Ultimatum ini cukup menarik sebenarnya dan Amerika pun juga sudah mempersiapkan pesawat-pesawat pengebom. Ini yang dipersiapkan adalah untuk melakukan penyerangan terhadap Iran," ungkap dia. 

Kendati demikian, Ibrahim memprediksi penurunan IHSG tidak lebih dari 3 persen. Sebab, penurunan tajam indeks sudah terjadi beberapa waktu lalu. 

"Biasanya kalau sudah kejadian tidak akan terjadi lagi. 1 sampai 3 persen lah untuk penurunan IHSG," ucap Ibrahim. 

Di sisi lain, Ibrahim Assuaibi meminta agar pemerintah serius dalam menyoroti kondisi ini guna mencegah IHSG terkoreksi dalam. 

Yang pertama harus dilakukan pemerintah, kata Ibrahim, ialah memperkokoh fundamental ekonomi dalam negeri dengan cara memperkuat UMKM. 

"Karena apa? Kita harus ingat bagaimana Iran berkembang pada saat diembargo dari negara-negara. Kemudian disitulah kekuatan ekonomi di Iran," ujar dia. 

Cara lainnya yang harus dilakukan pemerintahan ialah mengintervensi pasar dengan cara menjual barang-barang murah untuk menopang ekonomi. 

Ibrahim mengatakan, efek konsumsi masyarakat sangat penting karena cara inilah yang membuat Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 60 persen. 

"Pada saat konsumsi masyarakat belum kuat ini akan berbahaya. Misal, pemerintah harus berani mengeluarkan dana yang cukup besar untuk daya beli," jelasnya.(*)