Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

RI Jadi Tempat Pembuangan Produk Impor Efek Tarif Trump

Pentingnya menjaga aturan teknis impor dan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 06 April 2025 | Penulis: Cicilia Ocha | Editor: Pramirvan Datu
RI Jadi Tempat Pembuangan Produk Impor Efek Tarif Trump Tarif timbal balik (reciprocal tariff) yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) tidak hanya berdampak pada ekspor nasional.

KABARBURSA.COM — Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menegaskan tarif timbal balik (reciprocal tariff) yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) tidak hanya berdampak pada ekspor nasional, tetapi juga berpotensi mendorong banjirnya produk impor dari negara-negara lain ke pasar domestik. 

Menurutnya kebijakan yang dikeluarkan Trump tersebut akan mengubah peta perdagangan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dunia. 

“Negara-negara produsen tekstil besar seperti China, India, Vietnam, Bangladesh, Myanmar, hingga Kamboja pasti akan mencari pasar alternatif. Kami khawatir Indonesia dijadikan sasaran untuk menampung kelebihan ekspor mereka,” ungkap Jemmy dalam konferensi pers, bersama API dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI).

API dan APSYFI menolak keras jika Indonesia menjadi ‘tempat pembuangan’ produk tekstil dari negara-negara yang kesulitan masuk pasar AS. Untuk itu, mereka menyampaikan sejumlah permintaan kepada pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri dari dampak kebijakan tersebut. "Kami meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan segera dalam rangka perlindungan industri dalam negeri melalui perlindungan pasar dalam negeri dari serbuan produk impor," tegas mereka.

Mereka menekankan pentingnya menjaga aturan teknis impor dan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). "Kami tekankan bahwa ekspor ke AS tidak ada kaitannya dengan aturan impor dan TKDN yang saat ini berlaku,” kata Jemmy.

API juga menyoroti tentang pentingnya kebijakan tarif dalam menghadapi perang tarif. Menurut Jemmy, Pemerintah perlu tegas dalam merespon perang tarif, tidak melakukan perseseran pada isu NTM (Non Tariff Measure) atau NTB (Non Tariff Barrier).

Jemmy menjelaskan bahwa Indonesia memiliki peluang ekspor ke AS. Adapun, Indonesia masih bisa memperoleh tarif rendah jika menggunakan minimal 20 persen bahan baku dari AS. Mengingat AS tidak bisa menyediakan benang dari kain, maka dari itu Indonesia harus lebih banyak menggunakan kapas AS yang dapat dikombinasikan dengan serat polyester dan rayon yang dipintal dan ditenun atau dirajut di Indonesia.

“Dengan kata lain, akan memperbaiki kinerja TPT nasional secara keseluruhan dari hulu sampai hilir dan sekaligus menekan laju importasi barang jadi,” jelas Jemmy.

Bersaing Dengan Tak Sehat

Lebih lanjut, dalam kondisi normal, Jemmy menjelaskan bahwa industri TPT Indonesia selama ini mengkonsumsi sekitar USD600 juta kapas dari AS, namun Indonesia justru mengimpor benang, kain, dan garment senilai USD 6,5 Milyar dari China yang justru mematikan industri TPT dalam negeri karena bersaing dengan tidak sehat dan berakibat utilitasi mesin produksinya hanya sekitar 45 persen. 

“Khusus untuk industri pemintalan, dengan kapasitas 12 juta mata pintal terpasang, saat ini hanya digunakan 4 juta mata pintal. Karena itu kami mendorong pemerintah melakukan negosiasi reciprocal dengan AS agar kita bisa mengimpor lebih banyak kapas sebagai trade off sekaligus mendorong importasi produk-produk AS yang tidak dapat kita produksi,” papar Jemmy. 

API dan APSYFI juga menyoroti lemahnya tata kelola impor dan ekspor di  Indonesia, terutama lemahnya penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO). 

“Sekitar 3 tahun terakhir diduga terjadi praktek transshipment, yaitu barang-barang dari China di ekspor ke AS menggunakan SKA dari Indonesia. Hal ini terlihat jelas dalam kasus lonjakan ekspor benang texture filament polyester dari Indonesia ke US yang dianggap tidak wajar." tuturnya.

Lonjakan ekspor ini dilakukan oleh trader bukan oleh produsen, namun imbasnya seluruh produsen Indonesia terkena BMAD oleh AS. Untuk menghindari permasalahan ini kedepan, maka kami meminta pemerintah untuk menertibkan penerbitan SKA. 

"Bahwa SKA hanya boleh diterbitkan bagi barang-barang yang diproduksi di Indonesia, bukan praktek transshipment,” pungkas Jemmy.

Pertumbuhan Ekonomi Global

Perang dagang yang kembali digencarkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di periode keduanya jadi tantangan besar buat negara-negara Asia. Padahal kawasan paling padat penduduk di dunia ini diharapkan jadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi global.

Sudah jadi rahasia umum kalau manufaktur ekspor dan perdagangan bebas selama puluhan tahun telah mentransformasi China dan negara-negara Asia lainnya jadi kekuatan ekonomi baru. Tapi serangan tarif bertubi-tubi dari Trump, yang katanya demi memaksa perusahaan tetap buka pabrik di AS, mulai merobek perjanjian dagang yang sudah dirintis susah payah.

Gedung Putih menyebut kenaikan tarif tak cuma didasarkan pada defisit dagang AS, tapi juga menyangkut pajak, kurs, subsidi pemerintah, hingga hambatan dagang non-tarif. Selain tarif baru yang diumumkan di momen yang disebut Trump sebagai “Hari Pembebasan” (Liberation Day), AS juga bakal menerapkan tarif 25 persen untuk impor mobil dan suku cadangnya mulai Kamis ini.(*)