KABARBURSA.COM - Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menggebrak panggung ekonomi global. Kali ini bukan lewat perang kata-kata, melainkan lewat daftar panjang tarif baru yang disodorkan ke dunia. Dari China hingga Indonesia, puluhan negara ditetapkan sebagai target kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Trump dalam pidatonya di Rose Garden, Gedung Putih.
Trump menyebut kebijakan ini sebagai upaya mengembalikan keadilan dalam perdagangan internasional. “Negara kita telah dijarah, dirampok, diperkosa, dan dijadikan korban dalam sistem dagang global yang timpang,” kata Trump dalam pidatonya.
China, sebagai eksportir terbesar ke Amerika, ditetapkan mendapat tarif sebesar 34 persen. Vietnam menyusul dengan 46 persen. Indonesia tak luput dari daftar, dikenakan tarif sebesar 32 persen—angka yang jauh lebih tinggi dibanding tarif normal yang sebelumnya berkisar di bawah 5 persen. Bagi Indonesia, kebijakan ini bukan hanya ancaman terhadap neraca perdagangan, melainkan juga terhadap stabilitas makroekonomi nasional.
Menanggapi situasi ini, Bank Indonesia (BI) langsung mengambil langkah antisipasi dengan memantau ketat pergerakan pasar valas dan memastikan stabilitas rupiah tetap terjaga. Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso menegaskan kesiapan institusinya untuk intervensi pasar valas.
“BI tetap berkomitmen untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, terutama melalui optimalisasi instrumen triple intervention (intervensi di pasar valas pada transaksi spot dan DNDF, serta SBN di pasar sekunder) dalam rangka memastikan kecukupan likuiditas valas untuk kebutuhan perbankan dan dunia usaha serta menjaga keyakinan pelaku pasar,” ungkap Ramdan dalam keterangan resminya di Jakarta, Sabtu 5 April 2025.
Pasca pengumuman tarif oleh Trump yang kemudian direspons dengan retaliasi dari Tiongkok pada 4 April 2025, pasar keuangan global mengalami gejolak signifikan. Ramdan mengatakan, berdasarkan pantauan BI, Indeks saham global merosot tajam, sementara yield US Treasury turun ke titik terendah sejak Oktober 2024.
Menurut Ramdan, fenomena ini mempertegas dampak kebijakan unilateral terhadap kestabilan ekonomi global, dan Indonesia sebagai bagian dari rantai pasok internasional tentu tidak luput dari implikasinya.
Dalam jangka pendek, volatilitas nilai tukar dan tekanan terhadap cadangan devisa menjadi dua risiko utama yang harus diantisipasi. Di sinilah relevansi strategi intervensi Bank Indonesia diuji. Triple intervention menjadi senjata utama, tetapi efektivitasnya sangat bergantung pada koordinasi lintas sektor, khususnya dengan Kementerian Keuangan dan pelaku industri.
Tak hanya fokus pada dampak langsung terhadap rupiah, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) juga memberi peringatan terkait potensi risiko lain, seperti limpahan barang ekspor dari negara-negara yang gagal masuk ke pasar Amerika, yang bisa membanjiri pasar domestik Indonesia. Tanpa mekanisme perlindungan yang kuat, banjir produk impor ini dapat menekan industri manufaktur nasional dan memicu deindustrialisasi.
Diberitakan kabarbursa.com sebelumnya, DEN menyarankan agar pemerintah segera menjalankan reformasi struktural untuk menarik investasi baru, memperkuat daya saing ekspor, dan mempercepat perundingan perdagangan strategis seperti Indonesia–European Union CEPA. Selain itu, penerapan kebijakan non-tarif berbasis kualitas dan standar keberlanjutan juga menjadi solusi yang diusulkan untuk melindungi industri dalam negeri.
Secara geopolitik, langkah Trump dinilai sebagai upaya memperkuat posisi tawar Amerika Serikat menjelang pemilu presiden. Namun bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, kebijakan ini menciptakan turbulensi yang bisa menggoyahkan pencapaian pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, respons kebijakan tidak boleh setengah hati.
Pemerintah didorong agar bergerak cepat, meninggalkan sikap pasif, serta segera aktif dalam diplomasi internasional untuk mengantisipasi dampak buruk dari kebijakan Trump ini. Langkah-langkah yang terintegrasi antara stabilisasi moneter, kebijakan fiskal yang adaptif, dan diplomasi perdagangan menjadi kebutuhan mendesak.
Prinsip Fair Trade atau Bentuk Ketimpangan Baru?
Langkah kebijakan ini disebut-sebut sebagai upaya menciptakan perdagangan yang lebih adil. Namun, masih muncul pertanyaan apakah benar ini wujud dari prinsip fair trade, atau justru memperkenalkan bentuk ketimpangan baru?
Syafruddin Karimi dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas mengkritisi dampak kebijakan tarif Amerika Serikat terhadap Indonesia. Ia menyatakan bahwa beban tarif yang dikenakan bersifat tidak seimbang dan cenderung bermuatan politis ketimbang murni sebagai upaya penyesuaian neraca dagang.
“Indonesia dikenai tarif 32 persen, sementara defisit perdagangannya dengan AS hanya sekitar USD 18 miliar,” jelas Syafruddin dalam keterangannya di Jakarta, Kamis 3 April 2025.
Sebagai perbandingan, Vietnam yang mengalami defisit USD 123 miliar dikenai tarif 46 persen, sedangkan Tiongkok dengan defisit hampir USD 300 miliar hanya menerima tarif sebesar 34 persen.
“Hal ini memperlihatkan bahwa motif di balik kebijakan tersebut lebih pada tekanan geopolitik untuk memaksa negara-negara mitra mengikuti arah kebijakan ekonomi domestik AS,” lanjutnya.
Ia juga mempertanyakan implementasi konsep fair trade oleh AS. Menurutnya, dalam kerangka perdagangan internasional, fair trade seharusnya menjamin akses pasar yang setara, menjunjung hak-hak pekerja, dan mendukung keberlanjutan lingkungan.
“Tetapi, kebijakan Trump menjadikan konsep fair trade menjadi fear trade, di mana hubungan dagang didasarkan pada tekanan tarif, sanksi, dan ancaman eksklusi pasar,” ungkapnya.
Kebijakan ini menempatkan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, dalam posisi yang sulit. Negara seperti Vietnam, Thailand, dan Kamboja turut terdampak dengan tarif antara 30 hingga 49 persen, padahal kawasan Asia Tenggara merupakan elemen kunci dalam jaringan rantai pasok global pasca pandemi.
“Alih-alih mempererat kerja sama regional, Trump justru memicu fragmentasi,” tegas Syafruddin. (*)