Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Harga Minyak Dunia Ambrol Gegara Efek Tarif Trump

Harga minyak mentah longsor lebih dari tujuh persen, menandai penutupan terendah dalam tiga tahun terakhir setelah China membalas tarif Trump dengan kenaikan bea masuk 34 persen atas seluruh produk AS.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 05 April 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Harga Minyak Dunia Ambrol Gegara Efek Tarif Trump Ilustrasi minyak dunia ambrol gegara efek tarif Donald Trump. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia terjerembap pada Sabtu, 5 April 2025, dini hari WIB. Penurunan mencapai 7 persen dan membawa harga minyak ke posisi penutupan terendah dalam lebih dari tiga tahun terakhir. Penyebab utamanya adalah gelombang tarif baru dari China sebagai balasan atas kebijakan Presiden AS Donald Trump yang menaikkan tarif impor secara besar-besaran.

Beijing mengumumkan tarif tambahan sebesar 34 persen untuk seluruh barang asal Amerika Serikat mulai 10 April. Ini menjadi lonceng perang dagang global yang makin bising dan seluruh dunia kini bersiap membalas. Trump sendiri telah mengerek tarif ke level tertinggi dalam satu abad terakhir—dan investor di pasar keuangan tampak mulai kehilangan arah.

Tidak hanya minyak yang terpukul. Komoditas lain seperti gas alam, kedelai, dan emas juga ikut terjerembap. Pasar saham global ikut terguncang. Bahkan JPMorgan kini menaikkan proyeksi kemungkinan resesi global dari 40 persen menjadi 60 persen sebelum akhir tahun ini.

Dilansir dari Reuters di Jakarta, Sabtu, kontrak berjangka Brent turun USD4,56 atau setara Rp74.328 (kurs Rp16.300) menjadi USD65,58 (sekitar Rp1,07 juta) per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) jatuh USD4,96 atau setara Rp80.748 menjadi USD61,99 (sekitar Rp1,01 juta) per barel.

Di titik terendah sesi perdagangan, Brent sempat menyentuh USD64,03 (sekitar Rp1,04 juta), sedangkan WTI turun ke USD60,45 (sekitar Rp985 ribu)—dua level terendah dalam empat tahun terakhir. Brent mencatat kerugian mingguan terbesar secara persentase dalam satu setengah tahun terakhir, sementara WTI mencetak penurunan mingguan terbesar dalam dua tahun.

“Menurut saya, ini sudah mendekati harga wajar. Tapi kita belum tahu sejauh mana permintaan energi akan tergerus,” kata pakar energi dari United ICAP, Scott Shelton.

Ia menambahkan, “Dalam waktu dekat, harga WTI bisa jatuh ke kisaran pertengahan hingga atas USD50, dan itu akan terjadi secara brutal.” Menurutnya, permintaan global akan terpukul keras di tengah ketidakpastian ekonomi seperti sekarang.

Dari sisi otoritas moneter, Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengatakan tarif baru Trump jauh lebih besar dari perkiraan, dan dampak ekonominya—termasuk lonjakan inflasi serta perlambatan pertumbuhan—juga kemungkinan akan lebih berat dari yang dibayangkan. Pernyataan Powell ini memperlihatkan bahwa The Fed kini menghadapi pilihan-pilihan kebijakan yang tidak mudah dalam beberapa bulan ke depan.

OPEC+ Tambah Produksi, Harga Minyak Kian Tertekan

Harga minyak dunia makin tak punya ruang untuk bernapas setelah OPEC dan sekutunya di aliansi OPEC+ memutuskan mempercepat rencana kenaikan produksi. Aliansi produsen ini kini berencana mengembalikan pasokan sebanyak 411 ribu barel per hari (bph) ke pasar mulai Mei 2025—naik drastis dari rencana awal yang hanya 135 ribu bph.

Faktor penekan lainnya datang dari Laut Hitam. Konsorsium Pipa Kaspia (CPC) menyatakan pengadilan Rusia memutuskan fasilitas ekspor mereka tetap bisa beroperasi. Putusan ini menghindarkan Kazakhstan dari potensi penurunan produksi dan gangguan pasokan minyak global.

Meskipun impor minyak mentah, gas, dan produk olahan masih dikecualikan dari tarif baru Trump, kebijakan dagang yang agresif ini tetap berisiko memicu inflasi, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan memperkeruh perseteruan dagang global—semuanya menjadi sentimen negatif bagi harga minyak.

Merespons kondisi ini, analis Goldman Sachs memangkas target harga minyak untuk Desember 2025 sebesar USD5 masing-masing. Brent diprediksi berada di angka USD66 (sekitar Rp1,08 juta), sementara WTI di angka USD62 (sekitar Rp1,01 juta).

“Kami melihat risiko penurunan lanjutan pada proyeksi harga ini, apalagi untuk 2026, karena ancaman resesi yang makin besar dan—meski lebih kecil—potensi tambahan pasokan dari OPEC+,” tulis Kepala Riset Minyak Goldman Sachs, Daan Struyven, dalam catatan resminya.

Sementara itu, HSBC juga memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global pada 2025. Dari semula 1 juta barel per hari menjadi hanya 900 ribu barel, karena efek dari tarif dagang dan keputusan OPEC+.

Harga Minyak bisa Terus Merosot Hingga 2026

Proyeksi Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) mengindikasikan harga minyak kemungkinan akan tetap murah hingga setidaknya dua tahun ke depan. Dalam laporan tersebut, EIA memperkirakan harga rata-rata minyak Brent sepanjang 2025 akan berada di kisaran USD81 per barel (sekitar Rp1,34 juta). Angka ini diperkirakan turun menjadi USD74 (Rp1,22 juta) pada 2025 dan terus melemah ke USD66 (Rp1,09 juta) pada 2026.

Turunnya harga minyak ini bukan sekadar efek dari tensi geopolitik atau keputusan OPEC+ untuk mengatur suplai. Yang lebih menentukan adalah pertumbuhan pasokan global yang melaju jauh lebih cepat ketimbang pemulihan permintaan. Negara-negara produsen di luar OPEC+ justru tampil agresif meningkatkan output mereka, membuat pasar kelebihan pasokan dan harga kian melemah.

Kendati begitu, ada satu faktor yang berpotensi membalik arah tren, yakni sanksi energi baru dari pemerintah Amerika Serikat terhadap Rusia yang diumumkan pada awal Januari 2025. Jika sanksi ini berhasil menekan volume ekspor Rusia secara signifikan, maka suplai global bisa terganggu dan harga minyak kemungkinan besar akan naik kembali.

Namun hingga skenario itu benar-benar terjadi, EIA tetap memperkirakan tren penurunan harga akan berlanjut dalam jangka menengah. Permintaan energi dunia yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi, ditambah dengan stok minyak global yang masih melimpah, menciptakan tekanan ganda yang menahan harga tetap di bawah.(*)