KABARBURSA.COM - Harga emas jatuh lebih dari 3 persen pada Sabtu, 5 April 2025, dini hari WIB dan menghapus seluruh keuntungan yang diraih sejak awal pekan. Aksi jual emas terjadi lantaran investor terpaksa melepas aset-asetnya untuk menutup kerugian di pasar yang sedang ambruk setelah perang dagang yang memanas memicu ketakutan akan resesi global.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Sabtu, harga emas spot turun 2,9 persen ke level USD3.024,2 per ons (sekitar Rp49,9 juta dengan kurs Rp16.500), usai sempat menyentuh titik terendah di USD3.015,29 di awal sesi. Padahal sehari sebelumnya, logam mulia ini sempat menembus rekor tertinggi sepanjang masa di USD3.167,57. Secara mingguan, emas tercatat turun 1,9 persen.
Sementara itu, kontrak berjangka emas di bursa AS (futures) ditutup turun 2,8 persen ke USD3.035,40.
Secara teknikal, harga emas spot masih mampu bertahan di atas rata-rata pergerakan 21 harinya di level USD3.023, yang menurut analis menunjukkan kestabilan relatif.
“Kita sering melihat emas dijual sebagai aset likuid untuk menutupi margin call di tempat lain, jadi bukan hal aneh kalau harga emas jatuh usai kejadian pasar berisiko,” ujar Suki Cooper, analis di Standard Chartered. “Perilakunya masih sesuai dengan pola historis.”
Pasar saham global sendiri mengalami koreksi dua hari berturut-turut. Indeks S&P 500 dan Nasdaq sama-sama anjlok sekitar lima persen setelah China mengumumkan balasan berupa tarif tambahan sebesar 34 persen terhadap semua produk AS mulai 10 April—sebagai respons atas kebijakan tarif resiprokal Presiden Donald Trump yang diumumkan pekan ini.
Meski begitu, emas masih naik sekitar 15,3 persen sepanjang tahun ini. Lonjakan itu didorong oleh pembelian besar-besaran dari bank sentral dan daya tarik emas sebagai lindung nilai terhadap ketidakpastian ekonomi dan geopolitik.
“Walau fluktuatif, emas tetap jadi tempat berlindung bagi banyak investor,” kata analis senior dari City Index, Matt Simpson.
Dari sisi kebijakan, Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell menyebut bahwa tarif baru yang diumumkan Trump lebih besar dari yang diperkirakan, dan dampaknya terhadap inflasi serta pertumbuhan ekonomi diperkirakan juga lebih buruk dari prediksi awal.
Di pasar mata uang, indeks dolar naik 0,7 persen terhadap mata uang utama lainnya. Kenaikan ini membuat harga emas yang dijual dalam dolar menjadi lebih mahal bagi pembeli luar negeri.
Sementara itu, data ketenagakerjaan AS yang lebih baik dari perkiraan turut memengaruhi arah kebijakan suku bunga. “Data nonfarm payrolls kali ini bisa menguatkan argumen The Fed untuk menunda pemangkasan suku bunga,” ujar COO Allegiance Gold, Alex Ebkarian. Padahal, ia menambahkan, emas biasanya lebih bersinar di tengah lingkungan suku bunga rendah.
Di pasar logam mulia lainnya, pergerakan pun tak kalah tajam. Harga perak jatuh 7,3 persen ke USD29,54 per ons atau mencatat pekan terburuk sejak September 2020. Platinum turun 3,6 persen ke USD918,35, sedangkan palladium ikut melorot dua persen ke USD909,75—keduanya juga tercatat rugi secara mingguan.
Goldman Sachs: Reli Emas Belum Berakhir
Kinerja harga emas global masih menunjukkan tenaga yang belum habis. Sejak awal 2024, logam mulia ini sudah melesat lebih dari 40 persen dan terus mencetak rekor baru. Goldman Sachs Research pun kembali menaikkan proyeksi harga emas hingga akhir 2025, dengan perkiraan kenaikan tambahan sebesar 8 persen.
Dengan proyeksi baru ini, harga emas diperkirakan bisa menembus level USD3.100 per troy ons (sekitar Rp51,15 juta), jauh lebih tinggi dibanding estimasi sebelumnya yang hanya berkisar USD2.890 (sekitar Rp47,68 juta).
Analis Goldman Sachs, Lina Thomas, menyatakan bahwa revisi ini terutama didorong oleh peningkatan permintaan dari bank sentral dunia. Sejak invasi Rusia ke Ukraina yang berujung pada pembekuan aset bank sentral Rusia pada 2022, semakin banyak negara memilih mengalihkan cadangan devisanya ke emas sebagai bentuk perlindungan. Hingga saat ini, tren itu belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda.
Tak cuma bank sentral, investor ritel juga ikut menyerbu pasar emas—terutama lewat instrumen ETF berbasis fisik. Seiring tren pelonggaran suku bunga global, investor mulai menghindari obligasi dan kembali memeluk emas sebagai aset lindung nilai yang lebih menarik.
Meski begitu, Thomas mengingatkan soal peran spekulan di pasar berjangka. Saat ini, posisi spekulatif tergolong tinggi, utamanya karena pasar masih dibayangi ketidakpastian soal tarif baru dari Presiden Donald Trump.
Jika ketegangan global makin dalam—entah karena perang dagang, konflik geopolitik, atau krisis utang AS—para spekulan bisa mendorong harga emas naik lebih agresif lagi. Dalam skenario paling ekstrem, harga emas bisa saja menembus USD3.300 (sekitar Rp54,45 juta) per troy ons di akhir 2025.
Goldman mencatat lonjakan signifikan dalam pembelian emas institusi di pasar London. Jika sebelumnya rata-rata pembelian hanya sekitar 17 ton per bulan sebelum 2022, maka pada Desember 2024 angkanya melonjak hingga 108 ton. Artinya, permintaan dari bank sentral kini sudah lima kali lipat lebih tinggi dibanding dua tahun lalu—cukup jadi dasar kuat bagi Goldman untuk memperbarui proyeksinya.(*)