KABARBURSA.COM – Sabtu, 5 April 2025, dini hari WIB yang biasanya tenang berubah jadi mimpi buruk bagi pelaku pasar keuangan global. Bursa Wall Street seperti kehilangan rem: S&P 500 ambles 5,7 persen, Dow Jones Industrial Average longsor 2.054 poin, dan Nasdaq ikut anjlok 5,5 persen menjelang penutupan. Semua ini dipicu balasan China atas tarif tinggi dari Presiden Donald Trump. Perang dagang bukan hanya memanas—tapi mendidih.
Langkah China yang menaikkan tarif sebesar 34 persen untuk seluruh produk impor asal Amerika Serikat langsung menyambar pasar. Beijing menyatakan tarif itu akan efektif per 10 April. Ini respons atas kebijakan AS yang lebih dulu mematok tarif serupa terhadap barang-barang China. Dua raksasa ekonomi dunia kini saling hantam, dan dunia ikut terguncang.
Pasar Eropa ikut ketiban sial. Saham-saham di Benua Biru rontok hingga 5 persen. Harga minyak mentah jatuh ke titik terendah sejak 2021. Komoditas seperti tembaga—batu bata bagi pertumbuhan ekonomi—juga ikut loyo karena kekhawatiran bahwa ekonomi global bakal melempem.
Laporan ketenagakerjaan AS yang biasanya jadi penyegar bulanan, kali ini pun tak kuasa menyelamatkan pasar. Data itu memang menunjukkan perekrutan tenaga kerja lebih baik dari ekspektasi, tapi investor sudah keburu dibayangi bayang-bayang resesi global.
Dilansir dari AP di Jaka, Sabtu, Rick Rieder dari BlackRock menyimpulkannya begini: “Dunia telah berubah. Begitu juga kondisi ekonominya.”
Pertanyaannya sekarang, apakah perang tarif ini bakal menyeret dunia ke jurang resesi? Kalau iya, penurunan harga saham belum akan berhenti di sini. S&P 500 saja sudah rontok 16 persen dari rekor tertingginya di Februari lalu.
Sementara itu, Trump terlihat adem-ayem. Dari klub pribadinya di Mar-a-Lago, ia malah sempat main golf. Di media sosial, ia menulis dengan huruf besar semua: “THIS IS A GREAT TIME TO GET RICH (Sekarang adalah waktu yang tepat untuk jadi kaya).”
Beberapa analis di Wall Street masih berharap, Trump hanya sedang menggertak dan akan menurunkan tarif setelah meraih sejumlah “kemenangan” dalam negosiasi. Tapi kalau tidak, ancaman resesi bakal jadi kenyataan.
Trump memang pernah bilang rakyat AS mungkin akan “merasakan sedikit sakit” karena tarif ini. Tapi ia juga menyamakan kebijakan itu seperti operasi bedah: sakit di awal, demi sembuh jangka panjang. “Ekonomi Amerika adalah pasiennya,” ujarnya Kamis lalu.
Namun bagi investor, rasa sakitnya terasa nyata. “Ini seperti operasi tanpa bius,” kata Brian Jacobsen dari Annex Wealth Management.
Meski begitu, Jacobsen menyebut kejutan berikutnya bisa datang dari seberapa cepat negosiasi akan berlangsung. “Kecepatan pemulihan sangat tergantung pada bagaimana dan seberapa cepat para pejabat bisa mencapai kesepakatan,” ujarnya.
Vietnam pun bersiap. Wakil Perdana Menterinya dijadwalkan bertandang ke AS untuk membuka jalan dialog dagang. Presiden Komisi Eropa juga menyatakan siap melawan. Beberapa negara lain tengah mengusahakan negosiasi untuk mendapat kelonggaran tarif.
Trump tak tinggal diam. Di platform Truth Social miliknya, ia mengkritik respons China. “CHINA PLAYED IT WRONG, THEY PANICKED – THE ONE THING THEY CANNOT AFFORD TO DO! (China salah langkah, mereka panik – satu hal yang tidak mampu mereka lakukan),” tulisnya.
Dengan ketegangan yang terus memuncak dan belum ada titik terang dari diplomasi, satu hal jadi jelas, pasar keuangan dunia sedang menghadapi guncangan paling serius sejak krisis COVID-19. Dan seperti biasa, Wall Street kembali jadi medan tempur utama.
Pasar Obligasi AS Juga Ikut Loyo
Di Wall Street, saham perusahaan-perusahaan Amerika yang punya paparan bisnis besar di China jadi korban paling parah. DuPont, misalnya, ambles 11,7 persen setelah otoritas China mengumumkan penyelidikan anti-monopoli terhadap anak usahanya, DuPont China Group. Langkah itu diyakini sebagai bagian dari retaliasi Beijing terhadap kebijakan tarif Washington.
GE Healthcare yang mendapatkan 13,8 persen pendapatannya tahun lalu dari pasar China juga tak luput dari tekanan. Sahamnya melorot tajam 12,7 persen di tengah sentimen negatif yang terus bergulir.
Dari pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS ikut menukik tajam. Yield obligasi bertenor 10 tahun turun ke level 3,99 persen dari 4,06 persen di hari Kamis, dan jauh dari sekitar 4,80 persen di awal tahun. Pergerakan sebesar ini tergolong besar dalam dunia obligasi, dan mencerminkan kekhawatiran investor terhadap daya tahan ekonomi AS.
Secara teori, Federal Reserve bisa merespons perlambatan ini dengan memangkas suku bunga acuannya, seperti yang sempat dilakukan akhir tahun lalu. Tapi sekarang ruang geraknya tak lagi seleluasa dulu. Ada risiko inflasi yang mulai menyelinap dari balik lonjakan harga akibat tarif.
Ketua The Fed, Jerome Powell, dalam pidato tertulisnya di Arlington, Virginia, menyampaikan kekhawatiran bahwa tarif bisa memicu ekspektasi inflasi yang lebih tinggi. Bagi The Fed, hal ini bisa lebih berbahaya dibanding inflasi itu sendiri karena berisiko memicu siklus perilaku ekonomi yang memperburuk situasi.
“Tugas kami adalah menjaga ekspektasi inflasi jangka panjang tetap terkendali, dan memastikan bahwa lonjakan harga sekali waktu tidak menjelma menjadi masalah inflasi berkepanjangan,” kata Powell.
Pernyataan ini bisa dibaca sebagai sinyal bahwa The Fed mungkin akan menahan diri dari memotong suku bunga dalam waktu dekat. Soalnya, pemangkasan suku bunga bisa memicu lonjakan inflasi baru di tengah kondisi yang sudah panas.
Sementara itu, pasar saham global juga ikut terpukul. Indeks DAX di Jerman jatuh 5 persen, CAC 40 di Prancis turun 4,3 persen, dan Nikkei 225 di Jepang melemah 2,8 persen. Dunia kini benar-benar berada di tengah pusaran perang tarif yang memukul semua lini—dari bursa saham, komoditas, hingga utang pemerintah.(*)