KABARBURSA.COM - Indonesia terkena imbas kebijakan kenaikan tarif yang baru saja diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump sebesar 32 persen.
Ekonom Institute Pertanian Bogor (IPB), Didin Damanhuri, menyebut perdagangan yang tinggi yang diterapkan oleh Amerika Serikat, yakni sebesar 32 persen, berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif langsung terhadap perekonomian Indonesia.
Salah satu dampak yang sudah terlihat adalah depresiasi Rupiah, yang saat ini telah mencapai Rp 16.700 per USD dan berpotensi melampaui Rp 17.000 per USD dalam beberapa hari ke depan.
"Depresiasi Rupiah akan memberikan tekanan lebih besar terhadap biaya impor dan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah," kata Didin kepada wartawan di Jakarta pada Kamis, 3 April 2025.
Selain itu, Didin memperingatkan bahwa pemutusan hubungan kerja atau PHK besar-besaran di perusahaan-perusahaan besar dapat terjadi akibat ketergantungan pada transaksi dalam dolar AS.
Hal ini dapat menyebabkan kemerosotan ekonomi perusahaan-perusahaan yang berisiko bangkrut, yang pada gilirannya akan berdampak pada UMKM, karena banyak usaha kecil yang terhubung dalam rantai pasokan dari perusahaan besar.
"Turunnya penerimaan pajak juga tak terelakkan, yang sudah terlihat sejak beberapa bulan terakhir dengan penurunan sekitar 30 persen," kata Didin.
Dampak lainnya adalah penurunan daya beli masyarakat, yang telah terlihat dengan penurunan jumlah orang yang melakukan mudik dan penurunan perputaran uang yang mencapai 24 persen.
Didin juga menekankan potensi meningkatnya sentimen pesimisme, baik di kalangan pelaku usaha maupun pemerintah, yang dapat memperburuk kepercayaan publik terhadap perekonomian. Tidak hanya itu, ia juga mengingatkan kemungkinan kenaikan tingkat kriminalitas yang dapat meresahkan masyarakat.
Saran untuk Menghadapi Dampak Tarif Tinggi AS
Sebagai upaya menghadapi tantangan ini, Didin memberikan beberapa saran untuk langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Evaluasi dampak jangka pendek, menengah, dan panjang – Pemerintah Indonesia perlu segera mengevaluasi dampak jangka pendek, menengah, dan panjang dari kebijakan tarif tinggi AS terhadap perekonomian dan melakukan upaya kerjasama ekonomi dengan negara-negara ASEAN, OKI, dan BRICSplus.
Reajustment terhadap program pemerintah – Pemerintah harus melakukan penyesuaian terhadap situasi baru yang disebabkan oleh tarif tinggi dari AS, baik dalam kebijakan fiskal, visi, misi, maupun program-program yang sedang berjalan.
Shifting pendanaan dan stimulus untuk UMKM – Untuk membangkitkan pasar domestik, pemerintah perlu menyiapkan dana besar yang dapat digunakan untuk memberikan stimulus kepada pelaku usaha, terutama UMKM dan daerah-daerah yang terdampak.
Penghentian pengeluaran yang tidak perlu – Pemerintah perlu menghentikan pengeluaran yang tidak produktif.
Konsolidasi politik, ekonomi, dan sosial – Agar tidak terjadi perpecahan, narasi pembelahan bangsa harus dihentikan. Didin menekankan pentingnya konsolidasi antara pemerintah, elit politik, dan masyarakat untuk bersama-sama menghadapinya.
Prioritaskan Kebutuhan Pokok
Masyarakat diharapkan lebih memprioritaskan pengeluaran untuk kebutuhan pokok dan meningkatkan semangat saling tolong-menolong (ta’awun) antar keluarga, tetangga, dan daerah agar tidak ada yang terabaikan.
Peran aparat keamanan – Aparat keamanan diharapkan untuk lebih cepat dan bijaksana dalam mengantisipasi potensi peningkatan ketegangan sosial dan kriminalitas yang bisa meningkat dalam situasi ekonomi yang sulit.
"Penting bagi Indonesia untuk segera beradaptasi dengan kebijakan tarif ini, dan mendorong kerjasama internasional agar dapat menjaga stabilitas ekonomi domestik serta mendukung pemulihan sektor-sektor yang paling terdampak," kata dia.
Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia dapat mengurangi dampak negatif dari tarif tinggi yang diberlakukan oleh Amerika Serikat dan menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di tengah ketidakpastian global.
Senada dengan Didin, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengungkapkan memberikan pandangannya mengenai kebijakan perdagangan yang diterapkan oleh Presiden AS, Donald Trump, yang disebut-sebut dapat memicu ketidakstabilan ekonomi global.
Menurut Wijayanto, kebijakan tarif tinggi yang dipaksakan oleh AS merupakan langkah desperado untuk menyelamatkan keuangan negara tersebut, meskipun dengan mengorbankan ekonomi dunia. Tindakan Trump, menurutnya, berfokus pada upaya menyelamatkan fiskal Amerika yang tengah terjerat defisit anggaran besar.
"Trump sangat terdesak, dan kebijakan-kebijakan yang ia ambil, termasuk tarif timbal balik (reciprocal tariff), lebih dilihat sebagai usaha untuk memperbaiki masalah fiskal domestik AS yang memburuk," ujar Wijayanto.
"Dengan defisit anggaran yang diperkirakan mencapai USD 1,1 triliun tahun ini, AS memang berada di tepi jurang kebangkrutan fiskal," sambung dia,
Memperburuk Perlambatan Ekonomi Global
Menurut Wijayanto, Trump menghadapi pilihan sulit, menaikkan pajak yang bertentangan dengan prinsip Partai Republik atau mencari cara lain untuk menambah pendapatan negara tanpa langsung menyentuh pajak.
"Peningkatan tarif impor adalah solusi yang dianggapnya paling aman meskipun pada kenyataannya ini hanyalah pajak terselubung yang dibebankan pada masyarakat AS melalui kenaikan harga barang impor," jelasnya.
Dampak dari kebijakan ini, menurut Wijayanto, akan terasa secara global. Kebijakan Trump akan memperburuk perlambatan ekonomi global. Lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia sudah pasti akan merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia, dan investor akan semakin beralih ke aset yang lebih aman seperti emas dan surat utang pemerintah.
Bagi Indonesia, dampaknya akan sangat besar. Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan akan melambat, bahkan impian untuk mencapai target 5 persen tahun ini menjadi semakin tidak realistis. "Bagi Indonesia, dengan ketergantungan ekspor yang cukup besar ke AS, terutama dalam produk-produk padat karya seperti sepatu, tekstil, dan elektronik, tekanan terhadap perekonomian akan semakin besar. Ini akan memicu potensi PHK dan penurunan daya beli masyarakat," tutur Wijayanto.
Namun, meskipun langkah negosiasi dengan AS tampaknya tidak terlalu mungkin dalam waktu dekat, Wijayanto memberikan sejumlah saran untuk Indonesia agar dapat menghadapi dampak dari kebijakan ini dengan lebih baik. Ia mencatatkan tujuh langkah yang perlu segera diambil oleh pemerintah Indonesia.
1. Memperkuat cadangan devisa untuk menghadapi potensi gejolak mata uang dalam jangka panjang dan segera menerapkan kebijakan DHE (Devisa Hasil Ekspor) secara tuntas.
2. Melakukan rekalibrasi APBN dengan mengurangi pengeluaran yang tidak produktif dan memprioritaskan program-program yang dapat mendongkrak daya beli masyarakat dan penciptaan lapangan kerja.
3. Mengetatkan impor legal dan menghentikan impor ilegal secara total, untuk melindungi industri domestik serta menjaga potensi pendapatan negara.
4. Menguatkan sektor jasa keuangan, terutama perbankan dan pasar modal, untuk dapat berfungsi sebagai penyangga terhadap ketidakpastian ekonomi global.
5. Mengeluarkan kebijakan ekonomi yang komprehensif dan realistis yang dapat mengarahkan perekonomian Indonesia keluar dari ketidakpastian global ini.
6. Memperkuat kerja sama perdagangan dan investasi dengan negara-negara lainnya, termasuk negara-negara dengan sentimen serupa, seperti ASEAN, India, Timur Tengah, dan Afrika.
7. Menyiapkan tim negosiasi yang siap berhadapan dengan AS ketika kondisi sudah memungkinkan untuk melakukan dialog.
Wijayanto mengingatkan bahwa perjalanan ke depan akan penuh tantangan. "Kepemimpinan Prabowo akan diuji tidak oleh kondisi yang nyaman, tetapi oleh gejolak yang ada. Rakyat Indonesia menunggu langkah-langkah brilian dari Pak Prabowo dalam menghadapi badai ekonomi ini," ujar Wijayanto.
Trump baru saja mengumumkan kebijakan tarif balasan atau reciprocal tariffs (perang dagang) dan Indonesia salah satu negara yang terkena imbasnya. Indonesia termasuk dalam daftar Dirty Fifteen dengan tarif perdagangan sebesar 64 persen terhadap Amerika Serikat, yang dibalas dengan tarif balasan sebesar 32 persen.
Artinya, Indonesia masuk daftar 15 negara dengan tarif perdagangan atau tarif bea masuk yang sangat tinggi. Dengan tarif perdagangan sebesar 64 persen, Indonesia mungkin dianggap sebagai salah satu negara yang memberlakukan tarif impor yang tinggi, yang dapat memengaruhi perdagangan internasional.
Berdasarkan data yang dirilis Reciprocal Traffis pada 3 April 2025, berikut adalah beberapa negara yang juga dikenai tarif balasan oleh Amerika Serikat:
- Vietnam: Tarif terhadap Amerika Serikat 90 persen, dibalas tarif Amerika Serikat 46 persen.
- Thailand: Tarif terhadap Amerika Serikat 72 persen, dibalas tarif Amerika Serikat 36 persen.
- Swiss: Tarif terhadap Amerika Serikat 61 persen, dibalas tarif Amerika Serikat 31 persen.
- China: Tarif terhadap Amerika Serikat 67 persen, dibalas tarif Amerika Serikat 34 persen.
- Taiwan: Tarif terhadap Amerika Serikat 64 persen, dibalas tarif Amerika Serikat 32 persen.
- Malaysia: Tarif terhadap Amerika Serikat 47 persen, dibalas tarif Amerika Serikat 24 persen.
- Sri Lanka: Tarif terhadap Amerika Serikat 88 persen, dibalas tarif Amerika Serikat 44 persen.(*)