Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Harga Minyak dan Gas Naik, Batu Bara dan Metanol Tertekan

Harga energi hari ini mengalami fluktuasi yang beragam, minyak mentah dan gas alam mengalami kenaikan.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 02 April 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Pramirvan Datu
Harga Minyak dan Gas Naik, Batu Bara dan Metanol Tertekan Ilustrasi tumpukan batu bara yang telah ditambang. Foto: Shutterstock

KABARBURSA.COM – Harga komoditas energi  menunjukkan pergerakan bervariasi pada perdagangan terbaru, dengan minyak mentah (crude oil) dan gas alam mencatat kenaikan signifikan. Sementara batu bara (coal) dan metanol (methanol) mengalami penurunan. 

Data Trading Economics per 2 April 2025 mencatat harga minyak mentah WTI (West Texas Intermediate) berada di level USD 71,31 per barel, naik 0,16 persen dalam sehari dan menguat 2,39 persen dalam sepekan. Sementara itu, minyak Brent tercatat pada USD 74,58 per barel, naik tipis 0,13 persen secara harian dan 2,13 persen secara mingguan.

Di sisi lain, harga gas alam mengalami sedikit koreksi dengan kontrak berjangka (futures contract) tercatat di USD 3,94 per MMBtu (Million British Thermal Units), turun 0,10 persen dalam sehari, meskipun secara year-to-date (YTD) masih menguat 8,64 persen. Kenaikan signifikan tercatat pada harga gas TTF (Title Transfer Facility) Eropa dan gas Inggris (UK Gas), yang masing-masing naik 5,38 persen dan 5,06 persen dalam sehari.

Batu bara mengalami pelemahan dengan harga tercatat USD 102,65 per ton, turun 0,34 persen dalam sehari, meskipun secara mingguan mengalami kenaikan 6,48 persen. Adapun harga etanol (ethanol) dan naptha (naphtha) menunjukkan tren positif, dengan etanol naik 1,98 persen menjadi USD 1,805 per galon dan naptha menguat tipis 0,09 persen menjadi USD 609,86 per ton.

Volatilitas Harga Energi

Di sektor bahan bakar lainnya, harga bensin (gasoline) naik tipis 0,02 persen menjadi USD 2,30 per galon, sedangkan propane tercatat stagnan di USD 0,88 per galon. Uranium, yang sempat mengalami lonjakan harga dalam beberapa bulan terakhir, kini berada di USD 64,60 per pon setelah naik 0,39 persen dalam sehari, namun masih terkoreksi 11,51 persen secara YTD.

Adapun harga methanol di pasar China tercatat turun 0,73 persen menjadi CNY 2.569 per ton dalam sehari dan melemah 7,16 persen secara YTD. Sementara itu, heating oil (minyak pemanas) dan gasoline juga mencatat kenaikan tipis masing-masing sebesar 0,02 persen.

Secara keseluruhan, volatilitas harga energi dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pergerakan pasar global, kebijakan OPEC+ (Organization of the Petroleum Exporting Countries), serta kondisi permintaan dan pasokan di masing-masing regional.

Diberitakan KabarBursa.com sebelumnya, Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, mempertanyakan bagaimana Amerika Serikat akan memastikan bahwa suatu negara membeli minyak dari Rusia. Apakah semua mitra dagang AS harus membuka data kontrak energi mereka? Keraguan serupa juga disampaikan oleh William Reinsch dari Center for Strategic and International Studies, yang menilai kebijakan ini masih belum jelas secara teknis.

Syafruddin juga menilai langkah ini bisa menjadi bumerang bagi ekonomi global, terutama bagi negara-negara berkembang yang bergantung pada energi murah.

"Jika AS memaksakan tarif sekunder ini, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh Rusia, tetapi juga akan mengganggu keseimbangan pasar energi dunia dan mempersulit negara berkembang yang sangat bergantung pada minyak murah," ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Senin 31 Maret 2025.

Lebih berbahaya lagi, kebijakan ini membuka babak baru dalam penggunaan hegemoni ekonomi AS untuk mengatur kebijakan luar negeri negara lain. “Ini bukan lagi tentang memerangi Rusia, tetapi tentang mengendalikan pasar global lewat jalur energi,” tambah dia.

Bagi negara-negara berkembang seperti India, kebijakan ini menempatkan mereka dalam dilema. India telah menjadi pembeli utama minyak mentah Rusia, mencapai 35 persen dari total impor minyaknya pada 2024. Minyak Rusia ditawarkan dengan harga diskon besar, yang sangat menguntungkan untuk menjaga inflasi dan stabilitas fiskal.

Jika India harus menghindari minyak Rusia demi menghindari tarif AS, maka harga energi dalam negeri akan naik drastis. Situasi yang sama bisa terjadi di banyak negara Global South. Negara-negara ini tertekan antara kebutuhan energi murah dan risiko kehilangan akses ke pasar AS.

Indonesia sendiri bukan pembeli langsung minyak Rusia dalam jumlah besar, tetapi sangat rentan terhadap dampak global. Lonjakan harga minyak akibat gejolak pasar dapat meningkatkan beban subsidi BBM, memperlemah nilai tukar rupiah, dan pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat.

"Indonesia harus bersiap menghadapi ketidakpastian pasar energi global. Jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, negara berkembang seperti kita harus mencari strategi diversifikasi energi agar tidak terlalu bergantung pada satu sumber,” tambah Syafruddin.

Laporan terbaru Global Energy Review yang dirilis oleh International Energy Agency (IEA) mengungkapkan bahwa permintaan energi global meningkat sebesar 2,2 persen sepanjang 2024. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan tahunan dalam satu dekade terakhir yang hanya sekitar 1,3 persen. Meski masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,2 persen, akselerasi permintaan energi ini menunjukkan betapa besar kebutuhan energi, terutama di negara-negara berkembang dan ekonomi baru yang menyumbang lebih dari 80 persen dari kenaikan tersebut.

Batu bara tetap menjadi salah satu sumber energi utama, dengan permintaan global yang meningkat 1 persen sepanjang tahun lalu. Gelombang panas ekstrem yang melanda China dan India menjadi pemicu utama lonjakan konsumsi listrik untuk pendinginan, yang pada akhirnya mendongkrak permintaan batu bara. Dua negara ini menyumbang lebih dari 90 persen dari kenaikan konsumsi batu bara global.

Sementara itu, di Amerika Serikat, penggunaan batu bara dalam pembangkitan listrik juga mengalami peningkatan, terutama di awal 2025. Bukan karena kebijakan pemerintah, melainkan akibat musim dingin terdingin dalam enam tahun terakhir yang membuat konsumsi listrik melonjak. Kenaikan harga gas alam yang signifikan juga membuat pembangkitan listrik berbasis gas menjadi lebih mahal dibandingkan batu bara, sehingga para produsen listrik di AS lebih memilih kembali mengandalkan batu bara untuk memenuhi kebutuhan energi.
Data dari Administrasi Informasi Energi AS (EIA) menunjukkan bahwa total pembangkitan listrik di AS meningkat 5,5 persen secara tahunan pada Januari 2025, dengan penggunaan batu bara meningkat hampir di seluruh wilayah kecuali bagian barat.

Harga Batu Bara Meroket di Pasar Global

Dampak dari lonjakan permintaan energi ini terlihat jelas pada pergerakan harga batu bara di pasar global. Kontrak berjangka batu bara Newcastle untuk Maret 2025 mengalami kenaikan sebesar USD0,35 menjadi USD96,75 per ton. Sementara untuk April 2025, harga melonjak lebih tinggi, naik USD2,15 menjadi USD100,4 per ton. Tren positif ini berlanjut pada Mei 2025, di mana harga kembali naik USD2 menjadi USD103,25 per ton.

Kenaikan harga juga terjadi di pasar batu bara Rotterdam. Untuk kontrak Maret 2025, harga naik USD0,55 menjadi USD97,6 per ton. Sementara kontrak April 2025 mengalami kenaikan USD 1,6 menjadi USD99,25, dan Mei 2025 meningkat USD1,9 menjadi USD99,05 per ton.(*)