KABARBURSA.COM - Harga emas dunia melemah tipis pada Rabu, 2 April 2025, dini hari WIB karena investor melakukan aksi ambil untung setelah lonjakan signifikan belakangan ini. Meski begitu, logam mulia ini masih bertahan di dekat rekor tertingginya, seiring gelombang kekhawatiran pasar terhadap pengumuman tarif dagang baru dari Presiden Donald Trump.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, harga emas spot turun 0,3 persen menjadi USD3.113,43 per ons (sekitar Rp50,77 juta) pada pukul 13.46 waktu New York, setelah sebelumnya sempat menyentuh rekor sepanjang masa di USD3.148,88 per ons (sekitar Rp51,34 juta). Sementara itu, emas berjangka AS ditutup melemah 0,1 persen di level USD3.146 (sekitar Rp51,28 juta).
“Wajar kalau sekarang ada aksi ambil untung, apalagi pasar emas sempat masuk zona jenuh beli. Tapi secara fundamental, tidak banyak yang berubah… ini kondisi sempurna buat emas,” ujar Wakil Presiden sekaligus analis logam senior di Zaner Metals, Peter Grant.
Pasar kini menunggu kejelasan soal tarif yang akan diumumkan Trump hari ini. Menurut laporan Washington Post, staf Gedung Putih telah menyusun rencana tarif sekitar 20 persen untuk sebagian besar barang impor AS dari negara-negara yang memiliki ketimpangan neraca dagang dengan Negeri Paman Sam.
Sebagai aset lindung nilai yang kerap dicari saat gejolak geopolitik atau ekonomi, emas baru saja menyelesaikan kuartal terbaiknya sejak tahun 1986. Lonjakannya melewati USD3.100 per ons menandai salah satu kenaikan paling mencolok dalam sejarah logam mulia ini.
Bank investasi Goldman Sachs pun ikut menambah tensi. Pada Senin, mereka menaikkan peluang resesi ekonomi AS menjadi 35 persen, dari sebelumnya 20 persen. Mereka juga memproyeksikan pemangkasan suku bunga lanjutan oleh The Fed, sesuatu yang biasanya mendongkrak harga emas karena logam ini tidak menghasilkan bunga dan cenderung kinclong di era suku bunga rendah.
“Kami masih melihat harga emas akan terus naik,” kata Ryan McIntyre, manajer portofolio senior di Sprott Asset Management. Ia menyebutkan kenaikan ini juga ditopang oleh pembelian masif oleh ETF berbasis emas fisik serta bank sentral di berbagai negara.
Secara teknikal, indikator Relative Strength Index (RSI) emas kini berada di atas angka 70, yang menandakan bahwa emas tengah berada di wilayah jenuh beli.
Sementara itu, data dari Biro Statistik Ketenagakerjaan AS menunjukkan jumlah lowongan kerja per akhir Februari turun menjadi 7,568 juta, lebih rendah dari ekspektasi ekonom yang memperkirakan 7,616 juta. Para pelaku pasar kini menanti laporan non-farm payrolls pada Jumat untuk mencari sinyal arah kebijakan suku bunga The Fed selanjutnya.
Dari logam mulia lain, harga perak turun 1,4 persen ke USD33,60 per ons (sekitar Rp548 ribu), platinum turun 0,8 persen ke USD984,64 (sekitar Rp16,05 juta), dan palladium melemah 0,2 persen ke USD981,00 (sekitar Rp15,99 juta).
Goldman Sachs: Emas Belum Capai Garis Akhir
Kenaikan harga emas dunia tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Sejak awal 2024, logam mulia ini sudah melesat lebih dari 40 persen dan terus memecahkan rekor demi rekor. Goldman Sachs Research pun mengerek naik proyeksi harga emas hingga akhir 2025 dengan prediksi tambahan kenaikan sebesar 8 persen.
Dengan revisi ini, harga emas berpeluang melampaui USD3.100 per troy ons (sekitar Rp51,15 juta), jauh di atas proyeksi awal yang hanya di kisaran USD2.890 (sekitar Rp47,68 juta).
Analis Goldman, Lina Thomas, menyebut lonjakan permintaan dari bank sentral sebagai pemicu utama revisi tersebut. Sejak Rusia menginvasi Ukraina dan aset bank sentralnya dibekukan pada 2022, banyak negara mulai mengalihkan cadangan devisa mereka ke emas sebagai bentuk perlindungan. Sampai sekarang, tren ini belum menunjukkan tanda akan melambat.
Tak cuma bank sentral, investor ritel juga ikut menyerbu pasar emas—terutama lewat instrumen ETF berbasis fisik. Seiring tren pelonggaran suku bunga global, investor mulai menghindari obligasi dan kembali memeluk emas sebagai aset lindung nilai yang lebih menarik.
Meski begitu, Thomas mengingatkan soal peran spekulan di pasar berjangka. Saat ini, posisi spekulatif tergolong tinggi, utamanya karena pasar masih dibayangi ketidakpastian soal tarif baru dari Presiden Donald Trump.
Jika ketegangan global makin dalam—entah karena perang dagang, konflik geopolitik, atau krisis utang AS—para spekulan bisa mendorong harga emas naik lebih agresif lagi. Dalam skenario paling ekstrem, harga emas bisa saja menembus USD3.300 (sekitar Rp54,45 juta) per troy ons di akhir 2025.
Goldman mencatat lonjakan signifikan dalam pembelian emas institusi di pasar London. Jika sebelumnya rata-rata pembelian hanya sekitar 17 ton per bulan sebelum 2022, maka pada Desember 2024 angkanya melonjak hingga 108 ton. Artinya, permintaan dari bank sentral kini sudah lima kali lipat lebih tinggi dibanding dua tahun lalu—cukup jadi dasar kuat bagi Goldman untuk memperbarui proyeksinya.
Potensi kenaikan harga emas juga makin terbuka lebar jika Federal Reserve benar-benar memangkas suku bunga dua kali tahun ini. Ketika yield obligasi makin lemah, emas pun kembali menjadi primadona yang sulit diabaikan.
Melihat gabungan seluruh faktor tersebut, jalan emas menuju rekor-rekor baru tampaknya masih cukup panjang dan menjanjikan. Bagi investor yang sudah masuk sejak awal tahun, sekarang saatnya duduk tenang dan nikmati kilau cuan yang kian mengilap.(*)