KABARBURSA.COM - Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan serius di awal 2025, meskipun pemerintah terus membantah adanya pelemahan daya beli.
Namun, berbagai indikator ekonomi justru menunjukkan sinyal perlambatan. Indonesia mengalami deflasi beruntun terdalam dalam 25 tahun terakhir, sementara kepercayaan konsumen melemah pada Februari 2025.
Di sisi lain, Indeks Penjualan Riil (IPR) juga mencatat kontraksi 4,7 persen secara bulanan (month to month) pada Januari 2025.
Bahkan, fenomena mudik yang biasanya menjadi pendorong utama aktivitas ekonomi tahunan diperkirakan mengalami penurunan jumlah pemudik. Dengan Lebaran yang jatuh di akhir Maret 2025, atau menjelang penutupan kuartal I, potensi perlambatan ekonomi semakin menguat.
Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan di LPEM FEB UI, Teuku Riefky, memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I-2025 berpotensi berada di bawah 5 persen.
“Jadi dugaan kita, ini hitungan sementara mungkin masih bisa ya mencapai 5 persen di kuartal 1, walaupun kita belum ada angka pastinya. Tapi masih ada juga risiko bahwa kita akan tumbuh di bawah 5 persen,” kata Riefky kepada KabarBursa.com di Jakarta, 28 Maret 2025.
Menurutnya, sejumlah faktor akan sangat menentukan laju pertumbuhan ekonomi dalam periode ini, termasuk data perdagangan dan aktivitas mudik Lebaran yang diprediksi mengalami penurunan. Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari setengah perekonomian nasional, akan menjadi faktor kunci dalam menopang pertumbuhan.
“Sejauh mana konsumsi rumah tangga akan mendukung pertumbuhan, ini sangat besar ya kalau kita lihat share aja kan, dia lebih dari setengah. Artinya kalau nanti tumbuhnya performanya positif, pasti akan terlihat dari dukungan konsumsi rumah tangga. Begitupun kalau konsumsi rumah tangganya ini performanya tidak optimum, maka ini juga akan mendorong atau menarik turun pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Riefky menilai bahwa paket kebijakan pemerintah memang memiliki dampak terhadap perekonomian. Namun, menurutnya, dampak tersebut tidak akan terlalu besar karena masalah utama yang dihadapi saat ini adalah pelemahan daya beli masyarakat.
“Nah peran paket kebijakan ini tentu ada dampaknya, walaupun dugaan kami ini tidak akan terlalu besar, karena isu utamanya ini kan penurunan daya beli. Jadi artinya ini tidak bisa diselesaikan oleh stimulus, tapi perlu solusi yang lebih struktural yaitu peningkatan pendapatan, penciptaan lapangan kerja sehingga daya beli masyarakat bisa meningkat nantinya,” paparnya.
Dari sisi global, Indonesia juga harus bersiap menghadapi dampak dari ketidakpastian ekonomi, termasuk perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta arus modal keluar yang deras dalam beberapa waktu terakhir.
“Sektor ekspor kita ini memang performanya masih relatif stabil, jadi belum ada komoditas atau produk tertentu yang cukup menjanjikan,” ujarnya.
Meski demikian, menurut Riefky, masih ada peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkan dinamika perdagangan global. Namun, persaingan dengan negara-negara lain seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia tetap menjadi tantangan.
“Apakah ada pasar ekspor potensial yang bisa dimanfaatkan? Tentu ada dari eskalasi perang dagang US-China, tapi memang kita perlu bersaing dengan negara-negara lain, seperti misalnya Vietnam, Thailand, Malaysia gitu. Kita perlu bisa memanfaatkan ini, karena kalau enggak, benefit tersebut atau potensi tersebut akan direbut oleh negara-negara peers kita tadi,” pungkasnya.
Belanja Produktif Dan Keberlanjutan Fiskal
Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan bahwa strategi fiskal pemerintahan Presiden Prabowo harus berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Dengan tetap menjaga keseimbangan antara belanja produktif dan keberlanjutan fiskal.
Menkeu menjelaskan kebijakan fiskal yang disiplin serta dorongan terhadap investasi menjadi kunci untuk memastikan Indonesia tetap tangguh menghadapi tantangan global di masa depan.
"Jika kita ingin mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen, investasi harus tumbuh lebih kuat dan lebih tinggi, mendekati 7 persen atau 8 persen,” ujar Sri Mulyani dalam Press Conference: Mandiri Investment Forum 2025 (MIF), di Jakarta, Selasa 11 Februari 2025.
Sri Mulyani mengungkapkan bahwa meskipun ekonomi Indonesia masih bertahan dengan pertumbuhan stabil di kisaran 5 persen, angka tersebut belum cukup untuk memenuhi target pemerintahan baru yang menginginkan pertumbuhan lebih agresif. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang lebih efektif dalam mendorong investasi dan konsumsi domestik.
“Kita melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif tinggi dibandingkan banyak negara lain di dunia. Namun, pertumbuhan 5 persen ini masih di bawah target yang diharapkan pemerintahan Presiden Prabowo. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, termasuk Bank Mandiri dan sektor keuangan lainnya, untuk terus mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi,” jelasnya.
Sri Mulyani juga menyoroti kondisi ekonomi global dalam empat tahun terakhir yang penuh tantangan, mulai dari dampak pandemi COVID-19, pemulihan yang tidak merata di berbagai negara, hingga gangguan geopolitik akibat ketegangan dan perang. Dalam situasi tersebut, menurutnya, pencapaian pertumbuhan 5 persen tetap merupakan capaian yang luar biasa bagi Indonesia.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menilai bahwa konsumsi rumah tangga masih menjadi salah satu faktor utama yang menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Konsumsi rumah tangga tetap kuat di angka sekitar 5 persen, ditopang oleh investasi yang mulai menunjukkan peningkatan. Selain itu, belanja pemerintah juga berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi tahun lalu.
“Belanja pemerintah tahun lalu sangat kuat, bukan hanya karena persiapan pemilu nasional dan daerah, tetapi juga intervensi fiskal yang dilakukan untuk mendukung rumah tangga miskin yang terdampak fenomena El Niño. Fenomena ini menyebabkan lonjakan harga pangan secara signifikan, sehingga pemerintah menambah belanja sosial, termasuk subsidi pangan seperti ayam dan telur, yang diberikan kepada 20 persen rumah tangga termiskin di Indonesia,” ungkapnya.
Sri Mulyani menambahkan bahwa konsumsi pemerintah meningkat sebesar 6,6 persen, sementara investasi hampir mencapai 5 persen. Ia berharap ke depan investasi dapat tumbuh di atas 5 persen dan bahkan mendekati 7 persen hingga 8 persen agar target pertumbuhan ekonomi 8 persen bisa tercapai.
Dari sisi perdagangan internasional, Sri Mulyani mencatat adanya pelemahan ekspor pada paruh kedua tahun lalu, sementara impor mulai pulih pada kuartal terakhir. Menurutnya, situasi ini menunjukkan bahwa tekanan eksternal mulai berdampak pada ekonomi domestik, menciptakan tantangan tambahan yang harus diatasi dengan kebijakan fiskal yang tepat.
“Alhamdulillah, permintaan domestik masih tetap kuat. Ini menjadi faktor utama di mana kebijakan fiskal memainkan peran penting dalam menahan tekanan ekonomi, bertindak secara counter-cyclical, serta melindungi kelompok miskin dan rentan,” pungkasnya.