Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Permintaan Masih Tinggi, Batu Bara Meroket Lagi

Laporan terbaru Global Energy Review yang dirilis oleh International Energy Agency (IEA) mengungkapkan bahwa permintaan energi global meningkat sebesar 2,2 persen.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 27 March 2025 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Yunila Wati
Permintaan Masih Tinggi, Batu Bara Meroket Lagi Ilustrasi batu bara.

KABARBURSA.COM - Harga batu bara melonjak tajam pada perdagangan Rabu waktu setempat, 26 Maret 2025. Kenaikan dipicu oleh sejumlah faktor yang mendorong kenaikan permintaan serta adanya kebijakan pemangkasan produksi oleh salah satu produsen utama dunia, Glencore Plc. Tren ini mencerminkan perubahan signifikan dalam dinamika pasar energi global, di mana konsumsi batu bara tetap tinggi meskipun ada upaya transisi menuju energi terbarukan.

Permintaan Batu Bara Meningkat di Tengah Lonjakan Konsumsi Listrik

Laporan terbaru Global Energy Review yang dirilis oleh International Energy Agency (IEA) mengungkapkan bahwa permintaan energi global meningkat sebesar 2,2 persen sepanjang 2024. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan tahunan dalam satu dekade terakhir yang hanya sekitar 1,3 persen. Meski masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,2 persen, akselerasi permintaan energi ini menunjukkan betapa besar kebutuhan energi, terutama di negara-negara berkembang dan ekonomi baru yang menyumbang lebih dari 80 persen dari kenaikan tersebut.

Batu bara tetap menjadi salah satu sumber energi utama, dengan permintaan global yang meningkat 1 persen sepanjang tahun lalu. Gelombang panas ekstrem yang melanda China dan India menjadi pemicu utama lonjakan konsumsi listrik untuk pendinginan, yang pada akhirnya mendongkrak permintaan batu bara. Dua negara ini menyumbang lebih dari 90 persen dari kenaikan konsumsi batu bara global.

Sementara itu, di Amerika Serikat, penggunaan batu bara dalam pembangkitan listrik juga mengalami peningkatan, terutama di awal 2025. Bukan karena kebijakan pemerintah, melainkan akibat musim dingin terdingin dalam enam tahun terakhir yang membuat konsumsi listrik melonjak. Kenaikan harga gas alam yang signifikan juga membuat pembangkitan listrik berbasis gas menjadi lebih mahal dibandingkan batu bara, sehingga para produsen listrik di AS lebih memilih kembali mengandalkan batu bara untuk memenuhi kebutuhan energi.
Data dari Administrasi Informasi Energi AS (EIA) menunjukkan bahwa total pembangkitan listrik di AS meningkat 5,5 persen secara tahunan pada Januari 2025, dengan penggunaan batu bara meningkat hampir di seluruh wilayah kecuali bagian barat.

Harga Batu Bara Meroket di Pasar Global

Dampak dari lonjakan permintaan energi ini terlihat jelas pada pergerakan harga batu bara di pasar global. Kontrak berjangka batu bara Newcastle untuk Maret 2025 mengalami kenaikan sebesar USD0,35 menjadi USD96,75 per ton. Sementara untuk April 2025, harga melonjak lebih tinggi, naik USD2,15 menjadi USD100,4 per ton. Tren positif ini berlanjut pada Mei 2025, di mana harga kembali naik USD2 menjadi USD103,25 per ton.

Kenaikan harga juga terjadi di pasar batu bara Rotterdam. Untuk kontrak Maret 2025, harga naik USD0,55 menjadi USD97,6 per ton. Sementara kontrak April 2025 mengalami kenaikan USD 1,6 menjadi USD99,25, dan Mei 2025 meningkat USD1,9 menjadi USD99,05 per ton.

Strategi Glencore Memicu Sentimen Positif

Selain faktor permintaan yang meningkat, kenaikan harga batu bara juga ditopang oleh keputusan Glencore Plc untuk memangkas produksi. Perusahaan ini mengumumkan pengurangan produksi batu bara dari tambang Cerrejon di Kolombia sebesar 5 hingga 10 juta ton dari perkiraan awal, sehingga total produksi tahun ini hanya akan berkisar antara 11 hingga 16 juta ton.

Kebijakan ini diambil sebagai respons terhadap tren penurunan harga batu bara dalam beberapa waktu terakhir. Sejak awal 2025, harga batu bara Newcastle telah anjlok sekitar 20 persen ke level USD100 per ton, jauh dari puncaknya di atas USD450 per ton pada September 2022 saat krisis energi global memuncak akibat invasi Rusia ke Ukraina.

Strategi pemangkasan produksi yang dilakukan Glencore bukanlah hal baru. Perusahaan ini memang dikenal sering melakukan pengurangan produksi untuk menjaga stabilitas harga ketika pasar mengalami tekanan. Pada 2022, saat harga batu bara melonjak drastis, Glencore mencatat laba besar. Namun, dalam dua tahun terakhir, harga batu bara terus mengalami penurunan akibat rekor produksi dari China dan India, yang menyebabkan stok batu bara global melimpah dan menekan harga jual.

Dengan kebijakan baru ini, Glencore diperkirakan akan menurunkan target produksinya untuk tahun 2024 yang sebelumnya berada di kisaran 92 hingga 100 juta ton. Langkah ini diharapkan dapat membantu menyeimbangkan pasar dan mencegah harga batu bara jatuh lebih dalam.

Glencore terus menunjukkan fleksibilitas dalam menyesuaikan strategi produksinya sesuai dengan fluktuasi harga pasar. Setelah mengambil alih kepemilikan penuh atas Cerrejón dari Anglo American dan BHP pada tahun 2021, perusahaan asal Swiss ini menerapkan kebijakan yang adaptif—mengurangi produksi saat harga melemah demi menjaga keseimbangan pasar dan mendukung komoditas utama mereka.

Dalam beberapa bulan terakhir, harga batu bara mengalami penurunan signifikan. Harga batu bara Newcastle Australia, yang sempat menyentuh rekor lebih dari USD450 per ton pada September 2022 akibat ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina, kini turun hingga sekitar USD100 per ton. Penurunan ini sekitar 20 persen dibandingkan awal tahun 2024, mencerminkan perubahan tren dalam perdagangan global dan ketidakpastian pasar energi.

Para analis menilai bahwa prospek batu bara, baik termal maupun metalurgi, masih berada dalam tekanan. Bank of America, dalam laporannya, menyebutkan bahwa pasar batu bara China, yang pada tahun ini menyumbang sekitar 219 juta ton atau seperlima dari perdagangan laut global, belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan harga dalam waktu dekat. Meski demikian, CEO Glencore, Gary Nagle, tetap optimis terhadap masa depan industri ini. Dalam presentasi akhir tahun perusahaan pada Februari lalu, ia menegaskan bahwa batu bara tetap menjadi bagian dari transisi energi global dan tidak lagi dianggap sebagai komoditas yang sepenuhnya ditinggalkan.

Optimisme ini tidak lepas dari permintaan yang masih kuat di kawasan Asia, terutama India dan Asia Tenggara. Sementara konsumsi batu bara di Eropa terus menurun akibat kebijakan dekarbonisasi, negara-negara berkembang di Asia justru meningkatkan penggunaan batu bara untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan energi yang terus meningkat. Menurut laporan Badan Energi Internasional (IEA), pangsa konsumsi batu bara di Asia mengalami kenaikan signifikan pada 2024, mencapai hampir empat perlima dari konsumsi global. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2000, ketika Asia hanya menyumbang kurang dari dua perlima dari total konsumsi dunia.

Dinamika ini mencerminkan pergeseran keseimbangan energi global. Meskipun transisi ke energi terbarukan semakin dipercepat, realitas di lapangan menunjukkan bahwa batu bara masih memainkan peran penting dalam memastikan pasokan energi yang stabil, terutama bagi negara-negara dengan tingkat konsumsi listrik yang terus meningkat. Dalam situasi seperti ini, strategi Glencore yang fleksibel dan berorientasi pada permintaan pasar menjadi kunci untuk tetap bertahan di tengah ketidakpastian industri komoditas.

Dinamika Batu Bara di Tengah Transisi Energi

Meskipun ada tekanan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, tren kenaikan permintaan batu bara menunjukkan bahwa dunia masih sangat bergantung pada sumber energi ini, terutama dalam menghadapi kondisi cuaca ekstrem. China dan India, sebagai konsumen batu bara terbesar, terus meningkatkan kapasitas pembangkit listrik berbasis batu bara untuk memenuhi kebutuhan energi mereka yang semakin meningkat.

Di sisi lain, negara-negara seperti Amerika Serikat masih menghadapi tantangan dalam transisi energi. Meskipun pembangkit listrik tenaga angin dan surya terus dikembangkan, ketidakstabilan pasokan energi terbarukan masih membuat batu bara menjadi pilihan yang lebih andal dalam situasi tertentu, seperti musim dingin ekstrem yang baru saja terjadi di AS.

Ke depan, harga batu bara masih berpotensi mengalami volatilitas tinggi, tergantung pada dinamika pasar energi global, kebijakan produksi dari negara-negara utama, serta faktor iklim yang semakin tidak menentu. Namun, untuk saat ini, kombinasi antara lonjakan permintaan dan pengurangan pasokan tampaknya telah memberikan dorongan signifikan bagi harga batu bara di pasar internasional.(*)