KABARBURSA.COM – Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, mengomentari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang fluktuasinya mengalami tren pelemahan tapi menguat tapi tidak konsisten.
Misal pada 25 Maret 2025 IHSG mengalami tren pelemahan hingga mencapai level 6.161,218 dengan Year-to-Date (YTD) Price persen Return tercatat -12,98 persen dan perubahan harga tahunan (52 Week Price persen Change) mencapai -16 persen. Meski IHSG dibuka menguat pada perdagangan hari ini, Rabu, 26 Maret 2025, naik 103,28 poin atau 1,66 persen ke level 6.338,89. Menurut dia Indonesia kini menjadi salah satu pasar saham dengan kinerja terburuk di kawasan Asia.
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai pelemahan ini sebagai akibat dari ketidakjelasan kebijakan fiskal, kontroversi pembentukan sovereign wealth fund, serta spekulasi politik di kalangan elite pembuat kebijakan.
“Investor tidak hanya melihat data makroekonomi, tetapi juga membaca konsistensi kebijakan pemerintah. Ketika ketidakpastian fiskal meningkat dan ada isu-isu kontroversial seperti sovereign wealth fund, kepercayaan pasar pun luntur,” ujar Syafruddin kepaada KabarBursa.com pada Rabu, 26 Maret 2025.
Sejak September 2024, IHSG telah tergerus dari level 7.800 ke 6.161,218 per 25 Maret 2025. Sepanjang perdagangan, volatilitas harian menunjukkan rentang pergerakan hingga 300 poin, mengindikasikan ketidakpastian yang tinggi. “Investor asing menarik dana karena melihat risiko kebijakan meningkat, sementara investor domestik memilih bersikap wait and see akibat kurangnya kejelasan arah kebijakan,” tutur dia.
Selain tekanan di pasar modal, depresiasi rupiah terhadap dolar AS juga menjadi tantangan tambahan. Bank Indonesia telah berupaya menjaga stabilitas nilai tukar, tetapi kebijakan fiskal yang kurang terkoordinasi semakin memperburuk sentimen. “Tanpa kejelasan strategi fiskal yang konkret, pasar akan terus berspekulasi, yang justru memperburuk volatilitas,” kata Syafruddin.
Menurut Syafruddin, kebijakan fiskal yang tidak transparan dan perbedaan pandangan antara Bank Indonesia dan pemerintah mengenai stabilitas makroekonomi menambah tekanan bagi investor. Ketika investor melihat kebijakan yang tidak sinkron antara fiskal dan moneter, mereka akan cenderung keluar dari pasar atau menahan investasinya.
Untuk mengembalikan kepercayaan pasar, Syafruddin menekankan pentingnya komunikasi kebijakan yang lebih transparan dan terkoordinasi antara otoritas fiskal dan moneter. Pemerintah harus segera menyampaikan strategi fiskal yang jelas dan masuk akal, termasuk mengenai penempatan saham BUMN di Danantara.
Menurutnya, sinyal kebijakan yang sinkron antar institusi sangat diperlukan agar investor melihat adanya stabilitas dalam pengelolaan ekonomi. Pasar saham bukan hanya refleksi ekonomi, tetapi juga barometer psikologi kolektif terhadap masa depan. Pemulihan tidak akan terjadi hanya karena sentimen global membaik, tetapi karena pemerintah mampu mengembalikan kepercayaan investor dengan kebijakan yang konsisten dan transparan.
Berdasarkan data yang dihimpun KabarBursa.com hingga 25 Maret 2025 bursa saham Asia memiliki catatan yang beragam. Namun tetap Indonesia mengalami penurunan yang dominan, berikut kinerja YTD beberapa indeks utama di Asia :
1. Hang Seng Index (Hong Kong) – naik 17 persen YTD
2. Shanghai Composite Index (China) – naik 16 persen YTD
3. FTSE ASEAN 40 Index (Asia Tenggara) – turun lebih dari 4 persen YTD
4. Jakarta Composite Index (IHSG - Indonesia) – Mengalami penurunan sebesar 12,98 persen YTD
5. SET Index (Thailand) – turun 14,86 persen YTD
Kebijakan Populis Tapi Berisiko Pada Fiskal
Pengamat ekonomi Next Policy, Dwi Raihan, menyoroti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang turun selama dua bulan terakhir. Adapun hal tersebut dinilai sebagai cerminan kekhawatiran investor terhadap kebijakan ekonomi Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang dianggap populis dan berisiko bagi stabilitas fiskal.
Menurutnya pemerintah bergerak terlalu cepat dalam menerapkan kebijakan tanpa mempertimbangkan keterbatasan fiskal.
"Pemerintah terlalu cepat lari dengan fiskal yang terbatas. Saat ini kita menghadapi defisit anggaran, jatuh tempo utang yang besar, dan program prioritas pemerintah yang membutuhkan dana besar. Sayangnya, ini tidak diimbangi dengan kemampuan fiskal yang memadai," ujar Dwi kepada KabarBursa.com di Jakarta, Rabu, Maret 2025.
Tren penurunan IHSG sejak awal tahun mengindikasikan bahwa investor tidak menyambut baik kebijakan pemerintah. Kondisi ini diperparah oleh ketidakpastian sosial politik dalam negeri yang membuat investor memilih menarik dananya dari pasar modal.
"Faktor lain seperti kebijakan ekonomi Amerika Serikat dan ketegangan geopolitik global juga turut mempengaruhi. Namun, yang paling utama adalah stabilitas di dalam negeri," tambahnya.
Jika tren ini terus berlanjut, Dwi memperingatkan bahwa kepercayaan investor terhadap pasar saham Indonesia bisa semakin menurun.
"Investor akan semakin keluar dari IHSG karena dinilai terlalu berisiko. Aset dan kekayaan perusahaan juga akan ikut menyusut, yang berdampak pada kesulitan mendapatkan pendanaan. Ini akhirnya bisa menurunkan potensi penerimaan negara akibat lesunya aktivitas di pasar modal," jelasnya.
Untuk itu, ia menegaskan bahwa pemerintah harus menjaga faktor kepercayaan agar pasar tetap kondusif.
"Kepercayaan investor harus dijaga. Caranya adalah dengan regulasi yang jelas, kebijakan yang konsisten, serta komitmen dalam pemberantasan korupsi," pungkasnya.(*)