Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Menilik Emiten Energi dan Pertambangan saat Rupiah Tertekan

Pergerakan kurs menunjukkan bahwa rupiah sempat berada di sekitar Rp16.550 pada 13 Maret 2025, kemudian turun ke level terendah di kisaran Rp16.450 pada 18 Maret 2025

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 26 March 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Syahrianto
Menilik Emiten Energi dan Pertambangan saat Rupiah Tertekan Main hall Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta. (Foto: Kabarbursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) atau USD semakin tertekan pada Rabu, 26 Februari 2025 ini. Dikutip dari laman resmi Bank Indonesia (BI), kurs transaksi rupiah terhadap dolar AS tercatat di level Rp16.750 per USD, mencerminkan tren depresiasi sejak pertengahan Maret 2025.

Jika dilihat grafiknya, pergerakan kurs menunjukkan bahwa rupiah sempat berada di sekitar Rp16.550 pada 13 Maret 2025, kemudian turun ke level terendah di kisaran Rp16.450 pada 18 Maret 2025. Setelah itu, rupiah mulai melemah secara bertahap hingga mencapai Rp16.700 pada 25 Maret 2025 dan akhirnya menyentuh level Rp16.750 pada 26 Maret 2025.

Pelemahan rupiah ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk tekanan dari penguatan dolar AS akibat kebijakan moneter Federal Reserve (The Fed) serta sentimen global yang mendorong arus modal keluar dari pasar negara berkembang. Selain itu, meningkatnya permintaan dolar AS untuk kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri turut menekan nilai tukar rupiah.

Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menjelaskan soal risiko stagflasi global kembali menjadi sorotan setelah proyeksi ekonomi Amerika Serikat mengindikasikan kombinasi inflasi tinggi dan perlambatan pertumbuhan. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran luas, termasuk bagi Indonesia yang dapat terdampak melalui pelemahan rupiah dan perlambatan ekspor.

Inflasi AS yang bertahan tinggi dan potensi kebijakan moneter ketat dari The Fed membuat investor mencari aset safe haven, menekan mata uang negara berkembang seperti rupiah," kata Syafrudin dalam keterangannya pada Rabu, 26 Maret 2025.

Menurutnya, ketika tekanan inflasi global meningkat dan bank sentral utama mempertahankan suku bunga tinggi, arus modal asing cenderung keluar dari Indonesia. Situasi inilah yang berisiko meningkatkan tekanan pada rupiah, yang pada akhirnya berdampak pada kenaikan biaya impor dan tekanan inflasi domestik.

Selain rupiah, sektor ekspor Indonesia juga menghadapi ancaman akibat potensi perlambatan ekonomi global. Permintaan terhadap komoditas unggulan seperti batu bara, kelapa sawit, dan nikel dapat tertekan seiring pelemahan daya beli di negara mitra dagang utama. "Jika stagflasi benar-benar terjadi secara global, ekspor kita bisa melemah. Ini bisa mengurangi penerimaan negara dan memengaruhi stabilitas neraca perdagangan," kata dia.

Dari sisi kebijakan moneter, BI diharapkan memperkuat koordinasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan otoritas terkait agar stabilitas ekonomi tetap terjaga. 

Kurs Rupiah Jadi Alarm buat Perekonomian

Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata melalui risetnya menyampaikan kondisi rupiah pada saat ini kembali melemah tajam terhadap USD, mendekati level krisis 1998 setelah menyentuh titik terendah era pandemi COVID-19 di kisaran Rp16.640 per USD. Tren pelemahan ini semakin mengkhawatirkan di tengah indeks dolar (DXY) yang masih berada di dekat level terendah lima bulan.

Menurut dia, situasi ini menyalakan alarm bagi perekonomian nasional. "Jika sebelumnya kita selalu berkilah bahwa pelemahan rupiah akibat menguatnya USD secara global, maka kali ini justifikasi itu sulit diterima. Pelemahan rupiah yang terjadi sekarang mengindikasikan potensi masalah fundamental dalam ekonomi domestik," ujarnya melalui riset yang diterima Rabu, 26 Maret 2026.

Sinyal tekanan baru untuk pelemahan rupiah ini terjadi ketika berbagai faktor eksternal belum sepenuhnya mendukung penguatan dolar AS. Dalam beberapa bulan terakhir, DXY masih tertahan di level bawah, sementara The Fed belum mengambil langkah hawkish baru. Namun, sentimen pasar global tetap menjadi ancaman besar, terutama dengan kebijakan tarif impor yang direncanakan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump, yang akan berlaku pada 2 April 2025.

Tekanan terhadap rupiah semakin terasa karena arus modal asing cenderung keluar dari Indonesia, mengantisipasi kemungkinan suku bunga AS tetap tinggi lebih lama. Sementara itu, menurut dia BI menghadapi dilema dalam merespons kondisi ini. "Apakah harus menaikkan suku bunga untuk menjaga stabilitas rupiah, atau mempertahankan suku bunga saat ini guna mendorong pertumbuhan ekonomi domestik," tutur dia.

Di sisi teknikal, ada harapan bahwa pelemahan Rupiah bisa tertahan dalam waktu dekat. Liza menjelaskan bahwa posisi USD/IDR saat ini berada di level resistance yang signifikan, ditambah munculnya pola RSI negative divergence. "Ini menandakan ada potensi pembalikan arah USD dalam waktu dekat," ucap dia.

Salah satu faktor yang bisa mendorong pelemahan USD adalah data PCE Price Index AS yang akan dirilis pada Jumat pekan ini. Jika data tersebut menunjukkan inflasi yang lebih jinak dari ekspektasi, maka The Fed dapat mengambil sikap yang lebih dovish, menahan kenaikan suku bunga lebih lanjut. Hal ini dapat membatasi penguatan dolar AS dan memberi sedikit ruang bagi Rupiah untuk stabil. 

Namun, Liza mengingatkan bahwa pasar selalu memiliki dinamika tersendiri. "Prediksi ini masih harus diuji dengan perkembangan terbaru, termasuk potensi eskalasi konflik global dan dampak kebijakan tarif impor AS," kata dia.

Mitigasi Risiko bagi Investor

Dalam menghadapi situasi ini, investor dan trader disarankan untuk memiliki strategi mitigasi risiko yang disiplin. "Pasar selalu benar. Sebagai investor dan trader, kita hanya bisa melakukan mitigasi risiko dengan rencana trading yang matang dan disiplin dalam menjalankannya," kata Liza.

Dengan kondisi rupiah yang semakin tertekan, stabilitas ekonomi Indonesia akan bergantung pada langkah-langkah strategis pemerintah dan otoritas moneter. Kejelasan kebijakan serta komunikasi yang konsisten dari regulator akan menjadi faktor utama dalam menjaga kepercayaan pasar di tengah ketidakpastian global.

Dilansir dari laporan Stockbit sejumlah saham di sektor energi dan pertambangan mencatatkan kenaikan signifikan namun ada juga yang alami penurunan di tengah pelemahan rupiah ini. Saham PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) mencatatkan kenaikan terbesar sebesar 9,27 persen ke harga Rp8.250, diikuti oleh PT Rukun Raharja Tbk (RAJA) yang melonjak 8,31 persen ke Rp1.955. Saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) juga menguat 5,88 persen menjadi Rp90 dengan volume transaksi terbesar mencapai 199 juta lot.  

Saham PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) naik 5,61 persen ke Rp1.035, sementara PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU) meningkat 5,26 persen ke Rp4.400. Saham PT Mitrabara Adiperdana Tbk (MBAP) juga menunjukkan penguatan 5,76 persen ke Rp1.470.  

Di sisi lain, beberapa saham mengalami tekanan, seperti PT IMC Pelita Logistik Tbk (PSSI) yang turun 9,09 persen ke Rp340, serta PT Ginting Jaya Energi Tbk (WOWS) yang merosot 3,85 persen ke Rp50. (*)