KABARBURSA.COM - Tekanan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan saham emiten BUMN dalam beberapa waktu terakhir tak luput dari perhatian pelaku pasar.
Situasi ini mendorong tiga petinggi utama Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) untuk buka suara, mencoba meredakan kekhawatiran investor.
Chief Investment Officer (CIO) Danantara, Pandu Sjahrir, menegaskan bahwa pengumuman jajaran pengurus hari ini diharapkan mampu menjawab kecemasan pasar yang sempat mencuat.
Ia menekankan bahwa tim Danantara diisi oleh profesional berpengalaman, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga global, sehingga investor tidak perlu ragu.
Lebih lanjut, Pandu mengakui bahwa ketidakpastian ekonomi makro serta risiko geopolitik terus meningkat, dan hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia.
“Thailand buruk, Turki buruk, lalu Nasdaq di AS buruk, itu banyak tentang tantangan makroekonomi,” ujarnya di Jakarta Pusat, Senin 24 Maret 2025.
Meski demikian, Pandu optimistis terhadap peran Danantara sebagai katalis pertumbuhan ekonomi jangka panjang. "Fokus return kita ini long term, berbeda dengan private equity yang menjual, kita happy own the market,"tambahnya.
Sementara itu, Chief Operational Officer (COO) Danantara, Dony Oskaria, menekankan bahwa secara fundamental, perusahaan-perusahaan BUMN tetap solid.
Ia berharap masuknya BUMN ke dalam Danantara dapat meningkatkan transparansi, tata kelola yang lebih baik, serta peninjauan ulang model bisnis, sehingga bisa memberikan efek positif bagi pasar.
"Tugas kita bangun fundamental baik, ada sentimen yang berlaku global di Indonesia, fundamental perusahaan bagus, diharapkan dengan masuknya perusahaan BUMN ke Danantara kita akan jauh lebih transparan, goverrnance baik, business model review, semoga market respons positif," jelas Dony.
Dari perspektif strategi investasi, CEO Danantara, Rosan Roeslani, mengungkapkan bahwa lembaga ini tidak hanya akan berfokus pada satu sektor, melainkan akan melakukan diversifikasi portofolio.
“Tapi diversifikasi ini kita punya komite berlapis sehingga investasi yang kita lakukan sesuai dengan parameter yang kami siapkan,” jelas Rosan.
IHSG Tertekan Jelang Pengumuman Pengurus Danantara
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus mengalami tekanan dalam beberapa waktu terakhir. Pengamat ekonomi Yanuar Rizki menilai bahwa selain faktor global, sentimen negatif terhadap Danantara juga berkontribusi pada pelemahan pasar. Ia menilai bahwa kehadiran Danantara justru tidak mampu memberikan optimisme bagi pasar.
“Yang pasti Danantara, tak mampu memberi optimisme, malah pasar membaca danantara akan jadi masalah baru,” kata dia dalam keterangannya di Jakarta, Senin 24 Maret 2025.
Untuk diketahui, IHSG sempat menyentuh level 5.967 pada sesi satu pada perdagangan Senin, 24 Maret 2025. Ambruknya IHSG terjadi menjelang pengumuman struktur pengurus Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara).
Selain itu, kekhawatiran terhadap bank-bank BUMN juga menjadi faktor yang menekan pasar, terutama terkait dengan skema buyback saham dan keterlibatan bank-bank tersebut dalam Danantara.
"Jadi posisi cash ratio bank BUMN dihitung akan habis, dipaksa buyback dan dipakai untuk leverage Danantara," jelasnya.
Risiko Danantara dan Proyek Pemerintah
Yanuar juga menyoroti potensi beban tambahan bagi Danantara di masa depan, terutama dalam mendanai proyek-proyek pemerintah.
"Belum lagi Danantara nanti dipaksa biayai proyek-proyek mercusuar pemerintah. Terutama sinyalnya ke perumahan," katanya.
Di sisi lain, terus menurunnya IHSG dapat memicu volatilitas yang lebih besar, yang pada akhirnya akan memberi tekanan lebih lanjut pada Bank Indonesia (BI) dalam menentukan kebijakan suku bunga.
"Terus menurunnya IHSG akan membawa Indonesia menghadapi game volatilitas, menekan BI bersaing dalam menentukan bunga baru SRBI," paparnya.
Dampak ke Rupiah dan Utang Luar Negeri BI
Menurut Yanuar, meskipun BI bisa menjaga stabilitas Rupiah di tengah pelemahan pasar saham, hal itu tetap memiliki konsekuensi besar, yaitu kenaikan bunga SRBI yang berdampak pada lonjakan utang luar negeri BI.
"Rupiah bisa dijaga tidak melebar meski saham melebar, iya, tapi harganya adalah BI perlu menyerap SRBI dengan bunga yang naik... Itu kenapa utang luar negeri BI naik tajam," jelasnya.
Namun, Yanuar menilai situasi ini masih dalam batas terkendali, setidaknya jika hanya sebatas permainan rebalancing portofolio hedge fund yang biasa terjadi di kuartal pertama.
"Sepanjang ini permainan rebalancing portofolio hedge fund temporer yang biasa terjadi di Maret, maka akan mereda di April," katanya.
Meski demikian, ada ancaman lain yang lebih besar, yaitu kondisi fiskal Indonesia yang dinilai memburuk serta melemahnya transaksi di berbagai lapisan masyarakat.
"Problemnya, isu on curve fiskal kita buruk, potensi pelemahan transaksi antar kelas masyarakatnya juga jelek, ahead the curve ada hitungan pemburukan kondisi yang potensial diakibatkan masalah sosial politik," ungkap Yanuar.
Selain itu, ia mencermati bahwa faktor utama yang mendorong volatilitas di Rupiah adalah suku bunga lelang terakhir SUN yang sudah mendekati suku bunga SRBI.
"Faktor utama, seperti saya utarakan, rebalancing portofolio, dan juga soal suku bunga lelang terakhir SUN sudah dekat dengan bunga SRBI, jadi faktor volatilitas di Rupiah ikut mendorong jual di saham yang lebih dalam," pungkasnya.(*)