KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia memulai pekan ini dengan langkah hati-hati. Para investor masih menimbang-nimbang hasil dari pembicaraan gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina. Kalau kesepakatan tercapai, bukan tidak mungkin pasokan minyak dari Rusia kembali membanjiri pasar global.
Senin, 24 Maret 2025, pagi waktu Asia, harga minyak mentah Brent turun tipis sebanyak 8 sen atau 0,1 persen ke level USD72,08 per barel (sekitar Rp1.188.320 dengan kurs Rp16.500). Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dari Amerika Serikat juga melemah 5 sen atau 0,1 persen menjadi USD68,23 (sekitar Rp1.125.795).
Padahal pada perdagangan Jumat lalu, kedua acuan harga ini sempat ditutup menguat dan mencetak kenaikan mingguan kedua secara beruntun. Penyebabnya adalah sanksi baru Amerika Serikat terhadap Iran serta rencana produksi terbaru dari kelompok produsen OPEC+ yang memicu harapan akan pasokan yang lebih ketat.
Hari ini, delegasi Amerika Serikat dijadwalkan bertemu dengan pejabat Rusia untuk mendorong tercapainya gencatan senjata di Laut Hitam dan pengakhiran konflik secara lebih luas. Sehari sebelumnya, mereka sudah lebih dulu berdiskusi dengan diplomat Ukraina.
“Harapan akan adanya kemajuan dalam perundingan damai Rusia-Ukraina serta potensi pelonggaran sanksi Amerika terhadap minyak Rusia menekan harga minyak,” kata analis di Fujitomi Securities, Toshitaka Tazawa, dikutip dari Reuters di Jakarta, Senin.
“Tetapi investor belum berani mengambil posisi besar karena masih menanti kejelasan arah produksi OPEC+ setelah bulan April,” imbuhnya.
OPEC+—kelompok negara pengekspor minyak termasuk Rusia—baru saja menerbitkan jadwal baru bagi tujuh negara anggotanya untuk memangkas produksi lebih dalam. Langkah ini diambil sebagai kompensasi atas produksi yang sempat melebihi kuota sebelumnya. Pemangkasan tambahan ini bahkan diperkirakan akan melampaui rencana kenaikan produksi bulanan yang akan dimulai bulan depan.
Namun, Kazakhstan justru mencatatkan produksi minyak tertinggi bulan ini karena didorong oleh ekspansi ladang minyak yang sedang berlangsung. Jumlah itu, menurut dua sumber industri dan perhitungan Reuters pada Jumat lalu, kembali melampaui kuota OPEC+.
Sejak 2022, OPEC+ telah memangkas produksi sebesar 5,85 juta barel per hari—setara dengan sekitar 5,7 persen pasokan minyak dunia. Pada 3 Maret lalu, kelompok ini mengonfirmasi delapan negara anggotanya akan tetap menaikkan produksi sebanyak 138.000 barel per hari mulai April, dengan alasan membaiknya kondisi pasar.
Sementara itu, pelaku pasar juga mencermati dampak dari sanksi baru Amerika terhadap Iran yang diumumkan pekan lalu. Pengiriman minyak Iran ke China diperkirakan akan turun dalam waktu dekat setelah Amerika menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan penyulingan dan kapal tanker. Biaya pengiriman pun naik. Tapi para pedagang percaya pembeli akan mencari celah agar sebagian pasokan tetap bisa berjalan.
Di sisi lain, perusahaan energi Amerika untuk pertama kalinya dalam tiga pekan terakhir menambah jumlah rig pengeboran minyak dan gas alam. Hal ini tercatat dalam laporan terbaru dari perusahaan jasa energi Baker Hughes pada Jumat lalu.
Harga Minyak Diprediksi Melemah Sampai 2026
Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) memperkirakan harga minyak dunia akan terus mengalami tren penurunan hingga dua tahun ke depan. Dalam proyeksi terbarunya, harga rata-rata minyak Brent tahun ini dipatok di kisaran USD81 per barel (sekitar Rp1,34 juta). Tahun depan diprediksi turun menjadi USD74 per barel (sekitar Rp1,22 juta), lalu melorot lagi ke level USD66 per barel (sekitar Rp1,09 juta) pada 2026.
Penyebabnya bukan semata-mata gejolak geopolitik atau aksi OPEC+ yang menahan keran produksi, melainkan karena pasokan minyak dunia tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan lajunya permintaan. Negara-negara produsen di luar OPEC+ mencatatkan peningkatan output signifikan, yang kemudian membanjiri pasar dan menekan harga secara perlahan.
Namun, ada satu faktor tambahan yang masih menjadi tanda tanya besar: sanksi terbaru Amerika terhadap sektor energi Rusia yang diumumkan pada 10 Januari 2025. Jika sanksi ini berdampak besar terhadap ekspor minyak Rusia, maka keseimbangan pasokan global bisa berubah drastis. Artinya, skenario penurunan harga bisa tertahan atau bahkan berbalik arah dalam waktu dekat.
Kendati demikian, EIA tetap yakin tren jangka menengah akan mengarah pada pelemahan harga. Hal ini karena pasokan dari luar OPEC+ terus bertambah, sementara permintaan minyak global belum pulih sepenuhnya dari tren perlambatan pasca-pandemi. Situasi ini berpotensi menyebabkan penumpukan cadangan minyak dunia dalam beberapa tahun ke depan.
Meski harga diperkirakan turun, bukan berarti pasar akan dibiarkan lepas kendali. OPEC+ masih punya peluang untuk memainkan peran penyeimbang, setidaknya dengan memperpanjang kebijakan pemangkasan produksi demi menjaga stabilitas harga.
Di sisi lain, harga yang terlalu murah juga bisa membuat perusahaan minyak Amerika berpikir dua kali untuk menambah pengeboran baru. Itulah sebabnya, EIA memperkirakan produksi minyak Amerika Serikat pada 2026 hanya akan tumbuh tipis dibanding tahun-tahun sebelumnya.(*)