KABARBURSA.COM - Direktur Keuangan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) Yurizki Rio, memastikan bahwa pihaknya belum mengajukan proyek untuk pendanaan dari Energy Transition Accelerator Financing (ETAF) yang dikelola oleh IRENA.
Ia menyebut, perusahaan masih mempertimbangkan berbagai opsi pendanaan yang paling sesuai dengan kebutuhan ekspansi.
“Secara prinsip, PGE selalu terbuka terhadap berbagai skema pendanaan yang dapat mendukung pengembangan energi panas bumi," ujar Yurizki kepada kabarbursa.com di Jakarta, Senin, 24 Maret 2025.
"Namun, fleksibilitas skema pembiayaan menjadi faktor penting dalam keputusan investasi, termasuk tenor, bunga, dan persyaratan lain yang harus disesuaikan dengan karakteristik proyek geothermal," tambahnya
Menurutnya, perusahaan terus mengevaluasi opsi pendanaan yang paling optimal agar proyek-proyek yang sedang dan akan dikembangkan dapat berjalan secara berkelanjutan dan efisien.
"Terkait program pendanaan dari IRENA, dapat kami sampaikan bahwa saat ini belum ada project yang kami ajukan untuk mendapatkan pendanaan dari IRENA dengan skema pendanaan ETAF," tambahnya.
Meski demikian, PGEO tetap membuka peluang untuk memanfaatkan skema pendanaan global yang dapat mendukung pengembangan energi panas bumi di Indonesia.
Keputusan untuk mengakses ETAF atau skema lain akan bergantung pada kesesuaian dengan kebutuhan proyek serta kelayakan finansial dalam jangka panjang.
Tingkat Suku Bunga Tinggi
Yurizki mengungkapkan, mengatakan salah satu tantangan utama dalam industri ini adalah tingkat suku bunga yang masih cukup tinggi di Indonesia.
"Salah satu tantangan utama adalah tingkat suku bunga yang masih cukup tinggi untuk industri ini di Indonesia, sehingga PGE terus mengevaluasi berbagai alternatif pendanaan yang paling optimal," ujar Yurizki.
Salah satu upaya yang telah ditempuh PGE adalah pengajuan penerusan pinjaman pemerintah. Proyek-proyek terkait telah diajukan untuk masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan selanjutnya ke dalam Greenbook serta Bluebook.
"Adapun lembaga multilateral yang telah melakukan engagement dengan PGE untuk fasilitas penerusan pinjaman dimaksud adalah Asian Development Bank (ADB) dan World Bank," tambahnya.
PGE memiliki roadmap ekspansi yang jelas untuk mendukung transisi energi di Indonesia. Yurizki menegaskan bahwa jika ada opsi pendanaan yang kompetitif dan sesuai dengan kebutuhan proyek, hal tersebut akan menjadi faktor yang dapat mempercepat pertumbuhan PGE.
"PGE tetap fokus dalam mencari skema pembiayaan yang paling menguntungkan bagi perusahaan dan pemangku kepentingan untuk memastikan keberlanjutan ekspansi panas bumi di Indonesia.," pungkasnya.
IRENA Berpotensi Bikin Saham PGEO dan BREN Naik
Seperti diberitakan sebelumnya, pengamat pasar modal Ibrahim Assuaibi menilai, pendanaan dari badan energi terbarukan internasinal (IRENA) melalui platform ETAF bisa menjadi katalis positif bagi saham energi terbarukan seperti PGEO dan BREN.
Namun, tantangan utama masih ada, termasuk likuiditas rendah dan dominasi batu bara di pasar energi. Jika IRENA benar-benar memberikan bantuan pendanaan kepada perusahaan energi hijau, Ibrahim yakin saham-saham sektor ini akan mengalami kenaikan dalam jangka panjang.
“Kalau saat ini memang ada koreksi, itu wajar. Tapi dalam jangka panjang, energi terbarukan bisa menjadi sektor yang menarik, apalagi jika pendanaan dari IRENA benar-benar terealisasi,” ujarnya kepada kabarbursa.com di Jakarta, Minggu, 23 Maret 2024.
Menurutnya, IRENA menargetkan perubahan besar dalam transisi energi dalam 5-10 tahun ke depan. Namun, investor asing masih melihat sektor ini belum cukup likuid dibandingkan dengan saham batu bara yang masih menjadi primadona.
Batu Bara Masih Dominan
Ibrahim menjelaskan, meski ada dorongan global untuk transisi energi, batu bara masih mendominasi, terutama di negara-negara besar seperti Tiongkok, Jepang, Amerika, dan Eropa.
“Batu bara tetap menjadi pilihan utama karena lebih murah dan masih banyak digunakan untuk kebutuhan energi. Tiongkok, misalnya, 80 persen masih mengandalkan batu bara berkalori rendah untuk pembangkit listrik mereka,” kata Ibrahim.
Ia juga menekankan bahwa peralihan dari batu bara ke energi terbarukan tidak bisa dilakukan secara instan.
“Menghilangkan batu bara butuh proses panjang dan investasi besar, termasuk membangun smelter energi terbarukan yang biayanya tidak kecil,” tambahnya.
Ia menyoroti faktor utama yang menghambat transisi ini, salah satunya adalah biaya. Harga energi terbarukan, termasuk kendaraan listrik, masih lebih mahal dibandingkan energi berbasis fosil. Selain itu, infrastruktur pendukung juga belum sepenuhnya siap.
Menurutnya, dalam 5-10 tahun ke depan, pemerintah masih akan mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara. Hal ini disebabkan oleh posisi Indonesia sebagai salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia, setelah Australia.
“Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara. Menghapusnya sebagai sumber energi utama bukan perkara mudah. Ini yang harus diperhatikan oleh pasar,” tambahnya.
Meski demikian, Ibrahim mengapresiasi langkah pemerintah dalam terus menggaungkan pentingnya energi hijau. Namun, ia menilai perdagangan karbon yang masih terbatas juga menjadi tantangan bagi pertumbuhan sektor energi terbarukan.
“Butuh waktu yang cukup lama untuk energi hijau berkembang. Tapi, jika ada perusahaan yang mulai bergerak ke arah ini, itu sudah langkah yang bagus, walaupun masih tertatih-tatih,” ujarnya. (*)