KABARBURSA.COM – Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani memaparkan data terjadi penurunan minat industri perhotelan di masing-masing wilayah Indonesia.
PHRI melakukan survei kepada 726 responden dengan mencakup 717 hotel dari 30 provinsi dan kota di Indonesia.
"Hotel-hotel di Pulau Jawa sering dijadikan aktivitas kegiatan pemerintah merupakan kontributor utama dalam survei ini," kata Hariyadi melalui survei yang diterima KabarBursa.com di Jakarta pada Minggu, 23 Maret 2025.
Proporsi surveinya Jawa Barat 19 persen, Jawa Tengah 15 persen, DKI Jakarta 10 persen, Bali 8 persen, Jawa Timur 7 persen, Daerah Istimewa Yogyakarta 5 persen, Sumatra Barat 5 persen, Aceh 4 persen, Kalimantan Selatan 3 persen dan Sumatra Utara 3 persen.
Ia memaparkan hasil surveinya dengan Horwath HTL. Menurut dia kebijakan penghematan anggaran pemerintah yang diterapkan sejak Februari 2024 berdampak luas pada sektor perhotelan dan restoran di seluruh Indonesia.
Berdasarkan survei Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) terhadap 2.548 pelaku usaha di 38 provinsi, industri ini mengalami penurunan pendapatan signifikan, dengan tingkat pembatalan reservasi mencapai 70 persen. Dampak terbesar dirasakan di lima wilayah utama: Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi.
Kalimantan
Di wilayah Kalimantan, terutama Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, terjadi penurunan okupansi hotel sebesar 35 persen dari Januari ke Februari 2024. Pada Januari, rata-rata okupansi hotel berada di angka 55 persen, namun pada Februari merosot ke 35 persen. Maret mencatat penurunan lanjutan ke 30 persen. Pendapatan usaha hotel dan restoran turun hingga 40 persen dan 68 persen pelaku usaha melaporkan pembatalan kegiatan dinas pemerintah secara mendadak, menyebabkan kerugian operasional signifikan.
Sumatera
Sumatera, dengan pusat di Sumatera Utara dan Sumatera Barat, juga mengalami dampak serupa. Rata-rata okupansi hotel menurun dari 60 persen di Januari menjadi 38 persen pada Februari, lalu turun lagi ke 33 persen pada Maret. Pendapatan merosot hingga 45 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Sebanyak 72 persen pelaku usaha menyebut pembatalan reservasi pemerintah sebagai penyebab utama penurunan tersebut, terutama kegiatan rapat dan perjalanan dinas.
Jawa
Pulau Jawa, terutama DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur sebagai pusat bisnis dan pemerintahan, mengalami tekanan paling berat.
Pulau Jawa, dengan provinsi utama Jawa Barat (19 persen), Jawa Tengah 15 persen, dan DKI Jakarta 10 persen menjadi kontributor responden terbesar dalam survei. Di wilayah ini, 83 persen hotel melaporkan kinerja negatif sejak Januari 2025, dengan pendapatan turun lebih dari 30 persen dibanding tahun sebelumnya. Pada November 2024, sentimen masih positif, namun menurun drastis di Desember, dan pada Januari, 46 persen hotel menyatakan kinerjanya jauh lebih buruk, dengan okupansi rendah dan pembatalan kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition).
Di Jakarta misalnya, tingkat okupansi hotel turun dari 70 persen di Januari menjadi 42 persen di Februari, dan mencapai titik terendah 35 persen pada Maret. Pendapatan hotel dan restoran di wilayah ini rata-rata turun 50 persen. Sekitar 75 persen pelaku usaha melaporkan pembatalan acara pemerintah, termasuk event skala besar dan seminar, mengakibatkan kerugian pendapatan hingga miliaran rupiah per kota.
Bali
Meskipun dikenal sebagai destinasi wisata, Bali menyumbang 8 persen responden yang juga terdampak. Selama musim liburan Desember 2024 , dampak masih tertahan, namun pada Januari 2025, permintaan hotel anjlok, pendapatan turun 40 persen, dan fasilitas MICE tidak terpakai 41 persen. Penurunan ini disebabkan pembatalan acara pemerintahan dan penundaan investasi oleh pelaku usaha.
Sebagai destinasi wisata utama, Bali mengalami dampak signifikan karena banyaknya kegiatan MICE yang dibatalkan. Okupansi hotel di Bali turun dari 65 persen pada Januari menjadi 40 persen pada Februari, dan kembali turun menjadi 36 persen di Maret. Pendapatan sektor restoran juga mengalami penurunan 35 persen karena berkurangnya jumlah kunjungan domestik, terutama dari segmen pemerintahan. 69 persenpelaku usaha di Bali melaporkan pembatalan mendadak oleh instansi negara.
Sumatera
Mengalami penurunan bertahap tapi k.onsisten. Di wilayah Sumatera Barat sebanyak 5 persen dan Sumatera Utara sebanyak 3 persen, penurunan pendapatan hotel terjadi secara bertahap sejak November 2024. Pada Januari 2025, 23 persen hotel di wilayah ini mengalami penurunan pendapatan lebih dari 50 persen, sedangkan 27 persen lainnya kehilangan pendapatan antara 30- hingga 40 persen.
Permintaan di hari kerja turun drastis, dan segmen pasar terganggu (18 persen), menyulitkan hotel menaikkan harga (15 persen).
Kalimantan
Kalimantan Selatan penyumbang responden sebanyak 3 persen mencatat kerugian pendapatan di atas 30 persen sejak Desember 2024, dengan okupansi menurun setiap bulan. Hotel mengalami gagal bayar pinjaman ada 58 persen, dan risiko PHK sebesar 88 persen sangat tinggi. Pemanfaatan ruang rapat juga menurun drastis, sehingga hotel menghadapi defisit operasional serius.
Aceh
Di Aceh 4 persen, mayoritas hotel mengalami kerugian pendapatan antara 30-40 persen sejak November 2024. Responden memproyeksikan penutupan hotel ada 48 persen jika situasi ini berlanjut tanpa kebijakan pemerintah yang membantu, seperti insentif pajak dan dukungan promosi.
Sementara inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Januari 2025 menunjukkan penurunan signifikan dibandingkan bulan sebelumnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, IHK Januari 2025 mencatat deflasi sebesar 0,76 persen secara bulanan (mtm), yang menyebabkan inflasi tahunan turun menjadi 0,76 persen (yoy) dari 1,57 persen (yoy) pada Desember 2024.
Pada 22 Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang menandai dimulainya kebijakan efisiensi anggaran di Indonesia. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan dana negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2025. Melalui instruksi tersebut, pemerintah menetapkan pemangkasan anggaran sebesar Rp306,69 triliun, yang mencakup pengurangan alokasi untuk kementerian atau lembaga serta dana transfer ke pemerintah daerah.
Namun dampak efisiensi ini sudah terasa sejak kebijakan dibahas pada 2024. Efek efisiensi anggaran sudah terasa sejak 2024 karena kebijakan ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan bagian dari proses perencanaan dan penyesuaian anggaran yang dilakukan pemerintah sebelum resmi diterapkan pada 2025.(*)