Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Raja Saham di Tengah Drama IHSG Sepekan Kemarin

Selama sepekan kemarin terjadi drama Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cukup membuat khalayak bergidik. Nmaun sejumlah saham masih resistan di tengah fluktuasi tersebut.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 23 March 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Yunila Wati
Raja Saham di Tengah Drama IHSG Sepekan Kemarin Papan pantau IHSG di Bursa Efek Indonesia. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM – Fluktuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama sepekan kemarin masih cukup rendah. Bahkan sempat mengalami trading halt atau kejadian penghentian perdagangan sementara pada 18 Maret 2025 hingga munculnya kebijakan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menerapkan pembelian saham kembali atau buyback sebelum perusahaan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Dalam rentang sepekan kemarin, ada sejumlah saham yang kuat menahan badai fluktuasi dan menjadi raja saham selama sepekan.

Kabarbursa.com merangkum sejumlah saham resistan. Bursa saham sepanjang pekan perdagangan 17 hingga 21 Maret 2025 mencatat sejumlah saham yang mengalami lonjakan harga signifikan di tengah drama IHSG.

PT Radiant Opto Semesta Tbk (RONY), yang bergerak di sektor barang konsumsi primer dengan fokus pada produk optik dan peralatan kesehatan, menjadi raja saham pekan ini dengan kenaikan tertinggi sebesar 68,20 persen. Harga saham RONY melesat dari Rp1.605 menjadi Rp2.750 per lembar dalam lima hari perdagangan.

Di posisi kedua, PT Indonesia Fibreboard Industry Tbk (POLU), emiten sektor bahan baku yang bergerak dalam industri pengolahan kayu dan serat, mencatat kenaikan sebesar 64,54 persen dalam sepekan. Saham POLU ditutup di level Rp5.150, naik dari Rp2.850 pada awal pekan.

Sementara itu, PT Perma Plasindo Tbk (BINO), yang bergerak di sektor barang konsumsi primer dengan fokus pada produk plastik dan kemasan, mencatatkan apresiasi 29,41 persen, dari Rp135 menjadi Rp176 per saham.

Kenaikan signifikan juga dicatat oleh PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT), yang beroperasi di sektor pertanian, terutama perkebunan kelapa sawit, dengan apresiasi harga sebesar 18,15 persen ke level Rp1.595 dari Rp1.340 per saham. 

PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI), perusahaan sektor teknologi informasi dan komunikasi yang bergerak di penyediaan jaringan internet dan solusi digital, menyusul dengan kenaikan 14,41 persen dalam sepekan menjadi Rp1.945 per lembar.

Saham lainnya yang turut masuk dalam daftar top gainers pekan ini antara lain PT Estika Tata Tiara Tbk (BEEF), yang bergerak di sektor barang konsumsi primer dengan fokus pada pengolahan dan distribusi daging sapi, naik 13,64 persen ke Rp150 per saham. 

PT Sillo Maritime Perdana Tbk (SHIP), emiten sektor transportasi dan logistik yang bergerak di bidang jasa angkutan laut dan logistik, naik 13,64 persen ke Rp1.500 per saham. PT Sanurhasta Mitra Tbk (MINA), perusahaan sektor properti yang berfokus pada pengembangan dan manajemen aset real estate, naik 12,98 persen ke Rp148 per saham. 

PT Champion Pacific Indonesia Tbk (RSCH), yang bergerak di sektor kesehatan dan memproduksi kemasan farmasi, naik 12,14 persen ke Rp314 per saham. PT Fortune Wicaksana Tbk (FWCT), emiten sektor barang konsumsi primer yang bergerak di perdagangan dan distribusi produk konsumen, naik 11,35 persen ke Rp206 per saham.

Penguatan harga saham-saham tersebut mencerminkan masih ada optimisme investor terhadap prospek bisnis emiten yang bersangkutan. Lonjakan signifikan pada saham RONY dan POLU didorong oleh sentimen positif dari kinerja fundamental yang solid serta prospek ekspansi bisnis yang menjanjikan.

Sementara itu, saham ANJT dan WIFI mendapatkan dorongan dari peningkatan minat investor terhadap sektor perkebunan dan teknologi digital. Saham SHIP dan BEEF juga mencatatkan kenaikan yang stabil seiring dengan prospek industri pelayaran serta konsumsi domestik yang terus meningkat.

Secara keseluruhan, pergerakan saham-saham top gainers pekan ini menunjukkan bahwa investor masih optimistis terhadap berbagai sektor, terutama yang memiliki pertumbuhan jangka panjang yang menjanjikan. Meski demikian, investor tetap disarankan untuk mencermati kondisi pasar dan faktor-faktor fundamental sebelum mengambil keputusan investasi.

Pakar Ekonomi Universitas Paramadina Wijayanto Samirin, mengidentifikasi tiga faktor utama yang menyebabkan tekanan hebat terhadap pasar modal Indonesia.

"Kami lihat penurunan indeks ini kan sudah mulai terjadi sejak 6 bulan yang lalu ya, konsisten mengalami penurunan gitu. Kemudian satu hari kemarin itu betul-betul penurunan yang sangat dramatis," kata Wijayanto dalam tayangan eksklusif program Bursa Pagi-Pagi pada Rabu, 19 Maret 2025.

Menurut Wijayanto, faktor pertama adalah kondisi fundamental ekonomi domestik yang kurang menggembirakan.

“Data realisasi APBN Februari yang berada di bawah ekspektasi menimbulkan kekhawatiran terhadap outlook fiskal tahun ini, yang diperkirakan akan semakin berat," ucap dia.

Selain itu, dalam empat bulan terakhir, kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah diklaim lebih bersifat besar dan bombastis, namun dinilai kurang realistis karena tidak didukung oleh basis teknokrasi yang memadai.

Wijayanto juga menyoroti kekhawatiran pasar terhadap potensi penurunan peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat global.

“Dalam waktu dekat, Moody’s dan Fitch dijadwalkan merilis hasil pemeringkatan kredit Indonesia pada April, disusul oleh S&P pada Juni-Juli. Jika outlook fiskal dianggap semakin melemah, bukan tidak mungkin peringkat kredit kita akan mengalami penurunan, yang tentunya berdampak pada arus investasi ke dalam negeri,” papar dia.

Faktor kedua yang berperan dalam tekanan IHSG adalah kondisi global, khususnya tren rebalancing aset yang dilakukan oleh investor besar dunia, termasuk hedge fund. 

Saat ini, investor global tengah melakukan reposisi aset sebagai respons terhadap kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah skenario Trump 2.0. "Mereka cenderung memindahkan dana ke aset yang dianggap lebih aman, sementara Indonesia dipersepsikan mengalami peningkatan risiko,” jelas Wijayanto.

Sementara itu, faktor ketiga berasal dari dinamika di dalam pasar modal itu sendiri, khususnya terkait aksi korporasi yang dianggap menciptakan ketidakpastian.(*)