KABARBURSA.COM – Pasar saham Amerika Serikat menutup perdagangan Jumat waktu setempat atau Sabtu, 22 Maret 2025, dini hari WIB, dengan kenaikan tipis, setelah Presiden AS Donald Trump memberi sinyal akan bersikap lebih fleksibel terhadap putaran baru tarif yang dijadwalkan berlaku awal bulan depan.
Namun, euforia pasar tak berlangsung lama. Kekhawatiran terhadap arah ekonomi global dan tensi geopolitik yang terus bergejolak membuat investor tetap waspada.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Sabtu, tiga indeks utama Wall Street sempat berbalik arah dari zona merah dan ditutup menguat. Tapi laju penguatannya tertahan oleh lemahnya kinerja sektor-sektor sensitif terhadap kondisi ekonomi, seperti chip (SOX), material (SPLRCM), dan saham berkapitalisasi kecil (Russell 2000 - RUT). Meski begitu, ketiganya masih mampu mencatatkan kenaikan mingguan.
Sementara itu, harga emas turun tajam dari rekor tertingginya, tetapi tetap bertahan di atas level USD3.000 (sekitar Rp48,9 juta) per ons, level yang pertama kali ditembus pekan lalu.
“Ini jelas masa yang menantang bagi investor,” kata Kepala Strategi Saham di U.S. Bank Wealth Management, Minneapolis, Terry Sandven. “Volatilitas dan ketidakpastian sedang naik, sentimen pasar gampang goyah, dan tarif serta dampak ikutannya mengguncang kepercayaan konsumen dan investor.”
Presiden The Fed Chicago, Austan Goolsbee, dan Presiden The Fed New York, John Williams, menyatakan masih terlalu dini untuk menilai dampak ekonomi dari kebijakan tarif Trump. Keduanya sepakat bahwa bank sentral masih punya waktu untuk menimbang arah kebijakan moneternya.
Selama sepekan terakhir, perhatian pasar memang banyak tersedot oleh rangkaian rapat kebijakan bank sentral. Baik The Fed, Bank of Japan, maupun Bank of England sama-sama memutuskan menahan suku bunga.
Nada yang sama muncul dari semua bank sentral: hati-hati. Mayoritas memilih sikap “tunggu dan lihat” terhadap kebijakan dagang Trump, yang oleh Ketua The Fed Jerome Powell disebut telah menciptakan ketidakpastian yang “secara tidak biasa meningkat tajam”.
Investor kini menantikan kejelasan soal rincian tarif balasan yang akan diberlakukan mulai 2 April mendatang. Di luar isu tarif, sentimen pasar juga ditekan oleh laporan serangan udara Israel ke Gaza dan ledakan besar akibat serangan drone Ukraina ke pangkalan militer Rusia. Keduanya memicu minat terhadap aset-aset safe haven.
“Faktor-faktor yang bisa memengaruhi sentimen pasar makin banyak, dan itu memperbesar ketidakpastian,” tambah Sandven. “Ketegangan global tinggi, valuasi saham tinggi, dan panduan dari emiten pun cenderung hati-hati.”
“Itulah jungkat-jungkit yang terjadi di pasar saat ini.”
Keruwetan pasar juga bertambah dengan ditutupnya Bandara Heathrow, Inggris, akibat kebakaran besar di gardu listrik sekitar bandara. Sementara itu, investor turut mencermati dampak finansial dari penahanan tokoh oposisi utama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, serta perkembangan pengesahan stimulus fiskal jumbo Jerman di Bundesrat (majelis tinggi parlemen).
Data ekonomi AS yang akan keluar pekan depan termasuk data sektor perumahan dan industri. Pada Kamis, Departemen Perdagangan akan merilis revisi terakhir pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2024. Sedangkan laporan belanja konsumen (PCE) dijadwalkan keluar Jumat.
Berikut kinerja indeks utama AS pada penutupan Jumat:
Tapi indeks STOXX Euro 600 masih mencatatkan kenaikan mingguan, memperpanjang performa positifnya sepanjang tahun berjalan.
Pasar Global Tergelincir
Di samping Wall Street, paasar keuangan global kembali menunjukkan gejala guncang. Indeks MSCI yang mengukur pergerakan saham dunia turun 1,47 poin atau 0,17 persen ke level 842,01. Sementara itu, saham di kawasan Eropa juga ikut merosot. Indeks pan-Eropa STOXX 600 melemah 0,6 persen dan indeks FTSEurofirst 300 yang lebih luas kehilangan 12,99 poin atau 0,59 persen.
Tekanan juga terasa di pasar negara berkembang. Indeks saham negara berkembang (MSCI Emerging Markets) jatuh 9,49 poin atau 0,83 persen ke 1.131,20. Di Asia, indeks MSCI Asia Pasifik (di luar Jepang) terpangkas 0,81 persen ke 588,59. Jepang yang biasanya tangguh juga ikut melemah. Indeks Nikkei ditutup turun 74,82 poin atau 0,20 persen ke 37.677,06.
Kondisi global yang terus dibayangi ketegangan geopolitik dan ketidakpastian tarif membuat investor cenderung kembali ke aset-aset aman. Hal ini terlihat dari menguatnya dolar AS sepanjang pekan. Dolar mencatat kenaikan terhadap euro, seiring sikap hati-hati pelaku pasar jelang tenggat tarif baru.
Indeks dolar, yang mencerminkan kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama termasuk yen dan euro, naik 0,33 persen ke 104,13. Euro melemah 0,32 persen ke USD1,0816 (sekitar Rp17.635), sementara terhadap yen, dolar menguat 0,37 persen ke 149,33 yen.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun sempat naik setelah empat hari melemah, mencerminkan pergeseran sentimen pasar yang kini mulai mempertimbangkan risiko tarif dibandingkan potensi perubahan suku bunga The Fed. Yield obligasi 10 tahun naik 1,9 basis poin ke 4,252 persen.
Obligasi 30 tahun juga mencatat kenaikan yield sebesar 3,9 basis poin ke 4,5948 persen. Sementara itu, yield obligasi 2 tahun justru sedikit menurun ke 3,948 persen, mencerminkan ekspektasi bahwa The Fed belum akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat.
Dari pasar energi, harga minyak mentah kembali naik tipis dan bersiap mencatatkan kenaikan mingguan kedua berturut-turut. Kenaikan ini ditopang oleh sanksi baru AS terhadap Iran serta rencana produksi terbaru dari OPEC+ yang diprediksi akan memperketat pasokan global. Minyak mentah AS naik 0,31 persen ke USD68,28 per barel (sekitar Rp1.112.964), sementara Brent ditutup menguat 0,22 persen ke USD72,16 per barel (sekitar Rp1.176.208).
Sementara itu, harga emas yang sempat mencetak rekor tertinggi kini sedikit terkoreksi karena tekanan dari penguatan dolar. Namun, logam mulia ini tetap mencatat kenaikan mingguan ketiga secara berturut-turut. Harga emas spot turun 0,8 persen ke USD3.020,10 per ons (sekitar Rp49.412.630), dan emas berjangka AS melemah 0,58 persen ke USD3.022,50 per ons (sekitar Rp49.452.750).(*)