KABARBURSA.COM - Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada Februari 2025 berpotensi menggerus kepercayaan investor asing.
Research Analyst Lotus Andalan Sekuritas, Muhammad Thoriq mengatakan membuat investor berhati-hati sebelum menanamkan modalnya. Sebab, melebarnya defisit anggaran membuat kekhawatiran terhadap stabilitas ekonomi dan fiskal.
"Investor asing cenderung mencari negara dengan kebijakan fiskal yang stabil dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," ujar dia saat dihubungi Kabarbursa.com di Jakarta, dikutip, Kamis, 20 Maret 2025
Thoriq menyampaikan, defisit yang besar tanpa diimbangi pembangunan infrastruktur yang jelas dapat mengurangi daya tarik investasi. Jika kondisi fiskal Indonesia dianggap terlalu berisiko, lanjut dia, arus modal asing bisa mengalir ke negara lain yang dinilai lebih aman.
Untuk menjaga daya tarik investasi, ia menyarankan agar pemerintah memastikan pengelolaan anggaran tetap transparan dan efisien.
Jika belanja negara dapat diarahkan ke sektor produktif yang mendorong pertumbuhan ekonomi, dirinya yakin kekhawatiran investor terhadap pasar Indonesia dapat berkurang.
"Dengan demikian, meskipun defisit masih terjadi, Indonesia tetap bisa menjadi tujuan investasi yang menarik bagi investor global," pungkasnya.
Defisit APBN Februari 2025 Capai Rp31,2 Triliun
Beberapa waktu lalu Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah melaporkan jika defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada Februari 2025 mengalami pelebaran dibandingkan bulan sebelumnya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, defisit APBN pada Februari 2025 mencapai Rp31,2 triliun atau setara 0,13 persen dari produk domestik bruto (PDB) 2024, meningkat dari Rp23,5 triliun pada Januari atau 0,10 persen dari PDB.
"Penerimaan perpajakan Rp240,4 triliun atau 9,7 persen dari target tahun ini, terdiri dari penerimaan pajak Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target," ujar dia dalam konferensi pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Kamis, 13 Maret 2025.
Adapun, pemerintah menetapkan target defisit APBN 2025 selama satu tahun penuh sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa sepanjang Januari hingga Februari 2025, pendapatan negara tercatat mencapai Rp316,9 triliun atau 10,5 persen dari target yang telah ditetapkan.
Angka tersebut menunjukkan penurunan 20,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp400,4 triliun.
Di sisi lain, realisasi belanja negara dalam dua bulan pertama tahun ini mencapai Rp348,1 triliun atau sekitar 9,6 persen dari total alokasi anggaran yang disiapkan pemerintah untuk 2025. Realisasi belanja ini juga mengalami penurunan 6,9 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp374,3 triliun.
Dengan kondisi tersebut, keseimbangan primer APBN pada Februari 2025 masih mencatatkan surplus sebesar Rp48,1 triliun. Namun, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan surplus keseimbangan primer pada Februari 2024 yang mencapai Rp95 triliun.
"Jadi, defisit 0,13 persen itu masih di dalam target desain APBN sebesar 2,53 persen dari PDB," jelas Sri Mulyani.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti bahwa pemotongan belanja negara menjadi langkah yang harus diambil untuk mencegah defisit yang lebih besar.
"Defisit yang sudah muncul di dua bulan awal ini merupakan sinyal bahwa pengelolaan fiskal harus lebih ketat. Jika tidak dikendalikan, beban pembiayaan akan semakin berat," ujarnya kepada KabarBursa.com, Senin 17 Maret 2025
Dalam struktur APBN 2025, belanja negara dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Belanja Pemerintah Pusat (BPP) sebesar Rp2.701,44 triliun (74,60 persen) dan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp919,87 triliun (25,40 persen).
Namun, realisasi BPP selama dua bulan pertama hanya mencapai Rp211,5 triliun atau 7,80 persen dari target APBN 2025, turun 11,74 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini terutama disebabkan oleh pemblokiran anggaran kementerian/lembaga dalam rangka efisiensi.
Sementara itu, realisasi TKD mencapai Rp211,5 triliun atau 14,90 persen dari target APBN 2025. Ini meningkat 1,43 persen dibandingkan tahun lalu, yang menurut Awalil masih dalam kategori wajar.
"Peningkatan TKD ini sebenarnya bisa membantu perekonomian daerah, terutama untuk sektor layanan publik yang menjadi kewajiban utama pemerintah daerah. Namun, efektivitas penggunaannya tetap perlu diawasi," jelasnya.
Di sisi lain, laporan realisasi pendapatan negara selama dua bulan pertama menunjukkan angka Rp316,9 triliun, sehingga terjadi defisit sebesar Rp31,2 triliun.
Menteri Keuangan menyebut defisit ini masih dalam batas wajar karena sudah direncanakan sebesar Rp616,2 triliun dalam APBN 2025. Namun, Awalil mengingatkan bahwa situasi ini tidak bisa dianggap enteng.
"Defisit di awal tahun ini bukan sekadar angka yang bisa diabaikan. Jika kita melihat tren tahun-tahun sebelumnya, defisit hanya terjadi saat pandemi, sementara di tahun 2022, 2023, dan 2024, justru ada surplus di awal tahun. Ini menandakan adanya tantangan berat dalam penerimaan negara tahun ini," katanya.