Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Prabowo Dianggap Remehkan IHSG: Ekonom Ingatkan Risiko Besar

Anjloknya IHSG bisa menjadi alarm bahaya bagi kemampuan negara membiayai masa depan.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 20 March 2025 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Pramirvan Datu
Prabowo Dianggap Remehkan IHSG: Ekonom Ingatkan Risiko Besar Hall Bursa Efek Indonesia di Bilangan SCBD, Jakarta Selatan. Foto: KabarBursa/Abbas

KABARBURSA.COM - Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengingatkan bahwa anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bukan sekadar masalah investor, tetapi juga berisiko membebani anggaran negara. Pernyataan ini merespons sikap Presiden Prabowo Subianto yang seringkali terlihat meremehkan saham.

"Anjloknya IHSG bisa menjadi alarm bahaya bagi kemampuan negara membiayai masa depan, termasuk program-program Prabowo sendiri," ujar Achmad Nur Hidayat dalam keterangannya di Jakarta kepada KabarBursa.com, Kamis 20 Maret 2025.

Menurutnya, sikap Prabowo yang menganggap kejatuhan IHSG tidak perlu dikhawatirkan karena rakyat kecil tidak bermain saham justru menunjukkan pemahaman yang keliru.

"Alasan beliau sederhana, rakyat kecil dan dirinya sendiri tidak bermain saham. Tapi, apakah benar krisis di pasar saham hanya urusan 'pemain bursa'? Ternyata tidak," ujarnya.

Menurutnya, IHSG bukan hanya sekadar urusan pelaku pasar, tetapi juga cerminan kepercayaan global terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Ketika IHSG turun drastis, investor asing cenderung menarik dana dari pasar domestik, yang berdampak langsung pada kenaikan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN).

"Saat IHSG anjlok 6 persen pada Maret lalu, ada indikasi kuat bahwa investor asing mulai menarik dana besar-besaran Rp26,9 triliun. Mereka khawatir dengan risiko ekonomi Indonesia, seperti melemahnya rupiah, defisit anggaran, atau ketegangan politik," jelasnya.

Achmad menjelaskan, kenaikan yield SBN akan membuat biaya utang pemerintah semakin mahal. Jika sebelumnya yield SBN 10 tahun berkisar 5 persen, investor bisa menuntut imbal hasil lebih tinggi, misalnya 7 persen atau lebih, karena menilai risiko Indonesia meningkat. Hal ini akan berdampak langsung pada anggaran negara.

"Jika yield SBN naik 1 persen saja, pemerintah harus mengeluarkan tambahan triliunan rupiah hanya untuk membayar bunga utang. Dana yang seharusnya dipakai untuk membangun sekolah, memberi makan anak-anak, atau subsidi listrik, malah 'kabur' ke kantong investor asing," paparnya.

Prabowo sendiri memiliki program besar seperti makan bergizi gratis yang diperkirakan membutuhkan anggaran lebih dari Rp400 triliun. Namun, jika kepercayaan pasar terus menurun dan yield SBN meningkat, pemerintah harus memilih antara menambah utang dengan bunga tinggi atau memangkas skala program.

Achmad juga menyoroti risiko eksternal yang dapat memperparah situasi ekonomi Indonesia, terutama jika Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat.

"Trump dikenal suka memicu perang dagang, dan jika Indonesia kena imbas, ekspor bisa terhambat. Nilai rupiah yang sudah melemah 0,6 persen sejak Januari bisa semakin tertekan, membuat harga SBN Indonesia di mata asing makin tidak menarik," ungkapnya.

Selain itu, beberapa lembaga keuangan global seperti Morgan Stanley dan Goldman Sachs telah memangkas penilaian terhadap pasar saham Indonesia. Menurut Achmad, hal ini menjadi sinyal serius yang tak boleh diabaikan.

"Ini seperti 'stempel merah' yang membuat investor berpikir dua kali sebelum menaruh uang di Indonesia. Jika diabaikan, reputasi Indonesia di mata global bisa rusak parah," tegasnya.

Ia pun menegaskan bahwa meski rakyat desa mungkin tidak bermain saham, mereka tetap akan merasakan dampak anjloknya IHSG, terutama jika negara kesulitan membiayai program sosial akibat kenaikan biaya utang.

"Harga kebutuhan pokok bisa naik karena rupiah melemah, lapangan kerja menyusut jika investor kabur, atau program bansos terhambat karena anggaran teralihkan," katanya.

Jaga Stabilitas Ekonomi

Karena itu, Achmad menilai bahwa IHSG merupakan sistem peringatan dini bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi. Menurutnya, Prabowo perlu menyadari bahwa pasar saham berfungsi sebagai indikator awal terhadap kondisi ekonomi. Ia menekankan bahwa anjloknya IHSG menunjukkan adanya penurunan kepercayaan terhadap kebijakan pemerintah, sehingga mengabaikannya bisa berisiko besar bagi perekonomian nasional.

"Prabowo perlu sadar bahwa pasar saham adalah early warning system. Anjloknya IHSG adalah tanda bahwa ada yang salah dengan kepercayaan terhadap kebijakan pemerintah. Mengabaikannya sama saja dengan menutup mata dari badai yang bisa menghancurkan perekonomian," ujarnya.

Menurutnya, Prabowo tidak perlu takut pada reaksi pasar, tetapi juga tidak boleh mengabaikannya. Jika IHSG terus melemah, dampaknya akan dirasakan oleh seluruh rakyat, bukan hanya investor.

Mengindari program sosial, tapi membangun komunikasi dengan pasar, menjaga defisit anggaran, dan memperkuat fundamental ekonomi," pungkasnya.

Alami Tekanan  Signifikan

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan signifikan dalam beberapa bulan terakhir, dengan puncaknya terjadi pada perdagangan hari Selasa, 18 Maret 2025 kemarin ketika indeks anjlok hingga 7 persen dalam satu sesi.

Menanggapi fenomena ini, Pakar Ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengidentifikasi tiga faktor utama yang menyebabkan tekanan hebat terhadap pasar modal Indonesia.

"Kami lihat penurunan indeks ini kan sudah mulai terjadi sejak 6 bulan yang lalu ya, konsisten mengalami penurunan gitu. Kemudian satu hari kemarin itu betul-betul penurunan yang sangat dramatis," kata Wijayanto dalam tayangan eksklusif program Bursa Pagi-Pagi pada Rabu, 19 Maret 2025.

Menurut Wijayanto, faktor pertama adalah kondisi fundamental ekonomi domestik yang kurang menggembirakan.

“Data realisasi APBN Februari yang berada di bawah ekspektasi menimbulkan kekhawatiran terhadap outlook fiskal tahun ini, yang diperkirakan akan semakin berat," ucap dia.

Selain itu, dalam empat bulan terakhir, kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah diklaim lebih bersifat besar dan bombastis, namun dinilai kurang realistis karena tidak didukung oleh basis teknokrasi yang memadai.

Wijayanto juga menyoroti kekhawatiran pasar terhadap potensi penurunan peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat global.

“Dalam waktu dekat, Moody’s dan Fitch dijadwalkan merilis hasil pemeringkatan kredit Indonesia pada April, disusul oleh S&P pada Juni-Juli. Jika outlook fiskal dianggap semakin melemah, bukan tidak mungkin peringkat kredit kita akan mengalami penurunan, yang tentunya berdampak pada arus investasi ke dalam negeri,” papar dia.

Faktor kedua yang berperan dalam tekanan IHSG adalah kondisi global, khususnya tren rebalancing aset yang dilakukan oleh investor besar dunia, termasuk hedge fund. 

Saat ini, investor global tengah melakukan reposisi aset sebagai respons terhadap kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah skenario Trump 2.0. "Mereka cenderung memindahkan dana ke aset yang dianggap lebih aman, sementara Indonesia dipersepsikan mengalami peningkatan risiko,” jelas Wijayanto.

Sementara itu, faktor ketiga berasal dari dinamika di dalam pasar modal itu sendiri, khususnya terkait aksi korporasi yang dianggap menciptakan ketidakpastian.

“Dalam beberapa hari terakhir, terjadi gelombang aksi buyback saham yang menyebabkan lonjakan harga secara drastis," katanya.

Beberapa emiten bahkan mengalami kenaikan harga hingga tiga atau empat kali lipat dalam waktu singkat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran investor terkait potensi irregularities di pasar.(*)