Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

BEI Jelaskan Mekanisme Pembagian Harta Perusahaan Pailit

Bursa Efek Indonesia menjelaskan mekanisme penyelesaian kewajiban emiten yang dinyatakan bangkrut. Pekerja dan investor kecipratan hartanya, tapi begini penyelesaiannya.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 20 March 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Pramirvan Datu
BEI Jelaskan Mekanisme Pembagian Harta Perusahaan Pailit Hall Bursa Efek Indonesia di Bilangan SCBD, Jakarta Selatan. Foto: KabarBursa/Abbas

KABARBURSA.COM - Direktur Penilaian Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna, menjelaskan mekanisme penyelesaian kewajiban emiten yang telah mendapat putusan pailit dari Pengadilan Niaga akibat gagal bayar utang. 

Menurutnya, penyelesaian kepada pemangku kepentingan, termasuk pemegang surat utang dan investor publik, mengikuti ketentuan hukum kepailitan yang berlaku.

“Dalam proses kepailitan, Kurator memiliki kewajiban untuk menyusun daftar pembagian dan mengajukan persetujuan kepada Hakim Pengawas, sebagaimana diatur dalam Pasal 189 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU," Nyoman melalui keterangan resminya di Jakarta pada Kamis, 20 Maret 2025.

Setelah itu, harta pailit akan dibagikan kepada kreditor sesuai dengan urutan prioritas yang telah ditetapkan dalam Pasal 187 UU yang sama, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013.

Lebih lanjut, ia merinci urutan penyelesaian kewajiban dalam proses likuidasi harta emiten yang pailit. “Pembayaran pertama kali dilakukan untuk upah pokok karyawan yang terutang, kemudian kepada kreditor preferen seperti pajak negara," paparnya.

Kewajiban selanjutnya, yakni kreditor separatis yang memiliki hak jaminan kebendaan—seperti pemegang gadai, hak tanggungan, atau fidusia—akan mendapatkan haknya. "Baru setelah itu, kreditor konkuren, yaitu kreditor tanpa jaminan, akan memperoleh bagian dari aset yang tersisa,” terangnya.

Perihal dengan pemegang saham, Nyoman menegaskan bahwa mereka berada dalam urutan terakhir dalam skema penyelesaian kepailitan, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) Pasal 149 ayat (1). 

“Setelah seluruh kreditor dipenuhi haknya, sisa kekayaan hasil likuidasi baru dapat dibayarkan kepada pemegang saham," ucap dia.

Proses ini juga mencakup pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang perseroan, serta pengumuman dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian aset.

Menjawab pertanyaan mengenai perlakuan terhadap dana investor publik dan pemegang surat utang, Nyoman menegaskan bahwa tidak ada jaminan pengembalian dana secara penuh. 

Besaran dana yang diterima kreditor, termasuk pemegang obligasi dan investor yang memiliki saham, sangat bergantung pada jumlah aset yang dapat dilikuidasi. Jika aset perusahaan tidak cukup untuk menutupi seluruh kewajiban, maka kreditor konkuren dan pemegang saham berpotensi tidak mendapatkan kembali seluruh investasi mereka.

Pelunasan Kewajiban Finansial

Ia juga menambahkan bahwa jika surat utang atau saham emiten yang pailit menjadi underlying asset dalam suatu reksa dana, maka tanggung jawab penyelesaiannya akan bergantung pada mekanisme investasi yang ditetapkan oleh manajer investasi. “Investor reksa dana perlu memperhatikan ketentuan prospektus yang mengatur risiko terkait surat berharga yang menjadi bagian dari portofolio investasi,” kata Nyoman.

Salah satu perusahaan yang baru saja dinyatakan bangkrut adalah  PT Sri Rejeki Isman atau Sritex, dengan kode saham SRIL. Dengan putusan pailit yang diketok palu, Sritex kini menghadapi proses likuidasi aset demi melunasi kewajiban finansialnya yang mencapai triliunan rupiah.

Kondisi keuangan Sritex telah menunjukkan tanda-tanda keretakan sejak beberapa tahun terakhir. Penurunan kinerja industri tekstil, tingginya biaya produksi, serta melemahnya daya beli masyarakat membuat arus kas perusahaan semakin tertekan. Berdasarkan laporan keuangan terakhir sebelum putusan pailit, total utang Sritex melampaui kapasitas pembayaran, memaksa manajemen mengajukan restrukturisasi yang pada akhirnya menemui jalan buntu. Kreditur besar, termasuk bank dan pemegang obligasi, kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan Sritex untuk bangkit kembali, sehingga memicu proses hukum yang berujung pada kebangkrutan.

Sritex, yang dikenal sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, mengalami penurunan kinerja keuangan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2024, total aset perusahaan mencapai USD594,01 juta, turun dari USD648,99 juta pada akhir 2023. Penurunan ini mencerminkan berkurangnya nilai persediaan dan aset tetap yang menjadi pilar utama perusahaan.

Sementara itu, total liabilitas perusahaan membengkak hingga USD1,61 miliar, dengan utang bank jangka panjang mencapai USD829,67 juta. Tidak hanya itu, obligasi yang diterbitkan Sritex juga tercatat sebesar USD375 juta, menambah beban finansial yang sulit untuk ditangani.

Surat utang ini menjadi salah satu faktor krusial dalam tekanan finansial perusahaan, mengingat Sritex harus membayar bunga dan pokok obligasi secara berkala dalam kondisi bisnis yang semakin lesu. Kewajiban ini, yang awalnya diterbitkan untuk mendukung ekspansi perusahaan, justru menjadi bumerang yang memperburuk kesehatan keuangan perusahaan.

Di sisi lain, utang usaha jangka pendek Sritex juga mengalami kenaikan drastis. Pada akhir September 2024, utang usaha kepada pihak ketiga tercatat sebesar USD 54,24 juta, naik signifikan dibandingkan USD 31,86 juta pada akhir tahun 2023. Peningkatan ini menunjukkan bahwa Sritex menghadapi kesulitan dalam membayar pemasok dan mitra bisnisnya, yang dapat berujung pada terganggunya rantai pasokan dan operasional produksi.

Diberitakan KabarBursa.com sebelumnya, Sritex juga memiliki liabilitas lain yang menambah tekanan finansial. Beban pajak yang harus dibayarkan perusahaan mencapai USD 18,78 juta, sementara beban akrual yang mencakup biaya operasional yang belum dibayar mencapai USD 18,81 juta. Ditambah dengan liabilitas lainnya, seperti utang pemegang saham yang baru muncul sebesar USD 9,35 juta, total liabilitas semakin membengkak tanpa ada sumber pendapatan yang cukup untuk menutupinya.

Defisiensi modal yang dialami Sritex semakin mempertegas kondisi kritis perusahaan. Dengan akumulasi defisit sebesar USD 1,22 miliar, Sritex secara teknis berada dalam kondisi insolvensi, di mana jumlah kewajibannya jauh melampaui total aset yang hanya sebesar USD 594,01 juta per September 2024. Ketimpangan ini mengakibatkan pengadilan akhirnya memutuskan status pailit bagi Sritex, mengingat perusahaan tidak lagi memiliki kemampuan finansial untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur.

Analisis Manajemen Risiko Sritex


Sritex menghadapi berbagai risiko keuangan, termasuk risiko mata uang asing, suku bunga, kredit, dan likuiditas. Perusahaan menyadari bahwa fluktuasi nilai tukar dapat mempengaruhi biaya bahan baku dan pendapatan ekspor. Untuk mengelola risiko tersebut, Sritex melakukan pemetaan risiko yang komprehensif dan berusaha menerapkan strategi mitigasi yang sesuai. 

Meskipun Sritex memiliki kerangka manajemen risiko, perusahaan tetap mengalami kesulitan keuangan yang signifikan. Liabilitas perusahaan mencapai USD1,6 miliar atau sekitar Rp 25 triliun, sementara ekuitasnya mencatatkan defisiensi modal sebesar USD1,22 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa strategi mitigasi risiko yang diterapkan tidak efektif dalam menghadapi tekanan finansial yang ada. 

Perusahaan tekstil terbesar di Indonesia ini harus merumahkan 10 ribuan buruh yang terkena PHL usai Sritex berhenti beroperas per 1 Maret 2025.(*)