KABARBURSA.COM - Harga emas naik 1 persen pada Selasa dan mencetak rekor baru di atas USD3.000 per ons karena didorong oleh meningkatnya ketegangan di Timur Tengah serta ketidakpastian perdagangan akibat rencana tarif yang digulirkan oleh Presiden AS Donald Trump.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, harga emas spot sempat mencapai puncak USD3.038,26 per ons sebelum menetap di USD3.032,96 per ons pada pukul 12:00 siang waktu Amerika Serikat, naik 1,05 persen. Emas berjangka AS juga mencatat kenaikan 1,2 persen menjadi USD3.040,80.
Logam mulia ini terus melanjutkan performa impresifnya setelah mencetak rekor sepanjang tahun lalu. Sejak awal 2025, harga emas sudah naik lebih dari 15 persen dan menembus rekor tertinggi sebanyak 14 kali.
“Kenaikan ini terutama didorong oleh eskalasi ketegangan di Timur Tengah, di mana Israel kembali melancarkan serangan udara ke target Hamas di Gaza yang berisiko mengakhiri gencatan senjata dua bulan terakhir,” ujar Kepala Strategi Logam di MKS PAMP SA, Nicky Shiels.
Serangan udara Israel dilaporkan telah menewaskan lebih dari 400 orang di Gaza sehingga menambah ketidakstabilan geopolitik yang mendorong investor beralih ke aset safe haven seperti emas.
Di sisi lain, Trump kembali mengguncang pasar dengan rencana tarif baru, termasuk bea masuk 25 persen untuk baja dan aluminium yang mulai berlaku sejak Februari. Ia juga mengusulkan tarif timbal balik dan sektoral yang akan diberlakukan mulai 2 April.
Investor kini mengalihkan perhatian ke pertemuan Trump dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, di mana pembahasan gencatan senjata Ukraina diprediksi akan menjadi agenda utama. Sementara itu, pasar juga menunggu keputusan kebijakan moneter Federal Reserve pada Rabu.
Menurut alat prediksi suku bunga FedWatch dari CME Group, para pedagang memperkirakan The Fed akan mempertahankan suku bunga tetap pada pertemuan ini, tetapi peluang pemangkasan suku bunga pada Juni mendekati 66 persen.
“Jika harga emas berhasil bertahan di atas USD3.040, maka level resistensi berikutnya berada di USD3.080 sebagai skenario ekstrem,” kata Razan Hilal, analis pasar dari City Index.
Selain emas, harga perak juga naik 0,4 persen menjadi USD33,96 per ons, level tertinggi sejak akhir Oktober. “Kita mungkin akan melihat kenaikan lebih kuat dalam harga perak dalam beberapa pekan ke depan karena logam ini mulai mengejar momentum emas,” ujar analis senior di Kitco Metals, Jim Wyckoff.
Di sisi lain, harga platinum sedikit melemah 0,1 persen menjadi USD999,15 per ounce, sementara palladium stagnan di USD965,56 per ounce.
Harga Emas Diprediksi akan Terus Kinclong
Reli harga emas tampaknya belum akan berhenti dalam waktu dekat. Sejak Januari 2024, harga logam mulia ini sudah melejit lebih dari 40 persen, mencetak rekor demi rekor. Goldman Sachs Research memperkirakan tren ini masih akan berlanjut hingga akhir 2025, dengan potensi kenaikan tambahan sebesar 8 persen. Jika proyeksi ini akurat, harga emas bisa menyentuh USD3.100 (Rp51,15 juta) per troy ons, lebih tinggi dari perkiraan awal sebesar USD2.890 (Rp47,68 juta).
Menurut Lina Thomas, analis di Goldman Sachs, revisi prediksi ini dipicu oleh tingginya permintaan emas dari bank sentral di berbagai negara. Sejak aset bank sentral Rusia dibekukan pada 2022 akibat invasi ke Ukraina, banyak negara mulai meningkatkan kepemilikan emas mereka sebagai langkah perlindungan. Tren ini masih berlanjut dan diperkirakan menjadi pendorong utama lonjakan harga emas ke depannya.
Selain bank sentral, investasi di ETF emas juga ikut berkontribusi terhadap lonjakan permintaan. Dengan suku bunga yang mulai menurun, investor kembali melirik emas sebagai aset lindung nilai yang lebih menarik dibandingkan obligasi dengan imbal hasil yang melemah.
Namun, Thomas mengingatkan bahwa aktivitas spekulan di pasar berjangka bisa sedikit menghambat laju kenaikan harga emas. Saat ini, posisi spekulan dalam kontrak berjangka emas masih tinggi, didorong oleh kekhawatiran terkait kebijakan tarif impor yang dicanangkan oleh Presiden AS Donald Trump.
Jika ketidakpastian global semakin memburuk, baik dari sisi tarif, geopolitik, maupun utang pemerintah AS, spekulan bisa semakin agresif dalam memborong emas. Dalam skenario seperti itu, harga emas bahkan berpotensi menembus USD3.300 (Rp54,45 juta) per troy ons pada akhir 2025.
Goldman Sachs menyoroti lonjakan permintaan emas sebagai faktor utama di balik kenaikan prediksi harga ini. Sebelum pembekuan aset Rusia pada 2022, permintaan emas oleh institusi di pasar London hanya berkisar 17 ton per bulan. Namun, pada Desember 2024, angkanya melonjak hingga 108 ton.
Thomas memperkirakan, permintaan emas oleh bank sentral telah meningkat lima kali lipat sejak 2022. Tren ini menjadi alasan utama bagi Goldman Sachs untuk menyesuaikan asumsi mereka dalam proyeksi harga emas terbaru. Jika laju permintaan ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin harga emas akan mengalami kenaikan hingga 9 persen.
Selain itu, Federal Reserve (The Fed) diperkirakan akan memangkas suku bunga dua kali sepanjang tahun ini. Jika kebijakan tersebut terealisasi, daya tarik emas sebagai aset investasi akan semakin meningkat dibandingkan obligasi yang imbal hasilnya lebih rendah.
Dengan berbagai faktor pendukung ini, pasar emas tampaknya masih punya ruang untuk melanjutkan reli, dan para investor yang sudah mengoleksi emas sejak awal bisa menikmati keuntungan lebih besar dalam beberapa bulan ke depan.(*)