Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Wall Street Kembali Terpeleset, Saham Teknologi Berguguran

Wall Street kembali merosot setelah reli singkat, dipimpin kejatuhan saham teknologi seperti Tesla dan Nvidia. Investor menanti keputusan The Fed soal suku bunga.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 19 March 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Wall Street Kembali Terpeleset, Saham Teknologi Berguguran Ilutrasi: Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM - Wall Street kembali mengalami gejolak pada perdagangan Rabu, 19 Maret 2025, dini hari WIB dengan indeks utama turun setelah reli dua hari yang sempat menghidupkan harapan pasar. Dilansir dari AP di Jakarta, Rabu, indeks S&P 500 anjlok 1,1 persen, sementara Dow Jones Industrial Average terpangkas 260 poin atau 0,6 persen. Indeks Nasdaq Composite, yang didominasi saham-saham teknologi, bahkan terjun lebih dalam 1,7 persen.

Yang paling terasa pukulannya kali ini adalah saham-saham besar yang sebelumnya jadi primadona pasar. Tesla menjadi salah satu penyebab utama kejatuhan, merosot 5,3 persen di tengah kekhawatiran soal penurunan penjualan. Sentimen negatif datang dari kebijakan CEO Elon Musk yang dikritik karena upayanya memangkas belanja pemerintah AS. Tak hanya itu, persaingan di industri kendaraan listrik makin panas setelah BYD, rival asal China, meluncurkan teknologi pengisian daya super cepat yang diklaim hampir secepat pengisian bahan bakar bensin.

Dari sektor teknologi, saham Alphabet ikut tertekan, turun 2,2 persen, setelah perusahaan induk Google itu mengumumkan rencana akuisisi raksasa keamanan siber Wiz senilai USD32 miliar (Rp528 triliun). Ini menjadi akuisisi terbesar dalam sejarah Alphabet selama 26 tahun, dengan harapan memperkuat layanan cloud computing mereka di tengah persaingan kecerdasan buatan (AI) yang semakin ketat.

Saham-saham berbasis AI yang sebelumnya terbang tinggi juga ikut terseret. Nvidia turun 3,3 persen saat menggelar acara “AI Woodstock”, sementara Super Micro Computer, pembuat server, anjlok 9,6 persen. Palantir Technologies, yang menawarkan platform AI, juga jatuh 4 persen.

Ketidakpastian di pasar semakin diperburuk oleh dinamika politik dan kebijakan dagang Presiden Donald Trump. Kebijakan tarif dan pengumuman yang berubah-ubah telah menimbulkan kekhawatiran bahwa konsumen dan dunia usaha AS bisa mulai menahan belanja mereka, yang pada akhirnya bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Situasi ini juga membuat Federal Reserve berada di persimpangan. Bank sentral AS memulai pertemuan kebijakan moneter terbaru mereka dan akan mengumumkan keputusan suku bunga pada Rabu, 20 Maret 2025. Meski sebagian besar analis memperkirakan The Fed masih akan mempertahankan suku bunga, spekulasi tentang potensi penurunan suku bunga semakin meningkat.

Harapan pasar adalah pemangkasan suku bunga bisa memperlancar kredit bagi bisnis dan rumah tangga, sehingga mendukung perekonomian. Namun, ada dilema besar: menurunkan suku bunga terlalu cepat juga bisa mendorong inflasi lebih tinggi, terutama dengan dampak tarif yang sudah mulai terasa di harga-harga barang.

Investor akan lebih fokus pada proyeksi ekonomi The Fed setelah pertemuan, yang akan mengungkap ekspektasi pejabat terkait inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan suku bunga ke depan. Untuk saat ini, Wall Street memperkirakan The Fed bakal memangkas suku bunga dua hingga tiga kali sebelum akhir tahun 2025.

Sejauh ini, meski pasar saham mengalami koreksi tajam, kondisi penurunan masih terbilang terkendali. Strategis Barclays mencatat bahwa kepercayaan pasar terhadap The Fed sebagai ‘pelindung’ Wall Street masih cukup kuat. Jika ekonomi memburuk lebih cepat dari ekspektasi, ada keyakinan bahwa The Fed akan memangkas suku bunga lebih agresif guna menstabilkan pasar.

Namun, optimisme ini akan diuji minggu ini jika The Fed terlihat lebih khawatir pada inflasi dibandingkan pelemahan ekonomi. Jika itu terjadi, kemungkinan Wall Street masih akan tetap bergelombang dalam waktu dekat.

Pada perdagangan Selasa, S&P 500 turun 60,46 poin ke 5.614,66, Dow Jones melemah 260,32 poin ke 41.581,31, dan Nasdaq Composite kehilangan 304,55 poin ke 17.504,12.

Saham Asia Menguat, tapi IHSG Kena Jeda Darurat

Sementara Wall Street lagi terseok-seok, sebagian besar pasar saham di Eropa dan Asia justru menunjukkan performa lebih baik. Tren ini berbanding terbalik dengan pola bertahun-tahun di mana pasar AS selalu unggul, hingga muncul pertanyaan apakah era “keistimewaan AS” sudah berakhir.

Di Jepang, indeks Nikkei 225 menguat 1,2 persen seiring ekspektasi investor bahwa Bank of Japan (BoJ) akan tetap mempertahankan suku bunga acuannya dalam pertemuan kebijakan moneter yang akan selesai pada Rabu, 20 Maret 2025.

Namun, pasar Indonesia justru mengalami kejutan besar. IHSG sempat anjlok hingga 6 persen, memicu suspensi perdagangan sementara oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Setelah perdagangan dilanjutkan, pelemahan berhasil ditekan, tapi tetap ditutup turun 3,8 persen.

Salah satu faktor yang mengguncang IHSG adalah tekanan terhadap saham-saham perbankan milik negara. Investor mulai melepas saham bank BUMN setelah pemerintah meluncurkan Dana Investasi Nasional (Danantara). Sayangnya, dana ini belum mendapatkan respons positif dari pasar. Menurut Budi Frensidy, profesor dari Universitas Indonesia, ketidakpastian terkait kebijakan pemerintah, ditambah kekhawatiran akan dampak tarif AS dan risiko ekonomi lainnya, membuat investor semakin waspada terhadap prospek ekonomi Indonesia.

Sementara itu, di pasar obligasi AS, imbal hasil Treasury 10 tahun turun menjadi 4,28 persen dari sebelumnya 4,31 persen pada Senin malam. Ini mencerminkan pergeseran sentimen investor yang mulai mencari aset aman di tengah ketidakpastian ekonomi global.(*)