KABARBURSA.COM - Pasar modal Indonesia tengah berada dalam tekanan hebat, dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terus mengalami pelemahan signifikan.
Seiring dengan tren penurunan yang masih kuat, kekhawatiran investor pun meningkat, muncul prediksi bahwa IHSG berpotensi turun hingga ke level 5.000 jika tekanan jual terus berlanjut.
Analis MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana, menilai bahwa secara teknikal, kemungkinan IHSG kembali ke level 5.000 tetap terbuka.
“Untuk kemungkinan memang masih ada, karena kami melihat koreksi minimal seperti yang telah kami sampaikan tadi, paling tidak nanti untuk menguji di area 5.879 sampai ke 5.975. Dan kami melihat memang untuk ke depannya ini dari time frame yang relatif cukup besar di weekly-nya, masih ada potensi penurunan paling tidak ke area 5633,” ungkapnya dalam wawancara program Breaking News di kanal YouTube Kabar Bursa, Selasa, 18 Maret 2025.
Menurutnya, tren pelemahan IHSG masih cukup kuat, dengan indikasi downtrend yang belum menunjukkan tanda-tanda pembalikan arah. Oleh karena itu, investor disarankan untuk mencermati perkembangan pasar lebih lanjut sebelum mengambil keputusan investasi.
Situasi ini juga memunculkan pertanyaan apakah penurunan IHSG kali ini merupakan fenomena yang lumrah dalam transisi pemerintahan atau justru mencerminkan kondisi yang lebih buruk dibandingkan sebelumnya.
“Secara teoritis, transisi pemerintahan memang cenderung membuat investor wait and see terlebih dahulu. Biasanya investor akan menunggu untuk melihat bagaimana kinerja pemerintahan baru dan bagaimana arah kebijakan investasi serta ekonomi yang akan diambil,” jelas Herditya.
Namun, tekanan terhadap IHSG saat ini tidak hanya berasal dari faktor domestik. Situasi global juga berkontribusi terhadap ketidakpastian di pasar modal, terutama dengan meningkatnya ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat, Kanada, dan China yang memicu aksi balas-membalas tarif perdagangan.
Di sisi lain, kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed) yang masih cenderung hawkish juga menjadi faktor yang membebani sentimen investor. “The Fed masih belum melihat adanya urgensi untuk memangkas suku bunga acuannya, yang berarti likuiditas global masih akan tetap ketat dan ini berpotensi menekan pasar keuangan di negara berkembang, termasuk Indonesia,” tambah pria yang akrab disapa Didit.
Jika ditarik ke belakang, pola pelemahan IHSG memang pernah terjadi di beberapa periode penting, seperti krisis keuangan 2008 dan dampak pandemi COVID-19 pada 2020. Dengan demikian, skenario koreksi lebih dalam masih menjadi risiko yang perlu diwaspadai, tergantung pada bagaimana kondisi domestik dan global berkembang dalam waktu dekat.
IHSG Terapkan Trading Halt
Sebelumnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan penghentian sementara perdagangan setelah IHSG anjlok hingga batas 5 persen.
“Pada hari ini, Selasa, 18 Maret 2025, terjadi penghentian sementara perdagangan (trading halt) di sistem perdagangan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) pada pukul 11:19:31 WIB akibat penurunan IHSG sebesar 5 persen. Langkah ini diambil berdasarkan Surat Keputusan Direksi BEI Nomor: Kep-00024/BEI/03-2020 tanggal 10 Maret 2020 mengenai Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di BEI dalam Kondisi Darurat,” demikian isi pengumuman BEI.
Setelah penghentian sementara, perdagangan kembali berjalan pada pukul 11:49:31 WIB tanpa adanya perubahan jadwal. Meski demikian, tekanan jual yang besar tetap berlanjut, dengan aksi jual masif dari investor asing yang semakin memperdalam koreksi IHSG.
Sejak dibekukan, IHSG turun anjlok 5 persen atau turun 325 poin ke level 6.146. Sebanyak 552 saham terpantau melemah, 97 saham menguat, dan 197 saham stagnan.
Adapun Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG dibuka melemah sebesar 0,17 persen atau turun 11 poin ke level 6.460 pada perdagangan Selasa, 18 Maret 2025.
Merujuk data perdagangan RTI Business, pembukaan pagi ini menorehkan 337,482 juta saham dengan nilai transaksi Rp318.171 miliar, serta frekuensi 20,918.
Meski dibuka melemah, 174 saham terpantau menguat, 71 saham di zona merah, dan 217 saham mengalami stagnan.
Dua Isu yang Memperburuk Pasar
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan pelemahan tajam IHSG.
“Pertama, hasil APBN Februari yang buruk dan prospek fiskal 2025 yang berat membuat investor semakin waspada. Kedua, kebijakan pemerintah yang dianggap tidak realistis dan kurang didukung oleh teknokrasi yang jelas menambah ketidakpastian. Ketiga, berbagai isu mega korupsi yang mencuat akhir-akhir ini semakin merusak kepercayaan investor,” ungkap Wijayanto kepada KabarBursa.com melalui telepon, Selasa, 18 Maret 2025.
Selain itu, ia juga menyoroti dua isu baru yang dinilai memperburuk sentimen pasar.
“Yang keempat adalah kekhawatiran atas wacana Dwi Fungsi ABRI yang bisa memicu protes besar. Kelima, investor khawatir terhadap kemungkinan penurunan peringkat kredit Indonesia oleh lembaga pemeringkat internasional. Dalam waktu dekat, Fitch dan Moody’s akan mengumumkan penilaian mereka pada Maret-April, sedangkan S&P dijadwalkan merilis hasilnya pada Juni-Juli. Jika ada revisi ke bawah, dampaknya bisa semakin dalam terhadap pasar keuangan,” jelasnya.