KABARBURSA.COM – PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) mencatatkan Net Interest Margin (NIM) terendah dalam setahun terakhir, turun ke level 5,4 persen pada Februari 2025. Penurunan ini menimbulkan pertanyaan apakah pendapatan bank akan ikut tergerus, serta bagaimana strategi BBCA dalam menjaga profitabilitas di tengah kondisi likuiditas yang terbatas.
Equity Research Analyst MNC Sekuritas, Christian Immanuel Sitorus, menjelaskan bahwa meskipun terjadi penurunan NIM, hal ini masih dalam batas moderat dan merupakan siklus normal yang terjadi di sektor perbankan, terutama di awal tahun.
“Jika melihat tren pergerakan NIM BCA dalam lima tahun terakhir, fluktuasi seperti ini bukan hal yang luar biasa. Penurunan NIM pada awal tahun umumnya terjadi karena berbagai faktor, termasuk tekanan likuiditas dan dinamika suku bunga,” ujar Christian kepada Kabarbursa.com, Senin 17 Maret 2025.
Meskipun ada tekanan pada NIM, Christian menegaskan bahwa pendapatan bank tidak serta-merta turun. Menurutnya, permintaan kredit masih cukup tinggi, sehingga BCA masih memiliki ruang untuk mempertahankan pendapatannya.
“Kami mengharapkan pendapatan bank tidak turun karena jika itu terjadi, maka likuiditas bisa semakin terbatas. Saat ini, permintaan pinjaman masih tinggi, tetapi kondisi likuiditas memang cukup ketat,” lanjutnya.
BCA disebut telah melakukan efisiensi operasional, terutama pada pengelolaan biaya operasional (OPEX) di kantor cabang. Digitalisasi layanan dan optimalisasi teknologi menjadi langkah utama dalam menekan beban operasional tanpa mengorbankan kualitas layanan.
Selain itu, Christian juga menyoroti tantangan dalam pengelolaan cost of fund. Menurutnya, persaingan antar bank dalam menarik Dana Pihak Ketiga (DPK) semakin ketat. Jika BCA tidak menaikkan bunga DPK, mereka bisa kehilangan pangsa pasar karena nasabah memilih untuk menempatkan dana di bank lain yang menawarkan bunga lebih tinggi. Namun, jika bank menaikkan bunga DPK terlalu agresif, maka biaya dana akan meningkat, yang pada akhirnya bisa kembali menekan margin keuntungan.
“Efisiensi cost of fund sangat kompetitif di industri perbankan. Jika BCA tidak menaikkan bunga DPK, mereka bisa kehilangan market share. Sebaliknya, jika menaikkan bunga DPK terlalu tinggi, cost of fund menjadi mahal. Oleh karena itu, bank harus menjaga keseimbangan dalam strategi penghimpunan dana,” jelasnya.
Penurunan NIM Moderat
Penurunan NIM di awal tahun bukanlah sesuatu yang baru dalam industri perbankan. Fluktuasi ini lebih mencerminkan kondisi siklus tahunan dibandingkan dengan indikasi perlambatan yang serius.
Christian menegaskan bahwa sejauh ini, penurunan NIM di BCA masih tergolong moderat dan tidak memberikan tekanan yang signifikan terhadap pendapatan bank.
“Jadi, meskipun NIM BCA mengalami penurunan, ini masih dalam batas yang wajar dan tidak terlalu mengkhawatirkan. Dengan strategi efisiensi yang sudah diterapkan, bank tetap bisa menjaga profitabilitasnya di tengah tantangan likuiditas,” tutupnya.
Sebelumnya BBCA mengalami penurunan Net Interest Margin (NIM) ke level terendah dalam satu tahun terakhir, mencerminkan tantangan profitabilitas bank di tengah kondisi likuiditas yang semakin ketat.
Investment Analyst Stockbit, Everson Sugianto, mengungkapkan bahwa NIM bank only BBCA tercatat sebesar 5,4 persen pada Februari 2025, turun dari posisi Januari 2025 di 5,91 persen, dan menjadi level terendah sejak Februari 2024 yang berada di angka 5,33 persen.
“Dengan hasil ini, rata-rata NIM selama dua bulan pertama 2025 mencapai 5,67 persen, sedikit di bawah proyeksi manajemen yang menargetkan kisaran 5,7 hingga 5,8 persen,” jelas Everson dalam keterangannya, dikutip Senin, 17 Maret 2025.
Turunnya NIM terjadi seiring dengan pertumbuhan pendapatan bunga yang masih terbatas, yang tercatat sebesar Rp7,1 triliun atau naik 4,8 persen secara tahunan, tetapi turun 7,6 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Sebagai perbandingan, pertumbuhan tahunan pendapatan bunga pada kuartal keempat 2024 berada di kisaran 7 hingga 8 persen.
Meski mengalami tekanan pada NIM, Net Interest Income (NII) BBCA tetap tumbuh 6 persen secara tahunan pada Februari 2025 dan selama dua bulan pertama 2025, didorong oleh beban bunga yang masih terkendali.
Laba Bersih BBCA Tumbuh 8 Persen
Pada Februari 2025, BBCA mencatatkan laba bersih bank only sebesar Rp4,2 triliun, meningkat 12 persen secara tahunan, meskipun mengalami penurunan 10 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Secara kumulatif, laba bersih selama dua bulan pertama 2025 mencapai Rp9 triliun, tumbuh 8,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, melampaui estimasi konsensus yang memperkirakan pertumbuhan 7 persen.
Menurut Everson, performa BBCA pada Februari 2025 menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa indikator seperti credit cost (CoC) mengalami penurunan, namun di sisi lain, tekanan likuiditas semakin terasa dan NIM masih dalam tren rendah.
Selama dua bulan pertama 2025, pertumbuhan kredit BBCA mengalami perlambatan ke level 14 persen secara tahunan, lebih rendah dibandingkan Januari 2025 yang mencapai 15,1 persen. Perlambatan ini sesuai dengan strategi manajemen yang menargetkan pertumbuhan kredit konsolidasi sepanjang 2025 di kisaran 6 hingga 8 persen.
Di sisi lain, Dana Pihak Ketiga (DPK) masih stagnan di level 3,9 persen secara tahunan, sama seperti Januari 2025. Kondisi ini menyebabkan Loan-to-Deposit Ratio (LDR) meningkat menjadi 80,6 persen pada Februari 2025, lebih tinggi dibandingkan Januari 2025 yang berada di 79,7 persen dan Februari 2024 yang tercatat 73,5 persen.
Meskipun sektor perbankan secara umum menghadapi tantangan likuiditas yang lebih ketat, BBCA masih memiliki posisi likuiditas yang lebih baik dibandingkan bank-bank besar lainnya dalam kelompok Big 4.
Dari sisi operasional, Pre-Provision Operating Profit (PPOP) BBCA mengalami pertumbuhan 8,6 persen secara tahunan dalam dua bulan pertama 2025, didukung oleh efisiensi beban operasional yang hanya meningkat 3,5 persen.
Everson juga menyoroti bahwa manajemen BBCA berencana untuk meningkatkan loan yield guna memperkuat profitabilitas di tengah tekanan NIM yang masih terjadi. Namun, langkah ini harus diseimbangkan dengan kondisi pasar agar tidak berdampak pada permintaan kredit.
Dengan strategi efisiensi dan pengelolaan biaya yang lebih ketat, BBCA berupaya mempertahankan kinerjanya meskipun menghadapi tantangan dalam menjaga profitabilitas di tengah kondisi likuiditas yang semakin kompetitif. (*)