KABARBURSA.COM - Posisi utang pemerintah diperkirakan telah menembus Rp9.000 triliun per 28 Februari 2025. Data ini mencerminkan lonjakan pembiayaan utang yang mencapai Rp224,3 triliun dalam dua bulan pertama tahun ini, jauh melampaui defisit APBN sebesar Rp31,2 triliun.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti bahwa angka tersebut menunjukkan ketergantungan yang semakin besar pada utang untuk membiayai belanja negara.
Menurut laporan realisasi APBN hingga 28 Februari 2025, pendapatan negara mencapai Rp316,9 triliun, sedangkan belanja negara mencapai Rp348,1 triliun. Dengan demikian, terjadi defisit sebesar Rp31,2 triliun. Namun, angka pembiayaan anggaran justru jauh lebih besar, yakni Rp220,1 triliun.
“Nilai realisasi pembiayaan utang sebesar Rp224,3 triliun jauh melebihi defisit yang sebesar Rp31,2 triliun. Bisa diartikan bahwa dana utang tersebut disiapkan untuk belanja satu dua bulan berikutnya, karena diprakirakan pendapatan tetap tidak mencukupi,” ujar Awalil Rizky dalam analisisnya, Senin 17 Maret 2025.
Pembiayaan utang ini terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman lainnya. Awalil menyoroti bahwa pembiayaan utang pada periode ini meningkat 21,59 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp184,47 triliun. Jika dibandingkan dengan beberapa tahun terakhir, realisasi pembiayaan utang dua bulan pertama tahun ini adalah yang tertinggi.
Lebih lanjut, Awalil mengingatkan bahwa utang jatuh tempo pada Maret dan April diperkirakan meningkat dan harus dibayar dengan penerbitan utang baru.
“Meski pembiayaan utang sudah mencapai 28,9 persen dari target, maka berutang yang lebih banyak akan dilakukan karena soal arus kas. Sebagiannya dengan ‘menukar’ SBN yang jatuh tempo dengan SBN baru, disebut revolving agar terkesan keren,” tambahnya.
Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah turut memperbesar posisi utang dalam denominasi rupiah. Dalam rentang waktu 31 Januari hingga 28 Februari, rupiah melemah dari Rp16.312 menjadi Rp16.575 per dolar AS, atau sekitar 1,61 persen. Sekitar 29 persen dari total utang pemerintah berdenominasi valuta asing, yang sebagian besar dalam dolar AS. Dengan kondisi ini, posisi utang pemerintah dalam rupiah mengalami tambahan nominal.
Namun, dalam laporan APBN Kita Maret 2025, pemerintah tidak mempublikasikan posisi utang terbaru per 28 Februari. Data terakhir yang tersedia adalah per 31 Januari 2025, yang mencatat utang pemerintah sebesar Rp8.909,13 triliun. Berdasarkan perhitungan Awalil, dengan tambahan pembiayaan utang sebesar Rp70,94 triliun dan dampak pelemahan rupiah, posisi utang pemerintah diperkirakan telah mencapai Rp9.000 triliun per akhir Februari.
Ketidakterbukaan pemerintah dalam merilis data terbaru mengenai posisi utang menjadi sorotan. Awalil menilai bahwa penyajian data dalam siaran pers APBN Kita Maret 2025 sengaja menggunakan angka hingga 10 Maret, bukan per 28 Februari seperti data lainnya, untuk memberikan kesan yang lebih positif.
“Paparan menampilkan data yang sampai dengan 10 Maret 2025, bukan 28 Februari seperti data lainnya. Penyebabnya karena jika sampai dengan 28 Februari, maka gambarannya akan lebih buruk,” ujarnya.
Penjelasan BI Soal Utang Pemerintah
Lembaga pemeringkat kredit internasional Fitch Ratings kembali mempertahankan peringkat utang Sovereign Credit Rating (SCR) Republik Indonesia di level BBBdengan outlook stabil pada 11 Maret 2025.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Ramdan Denny Prakoso,menjelaskan bahwa keputusan tersebut didasarkan pada prospek pertumbuhan ekonomi jangka menengah yang tetap kuat serta rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)yang relatif rendah dibandingkan negara lain dengan peringkat serupa.
Ramdan menyebutkan bahwa Fitch telah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 akan tetap ditopang oleh permintaan domestik yang solid, didorong oleh belanja publik yang meningkat, termasuk alokasi untuk bantuan sosial dan proyek infrastruktur.“Investasi swasta juga diperkirakan akan tetap kuat, didukung oleh pelonggaran kebijakan moneter yang moderat, berkurangnya ketidakpastian kebijakan pasca pemilu 2024, serta kelanjutan aktivitas hilirisasi di sektor industri,” ujar Ramdan dalam keterangan resminya, Rabu, 12 Maret 2025.
Berdasarkan penilaian Fitch kata Ramdan, terdapat peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan peringkat kreditnya di masa depan jika pemerintah mampu memperkuat aspek struktural, meningkatkan pendapatan negara, serta memperkokoh ketahanan eksternal terhadap guncangan global.
Stabilitas Ekonomi Indonesia
Menanggapi keputusan Fitch, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa afirmasi peringkat Indonesia di level BBB dengan outlook stabil mencerminkan kepercayaan dunia terhadap stabilitas makroekonomi dan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap terjaga.
“Keputusan ini menunjukkan keyakinan dunia internasional terhadap kredibilitas kebijakan ekonomi Indonesia, yang didukung oleh sinergi kuat antara pemerintah dan Bank Indonesia di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi,” ungkap Perry.
Perry mengatakan Bank Indonesia berkomitmen untuk memperkuat efektivitas kebijakan moneter guna menjaga inflasi dalam kisaran sasaran 2,5±1 persen pada 2025 dan 2026, sembari tetap mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Perry berujar, BI juga bakal mencermati perkembangan ekonomi global dan domestik, serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan stabilitas makroekonomi dan keuangan tetap terjaga.(*)