KABARBURSA.COM - Belanja Negara selama dua bulan pertama tahun 2025 mencapai Rp348,1 triliun atau 9,60 persen dari rencana APBN 2025 yang sebesar Rp3.621,3 triliun. Angka ini turun signifikan hingga 7,00 persen dibandingkan realisasi tahun lalu yang mencapai Rp374,32 triliun. Penurunan ini terutama disebabkan oleh penundaan atau "blokir" pada banyak akun belanja dalam rangka efisiensi anggaran.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti bahwa pemotongan belanja negara menjadi langkah yang harus diambil untuk mencegah defisit yang lebih besar.
"Defisit yang sudah muncul di dua bulan awal ini merupakan sinyal bahwa pengelolaan fiskal harus lebih ketat. Jika tidak dikendalikan, beban pembiayaan akan semakin berat," ujarnya kepada KabarBursa.com, Senin 17 Maret 2025
Dalam struktur APBN 2025, belanja negara dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Belanja Pemerintah Pusat (BPP) sebesar Rp2.701,44 triliun (74,60 persen) dan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp919,87 triliun (25,40 persen).
Namun, realisasi BPP selama dua bulan pertama hanya mencapai Rp211,5 triliun atau 7,80 persen dari target APBN 2025, turun 11,74 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini terutama disebabkan oleh pemblokiran anggaran kementerian/lembaga dalam rangka efisiensi.
Sementara itu, realisasi TKD mencapai Rp211,5 triliun atau 14,90 persen dari target APBN 2025. Ini meningkat 1,43 persen dibandingkan tahun lalu, yang menurut Awalil masih dalam kategori wajar.
"Peningkatan TKD ini sebenarnya bisa membantu perekonomian daerah, terutama untuk sektor layanan publik yang menjadi kewajiban utama pemerintah daerah. Namun, efektivitas penggunaannya tetap perlu diawasi," jelasnya.
Di sisi lain, laporan realisasi pendapatan negara selama dua bulan pertama menunjukkan angka Rp316,9 triliun, sehingga terjadi defisit sebesar Rp31,2 triliun.
Menteri Keuangan menyebut defisit ini masih dalam batas wajar karena sudah direncanakan sebesar Rp616,2 triliun dalam APBN 2025. Namun, Awalil mengingatkan bahwa situasi ini tidak bisa dianggap enteng.
"Defisit di awal tahun ini bukan sekadar angka yang bisa diabaikan. Jika kita melihat tren tahun-tahun sebelumnya, defisit hanya terjadi saat pandemi, sementara di tahun 2022, 2023, dan 2024, justru ada surplus di awal tahun. Ini menandakan adanya tantangan berat dalam penerimaan negara tahun ini," katanya.
Pendapatan negara tercatat turun 20,85 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, hanya mencapai 10,50 persen dari target APBN 2025. Menurut Awalil, ini menjadi sinyal bahwa pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah strategis.
"Dengan kondisi penerimaan yang lemah, satu-satunya cara untuk menjaga stabilitas fiskal adalah dengan mengendalikan belanja negara. Jika tidak, defisit bisa melebar dan akan sulit dikendalikan di semester kedua nanti," tegasnya.
Lebih lanjut, Awalil juga menyoroti bahwa tekanan terhadap APBN tidak hanya berasal dari defisit, tetapi juga dari beban pembayaran bunga utang yang terus meningkat.
"Belanja NonK/L yang mencakup pembayaran bunga utang, subsidi, dan bantuan sosial juga harus diperhatikan. Pemerintah harus bisa memilah mana yang prioritas agar tidak membebani fiskal terlalu berat dalam jangka panjang."
Dengan dinamika yang terjadi, pemerintah diharapkan lebih disiplin dalam mengelola anggaran, terutama dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global dan perlambatan pertumbuhan domestik.
"Efisiensi belanja bukan sekadar memotong anggaran, tetapi harus berbasis pada evaluasi yang jelas agar tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi," pungkas Awalil.
Penerimaan Pajak Merosot
Kementerian Keuangan melaporkan defisit APBN mencapai Rp31,3 triliun per Februari 2025. Defisit di awal tahun ini merupakan yang pertama dalam empat tahun terakhir. Hal ini disebabkan merosotnya penerimaan pajak hingga 41,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak menilai kondisi keuangan negara saat ini begitu mengkhawatirkan. "Kami sangat prihatin dengan tren fiskal ini. Turunnya penerimaan pajak secara drastis bukan hanya mengancam keberlanjutan anggaran negara. Tetapi juga bisa berdampak luas pada perekonomian nasional, stabilitas nilai tukar, dan kepercayaan investor," ujar Amin dalam keterangan tertulis yang diterima KabarBursa.com di Jakarta, Jumat, 14 Maret 2025.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan salah satu penyebab utama turunnya penerimaan pajak adalah gangguan teknis pada sistem Coretax yang berdampak pada proses administrasi perpajakan. Menanggapi hal ini, Amin menilai permasalahan tersebut tidak boleh dianggap remeh dan harus segera diatasi dengan langkah konkret.
Ia menilai jika sistem perpajakan baru justru membuat penerimaan negara merosot tajam, berarti ada kesalahan serius dalam perencanaannya. Menurutnya, pemerintah perlu segera memastikan Coretax berfungsi dengan optimal.
"Kalo tidak, pemerintah harus menyiapkan mekanisme darurat agar pengumpulan pajak tidak terus terganggu," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.
Di sisi lain, lemahnya penerimaan pajak juga mencerminkan perlambatan ekonomi yang berdampak pada pajak korporasi dan PPN. Jika kondisi ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan defisit APBN akan melebihi target Rp 612,2 triliun (2,53 persen dari PDB) tahun ini.
Selain itu, keterlambatan publikasi laporan APBN KiTa untuk Januari-Februari 2025 turut menimbulkan kekhawatiran perihal transparansi dalam pengelolaan fiskal.
Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini menegaskan keterbukaan data keuangan negara sangat krusial untuk menjaga kepercayaan publik dan investor.
"Kita tidak ingin ada spekulasi negatif akibat keterlambatan informasi. Menteri Keuangan harus lebih transparan dan responsif dalam menyampaikan kondisi fiskal negara agar pasar dan dunia usaha dapat mengantisipasi risiko dengan baik," katanya.
Amin mengatakan BAKN DPR RI berkomitmen untuk mengawal kebijakan ekonomi nasional agar tetap berada di jalur yang sehat dan berkelanjutan.
"Kami akan terus mengawasi dan memberikan masukan kepada pemerintah agar kebijakan fiskal kita tidak hanya sekadar memenuhi target angka. Tetapi benar-benar memperkuat ekonomi nasional secara menyeluruh," katanya.(*)