KABARBURSA.COM - Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja tak menampik bahwa daya beli masyarakat kelas menengah bawah masih lesu sejak 2024. Kondisi ini, menurutnya, belum juga menunjukkan tanda-tanda pemulihan hingga tahun ini.
"Memang daya beli masyarakat kelas menengah bawah sampai dengan saat ini masih belum pulih. Kembali begitu, karena sebetulnya sudah terjadi sejak 2024," ujar Alphonzus dalam acara Opening Ceremony BINA Diskon Lebaran 2025 di Jakarta, Jumat, 14 Maret 2025
Pernyataannya itu disampaikan di hadapan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Budi Santoso, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana, serta sejumlah pemangku kepentingan lainnya.
Meski begitu, Alphonzus tetap berharap momentum Ramadan dan Idulfitri 2025 bisa menjadi puncak penjualan sektor ritel, meskipun butuh upaya lebih untuk mendorong daya beli masyarakat.
“Kami ketahui sebetulnya Ramadan dan Idulfitri adalah puncak penjualan ritel di Indonesia. Tetapi khusus tahun ini kami dorong lagi, jangan sampai turun lagi (daya beli masyarakat) begitu," ucapnya.
Salah satu strategi yang ditempuh adalah dengan menggenjot program Belanja di Indonesia Saja (BINA) 2025, yang diharapkan bisa mendongkrak transaksi, terutama di bulan Ramadan.
"Makanya kenapa kami mendorong Program BINA ini. Kemudian juga diharapkan puncak penjualan akan terjadi minggu ini," kata dia.
Selain itu, Alphonzus menyoroti kebijakan percepatan pencairan Tunjangan Hari Raya (THR) yang diyakini akan membantu meningkatkan daya beli dan mendorong transaksi ritel.
"Makanya dilaksanakan (Program BINA) tanggal 14, karena beberapa perusahaan juga telah mencairkan THR-nya begitu. Jadi, diharapkan mulai besok akan terjadi puncak penjualan sampai dengan minggu depan,"pungkasnya.
Terbesar Kenaikan Inflasi
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan kelompok makanan, minuman dan tembakau menjadi penyumbang terbesar kenaikan inflasi. Ketiganya berkontribusi terhadap kenaikan inflasi sebesar 1,33 persen dan berkontribusi sebesar 0,38 persen terhadap total inflasi.
Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana menilai kenaikan harga makanan, minuman dan barang konsumsi pada Desember 2024 adalah hal wajar seiring dengan peningkatan permintaan pada akhir tahun.
“Kalau bicara inflasi Desember, kenaikan harga barang konsumsi sudah jadi pola tahunan,” kata Andri kepada kabarbursa.com, Sabtu, 4 Januari 2025.
Andri menilai ada sesuatu yang berbeda dari inflasi Desember 2024 di mana dalam setahun terakhir, emas menjadi salah satu komoditas yang berkontribusi menyumbang inflasi dan melampauai tahun-tahun sebelumnya.
“Ini menandakan daya beli masyarakat kelas bawah dan menengah terhadap barang kebutuhan pokok melemah sepanjang tahun,” jelasnya.
Untuk diketahui, peran emas perhiasan dalam inflasi tahunan (YoY) yang mencapai 1,57 persen pada tahun ini. Dari angka tersebut, 0,35 persen berasal dari komoditas emas perhiasan.
“Jika ditarik dalam setahun terakhir, andil kenaikan harga emas perhiasan justru terlampau besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dari inflasi YoY sebesar 1,57 persen, sebanyak 0,35 persen disumbang oleh emas perhiasan,” ujar Andri
Sebelumya, emas perhiasan menyumbang 0,11 persen dari total inflasi sebesar 2,61 persen. Bahkan pada tahun 2019 emas perhiasan menjadi penyumbang utama inflasi dengan angka di kisaran 0,16 persen dari total inflasi 2,72 persen.
“Secara nominal dan proporsional, kontribusi emas perhiasan kali ini lebih besar. Ini menandakan daya beli masyarakat kelas bawah dan menengah terhadap barang kebutuhan pokok melemah sepanjang tahun,” jelasnya.
Andri menilai tingginya porsi emas perhiasan dalam inflasi mengindikasikan bahwa masyarakat kelas atas masih memiliki daya beli, sementara kelas bawah hingga menengah justru lebih menahan pengeluaran untuk kebutuhan pokok.
“Porsi ini jadi indikator jelas. Masyarakat kelas atas masih konsumtif, tapi daya beli kelas bawah dan menengah tertahan,” tutupnya.
Komponen Emas Penyumbang Inflasi
Inflasi sepanjang tahun 2024 didominasi oleh komponen inti. Komoditas emas perhiasan menjadi penyumbang terbesar inflasi bulanan dengan frekuensi yang signifikan sepanjang tahun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), emas perhiasan dan sigaret kretek mesin (SKM) masing-masing muncul 11 kali sebagai penyumbang utama inflasi bulanan.
Pada Desember 2024, inflasi bulan ke bulan (mounth-to-mounth/mtm) tercatat sebesar 0,44 persen, sementara inflasi tahunan (year-on-year/yoy) mencapai 1,57 persen. Meskipun inflasi tahunan 2024 lebih rendah dibandingkan dengan 2023, inflasi tetap didorong oleh komoditas utama seperti makanan, minuman, dan tembakau.
“Secara tahunan, inflasi tahun 2024 lebih rendah dari tahun 2023,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, di Kantor BPS, Jakarta, pada Kamis, 2 Januari 2025.
Dalam rincian inflasi Desember 2024, kelompok makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang terbesar dengan andil inflasi 0,38 persen. Komoditas utama yang berperan dalam kelompok ini adalah telur ayam ras, cabai merah, cabai rawit, minyak goreng, dan bawang merah.
Secara tahunan, kelompok yang sama, yaitu makanan, minuman, dan tembakau, juga menjadi penyumbang utama inflasi dengan andil 0,55 persen, di mana komoditas sigaret kretek mesin (SKM), minyak goreng, beras, kopi bubuk, dan bawang merah mendominasi.
“Untuk komponen tahunan, penyumbang utama inflasi Desember 2024 secara yoy adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau dengan andil inflasi 0,55 persen,” tambah Pudji.
Komoditas-komoditas penyumbang inflasi sepanjang 2024 antara lain:
Emas Perhiasan: 11 kali (0,35 persen)
Sigaret Kretek Mesin (SKM): 11 kali (0,13 persen)
Minyak Goreng: 6 kali (0,11 persen)
Beras: 6 kali (0,10 persen)
Kopi Bubuk: 7 kali (0,10 persen)
Bawang Merah: 7 kali (0,08 persen)
Daging Ayam Ras: 7 kali (0,06 persen)
Ikan Segar: 7 kali (0,06 persen)
Bawang Putih: 6 kali (0,06 persen)
Nasi dengan Lauk: 4 kali (0,06 persen)
Telur Ayam Ras: 5 kali (0,05 persen)
Sigaret Kretek Tangan (SKT): 1 kali (0,04 persen)
Sigaret Putih Mesin (SPM): 1 kali (0,04 persen)
Biaya Sewa Rumah: 2 kali (0,04 persen)
Biaya Kuliah Perguruan Tinggi: 2 kali (0,03 persen. (*)