KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa Indonesia berpotensi masuk dalam daftar negara yang akan dikenakan tarif tinggi oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Menurutnya, kebijakan tarif tersebut menyasar negara-negara yang menyebabkan defisit perdagangan bagi AS, dengan China sebagai target utama, sementara Indonesia berada di posisi ke-15.
"Negara-negara yang punya surplus besar (terhadap AS), Tiongkok (dan) Meksiko kena (tarif impor tinggi). Vietnam yang kemarin datang ke Indonesia, ini (juga) akan menjadi target yang cukup nyata," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Kamis, 13 Maret 2025.
Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Trump sebelumnya telah berdampak pada sejumlah negara seperti Meksiko, Kanada, dan China. Pemberlakuan tarif ini juga mendorong negara-negara tersebut untuk merespons dengan mengenakan tarif balasan terhadap barang-barang asal AS.
Trump diketahui mengenakan tarif impor sebesar 10 persen untuk sektor energi dan 25 persen untuk produk lainnya di Kanada, 25 persen untuk Meksiko, serta 10 persen untuk China. Sebagai respons, China membalas dengan tarif 15 persen untuk batu bara dan LNG, 10 persen untuk minyak mentah dan mesin pertanian dari AS. Sementara Kanada mengenakan tarif 25 persen pada berbagai produk impor dari AS.
Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan Trump ini terutama menargetkan negara-negara yang memiliki neraca perdagangan surplus terhadap AS.
"Presiden Donald Trump mengincar negara-negara yang memiliki surplus terhadap Amerika atau Amerika defisit terhadap negara tersebut ... Kalau diberlakukan kebijakan tarif kepada semua negara surplus, Indonesia ada di ranking ke-15," jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa dunia saat ini telah memasuki era perang dagang atau perang ekonomi. Menurutnya, aturan main dalam perdagangan global yang selama ini berlaku kini dapat diubah secara sepihak oleh satu negara.
Sri Mulyani mencontohkan bagaimana kebijakan Trump bahkan berdampak pada negara sahabat AS seperti Kanada.
"Bagaimana kurang friend Amerika dan Kanada itu? Jadi tadinya disebutkan, 'Oh, kalau kamu berteman, kita aman'. Ternyata, definisi friends tidak ada lagi di dalam konteks hari ini," ujarnya.
Dampak dari kebijakan tarif tinggi ini, menurutnya, akan terasa pada meningkatnya biaya supply chain di sektor manufaktur dan digital, terganggunya rantai pasok, volatilitas harga komoditas, serta fluktuasi sentimen pasar.
Sebagai langkah antisipasi, Sri Mulyani melihat kemungkinan bahwa negara-negara akan mulai mempertimbangkan blok ekonomi alternatif seperti kelompok negara-negara Asia Tenggara maupun BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
"Ini menjadi memiliki alasan untuk makin bisa tumbuh dan menjadi alternatif. Meskipun, dalam hal ini tentu karena AS adalah negara paling besar di dunia, pasti yang dilakukan mereka mempengaruhi seluruh dunia juga," pungkasnya.
Rencana Penerapan Tarif Baru
Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Rabu mengungkapkan rencana penerapan tarif baru yang mencakup sektor kayu, otomotif, semikonduktor, serta farmasi dalam waktu dekat.
“Saya akan mengumumkan tarif untuk mobil, semikonduktor, chip, farmasi, obat-obatan, kayu, dan beberapa sektor lainnya dalam sebulan ke depan, atau bahkan lebih cepat,” ujar Trump dalam konferensi di Miami. Namun, ia tidak merinci lebih lanjut kebijakan tersebut. Seperti dilansir reuters di Jakarta, Kamis 20 Februari 2025.
Sejak kembali ke Gedung Putih pada 20 Januari, Trump telah mengesahkan berbagai tarif baru dan semakin gencar mengancam pengenaan bea masuk terhadap barang impor.
Tarif yang diterapkannya bervariasi, mulai dari tarif universal terhadap barang asing hingga tarif yang ditargetkan secara spesifik pada sektor industri, wilayah, atau negara tertentu guna menekan pihak lain agar tunduk pada kebijakan ekonominya.
Pendekatan Trump yang dinamis dan sering berubah membuat banyak negara serta pelaku usaha berada dalam ketidakpastian. Sejumlah ekonom dan analis memperingatkan bahwa kebijakan tarif agresif ini berisiko memicu inflasi serta memperburuk tensi perdagangan global.
Perang Dagang Global
Harga minyak dunia kembali menguat pada perdagangan Jumat pagi, 14 Februari 2025. Penguatan ini mengakhiri tren pelemahan minyak selama tiga pekan terakhir. Kenaikan ini didorong oleh meningkatnya permintaan bahan bakar serta ekspektasi rencana tarif dagang Presiden AS Donald Trump belum akan diberlakukan sampai April 2025. Masih ada waktu buat menghindari perang dagang global.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Jumat, pukul 10.00 WIB, harga minyak mentah Brent naik 19 sen ke level USD75,25 per barel (Rp1,2 juta), sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS bertambah 12 sen menjadi USD71,41 per barel (Rp1,14 juta). Sepanjang pekan ini, Brent menguat 0,7 persen, sementara WTI naik 0,5 persen.
Menurut laporan terbaru JPMorgan, permintaan minyak global saat ini melonjak ke 103,4 juta barel per hari, atau meningkat 1,4 juta barel per hari dibanding tahun lalu, Meski awalnya lesu, permintaan bahan bakar transportasi dan pemanas mulai meningkat pada pekan kedua Februari. Ini menunjukkan bahwa selisih antara konsumsi aktual dan proyeksi permintaan bakal segera menipis.
“Penggunaan bahan bakar pemanas diperkirakan naik lagi. Selain itu, lonjakan harga gas di Eropa bisa mendorong peralihan dari gas ke minyak, sehingga meningkatkan permintaan,” tulis JPMorgan dalam laporannya.
Sementara itu, Presiden AS Donald Trump pada Kamis kemarin memerintahkan pejabat ekonomi dan perdagangan untuk mengkaji tarif balasan terhadap negara-negara yang mengenakan tarif pada barang-barang AS. Hasil kajian ini diharapkan selesai sebelum 1 April 2025.
Namun, potensi kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina masih bikin para pelaku pasar waswas. Jika perang berakhir, sanksi terhadap Rusia bisa dicabut yang berarti pasokan energi global bakal bertambah.
Pekan ini, Trump juga meminta pejabat AS untuk mulai bernegosiasi soal penghentian perang di Ukraina. Ini terjadi setelah Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy menyampaikan keinginannya untuk berdamai dalam percakapan telepon terpisah dengan Trump.
Di media sosialnya, Trum berujar, “Kami ingin menghentikan jutaan kematian di perang Rusia-Ukraina,” tulis Trump di media sosialnya. Bahkan, katanya, Putin sampai mengadopsi slogan kampanyenya, “COMMON SENSE.”
Eksplorasi Mineral Ukraina
Masalahnya, meski Trump tampak antusias, Putin belum menunjukkan niat kuat untuk menyudahi perang yang ia yakini masih menguntungkan Rusia. Meskipun serangan Rusia di medan tempur lambat dan menimbulkan banyak korban, mereka tetap maju. Dari sisi Ukraina, gencatan senjata dengan kondisi saat ini berarti harus merelakan 20 persen wilayahnya jatuh ke tangan Rusia—sesuatu yang pasti sulit diterima.
Trump juga berbicara dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, membahas peluang mencapai perdamaian dan perkembangan teknologi drone Ukraina. “Ukraina lebih dari siapa pun menginginkan perdamaian,” ujar Zelensky, dikutip dari The Wall Street Journal.
Sebelumnya, Zelensky bertemu dengan Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, di Kyiv. Salah satu topik yang mereka bahas adalah potensi kerja sama dalam eksplorasi mineral Ukraina, sesuatu yang Trump ingin jadikan sebagai imbal balik atas bantuan militer AS. Bessent pun menyerahkan dokumen kemitraan keamanan dan ekonomi yang ditargetkan bakal disepakati dalam konferensi keamanan di Munich pekan ini.
Tapi ada satu hal yang bikin penasaran, Trump sama sekali tak menjelaskan peran Ukraina dalam negosiasi damai. Padahal, di era Biden, AS selalu menegaskan bahwa pembicaraan perdamaian harus melibatkan Ukraina.
Tim negosiator AS dalam urusan Ukraina akan diisi oleh Menteri Luar Negeri Marco Rubio, Direktur CIA John Ratcliffe, Penasihat Keamanan Nasional Michael Waltz, dan utusan khusus Timur Tengah Steve Witkoff—yang kebetulan bertemu Putin saat menjemput tahanan AS, Marc Fogel, di Moskow.
Putin sendiri bulan lalu menyatakan terbuka untuk berdialog dengan pemerintahan Trump soal perang ini. Menurutnya, Rusia ingin perdamaian jangka panjang yang menghormati kepentingan semua pihak di kawasan. Tapi di saat yang sama, ia tetap menegaskan operasi militernya bertujuan untuk melindungi kepentingan Rusia.
Analis komoditas di Phillip Nova, Darren Lim, mengatakan semestinya perkembangan geopolitik antara Ukraina-Rusia bisa makin menekan harga minyak. Selain itu, ancaman Trump yang ingin memberlakukan tarif balasan terhadap negara-negara yang mengenakan bea masuk pada barang impor AS turut memicu kekhawatiran perlambatan ekonomi global.
Laporan terbaru dari International Energy Agency (IEA) menyebut ekspor minyak Rusia bisa tetap berjalan jika ada celah untuk menghindari sanksi terbaru dari AS. Produksi minyak Rusia sendiri sedikit meningkat pada bulan lalu.(*)