Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Harga Batu Bara Bangkit, tapi Oversupply Masih Mengintai

Harga batu bara Newcastle naik ke USD105 per ton setelah sempat anjlok ke level terendah hampir empat tahun di USD99 pada 28 Februari

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 12 March 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Harga Batu Bara Bangkit, tapi Oversupply Masih Mengintai Sebuah truk tambang berkapasitas besar mengangkut batu bara di salah satu lokasi pertambangan di Indonesia. Foto: Dok. ESDM.

KABARBURSA.COM – Harga batu bara Newcastle kembali naik ke USD105 per ton setelah sempat terpuruk ke level terendah dalam hampir empat tahun di USD99 per ton pada 28 Februari. Menurut laporan Trading Economics yang dilihat di Jakarta, Rabu, 12 Maret 2025, lonjakan ini terjadi karena beberapa produsen mulai membatasi produksi sebagai respons terhadap kekhawatiran kelebihan pasokan yang terus membayangi pasar.

Perusahaan tambang multinasional Glencore mengungkapkan beberapa produsen batu bara Australia mempertimbangkan penutupan operasi akibat tekanan oversupply dari negara lain. Kondisi ini terutama berdampak pada batu bara termal yang diekspor melalui pelabuhan Newcastle.

Di sisi lain, China tetap berkomitmen meningkatkan produksinya sebesar 1,5 persen menjadi 4,82 miliar ton pada 2025, setelah mencetak rekor produksi pada tahun sebelumnya. Kebijakan ini bertujuan memperluas kapasitas penambangan untuk menghindari potensi krisis pasokan yang disebabkan oleh batasan emisi karbon serta penutupan tambang akibat pelanggaran keselamatan kerja.

Namun, melimpahnya stok batu bara di berbagai negara masih menjadi ancaman bagi harga. Persediaan batu bara utilitas global telah menyentuh rekor tertinggi, melonjak 12 persen dalam dua bulan hingga Oktober lalu. Di Indonesia, produksi batu bara juga mencapai rekor tertinggi 836 juta ton sepanjang 2024 atau 18 persen di atas target awal. Di saat yang sama, peningkatan investasi Indonesia dalam energi alternatif mulai mengurangi prospek permintaan batu bara domestik.

Konsumsi Batu Bara Global Diprediksi Menurun Mulai 2025


Berdasarkan laporan Commodity Markets Outlook yang diterbitkan Bank Dunia, konsumsi batu bara global diproyeksikan mulai turun pada 2025 dan terus menyusut pada 2026, setelah mengalami kenaikan moderat sebesar 1 persen dalam enam bulan pertama 2024 dibandingkan tahun sebelumnya.

Tambahan permintaan listrik di China—negara konsumen batu bara terbesar di dunia—sebagian besar telah dipenuhi oleh energi terbarukan dan tenaga air. Sementara itu, India menjadi pendorong utama kenaikan konsumsi batu bara global pada semester pertama 2024.

Sebaliknya, permintaan batu bara di Eropa mengalami penurunan, sementara di Amerika Serikat tetap stabil. Tren ini mengindikasikan transisi energi ke sumber yang lebih bersih semakin menggerus dominasi batu bara sebagai sumber energi utama.

Pada 2025, konsumsi batu bara global diperkirakan mengalami sedikit penurunan dan akan semakin menyusut pada 2026 seiring percepatan peralihan ke energi terbarukan dan gas alam dalam pembangkitan listrik. Permintaan batu bara di China diprediksi terus menurun dalam dua tahun ke depan, sementara laju pertumbuhan konsumsi di India juga mulai melambat.

Sejalan dengan penurunan permintaan, pasokan batu bara global juga diperkirakan akan menurun pada 2025 dan 2026. Pada paruh pertama 2024, produksi batu bara global sudah mengalami kontraksi, dipimpin oleh penurunan tajam sebesar 15 persen di Amerika Serikat.

Penurunan produksi di AS mencerminkan tren jangka panjang berkurangnya peran batu bara dalam pembangkitan listrik. Di China, produksi juga menurun akibat regulasi yang lebih ketat untuk mengurangi kecelakaan tambang.

Di sisi lain, India dan Indonesia justru mencatat peningkatan produksi batu bara sekitar 10 persen pada periode yang sama. Namun, ke depan, sebagian besar negara produsen utama—kecuali India—diperkirakan akan mulai mengurangi produksi batu bara pada 2025 dan 2026, seiring dengan semakin cepatnya transisi energi global.

Namun, ada sejumlah faktor yang masih dapat memengaruhi arah harga batu bara ke depan. Salah satu risiko utama terhadap proyeksi ini adalah kemungkinan permintaan batu bara China tetap meningkat pada 2025.

Sebuah laporan terbaru yang dirilis oleh Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) yang berbasis di Finlandia, bersama dengan Masyarakat Internasional untuk Studi Transisi Energi (ISETS) yang berbasis di Australia, menunjukkan lebih dari separuh pakar yang disurvei—tepatnya 52 persen—memperkirakan konsumsi batu bara di China akan mencapai puncaknya tahun ini.

Optimisme ini semakin kuat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Menurut survei, jumlah pakar yang meyakini bahwa konsumsi batu bara China telah mencapai titik tertingginya meningkat dua kali lipat pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya.

Presiden ISETS, Xunpeng Shi, menilai langkah China dalam mengurangi ketergantungan pada batu bara mulai menunjukkan hasil nyata. “Mencapai netralitas karbon dalam ekonomi yang berkembang pesat seperti China bukanlah hal yang mudah, tetapi upaya besar negara tersebut mulai membuahkan hasil,” ujarnya, dikutip dari France24.

Namun, jika China menghadapi cuaca ekstrem seperti gelombang panas atau kekeringan, permintaan batu bara bisa melonjak, mendorong harga kembali naik.

Sebaliknya, ada juga potensi tekanan turun pada harga batu bara jika pengurangan produksi yang diproyeksikan di Indonesia dan Amerika Serikat tidak terjadi sesuai rencana. Selain itu, jika pertumbuhan ekonomi China dan India—dua negara yang mengonsumsi lebih dari dua pertiga batu bara global—melemah lebih dari perkiraan, permintaan batu bara bisa turun lebih cepat yang pada akhirnya akan semakin menekan harga.(*)