Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Harga Minyak Naik, Sentimen Ekonomi AS Masih Membayangi

Minyak mentah tersandung ketidakpastian: Harga Brent diprediksi tertekan hingga 2026.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 12 March 2025 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Moh. Alpin Pulungan
Harga Minyak Naik, Sentimen Ekonomi AS Masih Membayangi Sebuah anjungan lepas pantai sedang beroperasi di tengah laut yang menjadi bagian dari industri minyak. Foto: Dok. Pertamina.

KABARBURSA.COM - Harga minyak naik tipis pada Rabu, 12 Maret 2025, ini hari WIB karena didorong oleh pelemahan dolar AS. Namun, kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi AS dan dampak tarif terhadap pertumbuhan global membatasi kenaikan tersebut.

Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, Kontrak berjangka Brent naik 28 sen atau 0,4 persen ke USD69,56 (Rp1,14 juta) per barel setelah sempat turun ke USD68,63 (Rp1,13 juta) di awal sesi. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) AS naik 22 sen atau 0,3 persen ke USD66,25 (Rp1,09 juta) per barel setelah sebelumnya mengalami tekanan.

Indeks dolar AS melemah ke level terendah dalam empat bulan, membuat harga minyak lebih murah bagi pembeli internasional.

Namun, kejatuhan saham AS yang semakin dalam ikut menekan harga minyak. Pada Senin, indeks S&P 500 mencatat penurunan harian terbesar sejak 18 Desember, sementara Nasdaq merosot 4 persen, kejatuhan satu hari terbesar sejak September 2022.

Harga minyak sempat memangkas kenaikannya setelah Presiden AS Donald Trump menginstruksikan Menteri Perdagangan untuk menambahkan tarif 25 persen lagi pada semua impor baja dan aluminium dari Kanada, sehingga total tarif pada produk tersebut naik menjadi 50 persen. “Drama semacam ini menambah volatilitas di pasar,” ujar analis senior Price Futures Group, Phil Flynn.

Kebijakan proteksionisme Trump telah mengguncang pasar global. Ia menerapkan, lalu menunda tarif bagi negara pemasok minyak utama seperti Kanada dan Meksiko, sekaligus menaikkan bea masuk bagi China, yang kemudian memicu aksi balasan dari negara tersebut. Pada akhir pekan, Trump mengisyaratkan bahwa ekonomi AS akan mengalami periode transisi dan tidak menutup kemungkinan terjadinya resesi.

Produksi Minyak AS Cetak Rekor


Di sisi suplai, Administrasi Informasi Energi AS (EIA) melaporkan produksi minyak mentah AS tahun ini diproyeksikan mencapai 13,61 juta barel per hari (bph), lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Investor kini menanti data inflasi AS yang akan dirilis hari ini untuk mencari petunjuk arah kebijakan suku bunga. Selain itu, pasar juga mencermati langkah OPEC+, yang berencana menaikkan produksi mulai April.

Analis Tamas Varga dari PVM menyebutkan jika AS melonggarkan tarifnya, kekhawatiran inflasi dan kontraksi ekonomi bisa mereda. Namun, anjloknya harga minyak belakangan ini membuat rencana OPEC+ untuk menaikkan produksi menjadi sulit direalisasikan.

Pada Jumat, Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak menyatakan OPEC+ tetap berencana menaikkan produksi pada April, tetapi kemungkinan mempertimbangkan langkah lain, termasuk mengurangi produksi jika diperlukan.

Menurut kepala tim energi di DBS Bank, Suvro Sarkar, Brent saat ini menemukan level support kuat di kisaran USD70 per barel. Ia menambahkan, OPEC+ akan fleksibel dalam menyesuaikan pasokan berdasarkan kondisi pasar. “Jika harga minyak turun di bawah USD70 per barel dalam waktu lama, kemungkinan besar rencana peningkatan produksi akan dihentikan. OPEC+ juga akan mencermati kebijakan Trump terhadap Iran dan Venezuela,” ujar Sarkar.

Sementara itu, stok minyak mentah AS naik 4,2 juta barel dalam pekan yang berakhir pada 7 Maret, menurut laporan American Petroleum Institute (API). Data resmi dari pemerintah AS terkait stok minyak akan dirilis pada Rabu, dan menjadi faktor yang turut menentukan arah harga minyak ke depan.

EIA Prediksi Harga Minyak Turun pada 2025 


EIA memperkirakan harga minyak mentah Brent akan turun dari rata-rata USD81 per barel pada 2024 menjadi USD74 per barel pada 2025 dan USD66 per barel pada 2026. Penurunan ini dipicu oleh pertumbuhan produksi minyak global yang lebih kuat dibandingkan permintaan. Hal ini memberikan tekanan ke bawah pada harga meskipun terdapat risiko geopolitik dan pembatasan produksi sukarela dari OPEC+.

Namun, proyeksi ini belum mempertimbangkan sanksi tambahan AS terhadap sektor minyak Rusia yang diumumkan pada 10 Januari 2025. Sanksi tersebut berpotensi memangkas ekspor minyak Rusia ke pasar global yang dapat mengubah keseimbangan pasokan dan harga.

EIA memperkirakan harga minyak akan turun lebih lanjut menjadi USD66 per barel pada 2026, terutama karena pertumbuhan produksi dari negara-negara di luar OPEC+ serta laju permintaan yang lebih lambat dibandingkan rata-rata sebelum pandemi. Dengan produksi yang melampaui konsumsi, stok minyak global diprediksi akan meningkat.

Grafik dari Badan Informasi Energi AS (EIA) menunjukkan tren produksi dan konsumsi minyak dunia, perubahan stok minyak, serta proyeksi harga minyak mentah Brent hingga akhir 2026.

Meski begitu, OPEC+ kemungkinan akan tetap membatasi produksi pada 2025 dan 2026 untuk mencegah penurunan harga yang lebih tajam. Di sisi lain, harga yang lebih rendah juga akan mengurangi aktivitas pengeboran dan investasi dalam produksi minyak AS. Produksi ini diperkirakan hanya akan mengalami sedikit peningkatan pada 2026.

Ketidakpastian Pasar Bisa Mengubah Proyeksi Harga Minyak


EIA menyatakan ketidakpastian tetap tinggi dalam semua aspek pasokan dan permintaan minyak sehingga perbedaan kecil dari proyeksi saat ini bisa berdampak besar pada harga.
Beberapa faktor utama yang bisa memengaruhi harga minyak:

  • Kebijakan OPEC+: Jika OPEC+ memutuskan untuk tidak lagi membatasi produksi, mereka bisa kehilangan pangsa pasar lebih lanjut ke negara-negara di luar kelompok tersebut.
  • Produksi minyak AS: Pasokan minyak dan cairan lainnya dari AS sangat sensitif terhadap pergerakan harga. Jika harga berubah lebih besar dari perkiraan, produksi minyak AS bisa naik atau turun lebih tajam.
  • Permintaan global: Proyeksi saat ini memperkirakan pertumbuhan konsumsi minyak yang relatif lambat. Namun, jika pertumbuhan ekonomi global meningkat atau terjadi perubahan struktural besar, permintaan minyak bisa melonjak lebih tinggi dari ekspektasi.


Pada 2023 dan 2024, produksi minyak dari negara-negara di luar OPEC+ meningkat cukup signifikan untuk mengimbangi pertumbuhan konsumsi minyak global, meskipun OPEC+ memangkas produksinya.

Sepanjang 2024, anggota OPEC+ diperkirakan telah memangkas produksi sebesar 1,3 juta barel per hari (bph), sementara produksi dari negara-negara di luar kelompok tersebut naik 1,8 juta bph. Tren ini diprediksi berlanjut pada 2025 sebelum mulai melambat pada 2026 seiring dengan pemulihan produksi OPEC+.

Grafik dari Badan Informasi Energi AS (EIA) ini menunjukkan pertumbuhan produksi bahan bakar cair global dalam juta barel per hari.

Pertumbuhan produksi minyak global dalam dua tahun terakhir dipimpin oleh Amerika Utara dan Selatan, terutama Amerika Serikat, Kanada, Guyana, dan Brasil. Keempat negara ini secara kolektif meningkatkan produksi cairan minyak mereka sebesar 1,1 juta bph pada 2024, dan diperkirakan akan menambah produksi 1 juta bph pada 2025 serta 0,9 juta bph pada 2026.

Namun, masih ada ketidakpastian apakah negara-negara ini bisa mempertahankan laju pertumbuhan produksi tinggi dalam dua tahun ke depan, mengingat potensi hambatan kapasitas ekspor serta kemungkinan keterlambatan proyek eksplorasi baru.(*)