KABARBURSA.COM - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah bersiap melakukan penyesuaian tarif royalti untuk enam komoditas mineral dan batu bara. Langkah ini merupakan bagian dari revisi Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2022 dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2022, yang bertujuan meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sekaligus memperbaiki tata kelola sektor pertambangan.
Penyesuaian tarif ini dilakukan tanpa niat untuk memberatkan industri, melainkan sebagai upaya agar sektor pertambangan tetap berkelanjutan dan berkontribusi lebih besar bagi kesejahteraan nasional.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno, dalam Konsultasi Publik Rancangan Revisi PP 26 Tahun 2022 dan PP 15 Tahun 2022 menegaskan bahwa revisi ini merupakan bagian dari strategi pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara. Dengan penyesuaian tarif royalti, pemerintah berharap industri pertambangan dapat lebih berpartisipasi dalam mendukung kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Berikut ini penyesuaian tarif royalti terhadap enam komoditas utama, yaitu batu bara, nikel, tembaga, emas, perak, dan logam timah:
Namun, di sisi lain, terdapat kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap daya saing industri, terutama bagi perusahaan yang masih dalam tahap pengembangan. Meskipun demikian, pemerintah meyakini bahwa kebijakan ini tidak akan menghambat pertumbuhan sektor pertambangan, tetapi justru akan menciptakan ekosistem yang lebih adil dan berkelanjutan.
Seperti halnya yang disampaikan Investment Analyst Stocbit Hendriko Gani. Dalam risetnya Hendriko mengatakan bahwa dampak dari kebijakan ini berpotensi signifikan bagi para pelaku industri.
Emiten batu bara dengan izin IUP seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan dengan kontrak PKP2B seperti PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) diperkirakan akan menghadapi tekanan terhadap profitabilitas mereka akibat kenaikan tarif royalti.
Pengaruh Terhadap EBITDA PTBA dan ITMG
Penyesuaian tarif royalti ini sepertinya akan membawa dampak signifikan terhadap Earnings Before Interest, Taxes, and Depreciation & Amortization atau EBITDA PTBA dan ITMG.
Saat ini, PTBA mencatat kinerja keuangan yang solid, dengan EBITDA dalam 12 bulan terakhir (TTM) mencapai Rp8,750 miliar. EBITDA ini terbilang kuat dan mencerminkan profitabilitas operasional yang tinggi dan efisiensi dalam pengelolaan biaya produksi.
Dengan pendapatan sebesar Rp41,407 miliar dan laba bersih Rp5,557 miliar, PTBA menunjukkan kemampuan mempertahankan margin keuntungan yang sehat di tengah dinamika industri batu bara.
Dari sisi valuasi, rasio EV to EBITDA yang berada di angka 3,00 menunjukkan bahwa perusahaan diperdagangkan dengan valuasi menarik dibandingkan potensi arus kas operasionalnya. Ini mengindikasikan bahwa PTBA memiliki fundamental yang cukup kuat dengan harga saham yang relatif undervalued dibandingkan kinerja keuangannya.
Selain itu, rasio Price to Book Value (PBV) sebesar 1,43 juga memperlihatkan bahwa harga sahamnya tidak jauh dari nilai bukunya, yang bisa menjadi pertimbangan menarik bagi investor mencari saham berfundamental baik dengan valuasi wajar.
Rasio Price to Earnings (PE) TTM yang hanya 5,18 lebih rendah dibandingkan median IHSG sebesar 7,65, yang semakin menguatkan indikasi bahwa saham PTBA masih memiliki ruang apresiasi.
Di sisi lain, Earnings Yield yang mencapai 19,29 persen menunjukkan potensi imbal hasil yang menarik bagi investor.
Begitu pula dengan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), mencatatkan kinerja keuangan yang solid dengan EBITDA sebesar Rp7,781 miliar dalam 12 bulan terakhir. Meskipun total pendapatan perusahaan mencapai Rp37,234 miliar, angka EBITDA yang kuat menunjukkan efisiensi operasional yang tinggi dan kemampuan perusahaan dalam mengelola biaya.
Dengan rasio EV/EBITDA hanya 1,00, valuasi ITMG terlihat sangat menarik, mencerminkan bahwa nilai perusahaan saat ini relatif rendah dibandingkan dengan potensi arus kas operasionalnya.
Selain itu, rasio Price to Book Value (PBV) sebesar 0,84 mengindikasikan bahwa saham ITMG diperdagangkan di bawah nilai bukunya, yang bisa menjadi peluang bagi investor yang mencari valuasi menarik.
Dengan rasio Price to Cashflow yang hanya 3,58 dan Price to Free Cashflow 4,46, perusahaan menunjukkan likuiditas yang kuat dan kemampuan menghasilkan arus kas yang stabil. Sementara itu, rasio laba terhadap harga (Earnings Yield) yang mencapai 23,13 persen mencerminkan potensi keuntungan yang tinggi bagi pemegang saham.
Dari catatan di atas, penyesuaian tarif royalti dalam UU Minerba yang meningkatkan beban pembayaran bagi perusahaan batu bara seperti ITMG dan PTBA berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap EBITDA kedua emiten ini pada tahun ini.
Dengan kenaikan tarif royalti untuk pemegang IUPK menjadi 14-28 persen dan batas maksimal 13,5 persen bagi pemegang IUP biasa, ada tekanan tambahan terhadap profitabilitas yang dapat mengurangi margin operasional.
1. ITMG
ITMG mencatat EBITDA sebesar Rp7,781 miliar dengan total pendapatan Rp37,234 miliar dan menghasilkan margin EBITDA sekitar 20,9 persen. Dengan tarif royalti yang lebih tinggi, biaya produksi akan meningkat, dan tentu saja mengurangi margin EBITDA perusahaan.
ITMG yang beroperasi dengan model bisnis ekspor akan merasakan dampak yang lebih besar jika harga batu bara global mengalami koreksi atau tidak mengalami pertumbuhan signifikan. Namun, efisiensi operasional dan rasio EV/EBITDA yang rendah menunjukkan bahwa perusahaan masih memiliki ruang untuk menjaga profitabilitas dengan strategi pengelolaan biaya yang ketat.
2. PTBA
PTBA mencatat EBITDA yang lebih besar, yaitu Rp8,750 miliar, dari pendapatan Rp41,407 miliar, dengan margin EBITDA 21,1 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan ITMG. Sebagai perusahaan dengan fokus besar pada pasar domestik dan pemasok utama PLN, PTBA mungkin memiliki fleksibilitas harga yang lebih terbatas dibandingkan ITMG yang lebih terdiversifikasi secara geografis.
Dengan kenaikan royalti, beban biaya produksi PTBA akan meningkat, sehingga menekan EBITDA, terutama jika harga batu bara domestik tidak mengalami kenaikan yang cukup untuk menutupi tambahan biaya. Namun, PTBA memiliki keuntungan dari cadangan batu bara yang besar serta dukungan dari pemerintah dalam aspek pasokan energi nasional, yang bisa memberikan stabilitas tambahan bagi arus kasnya.
Secara keseluruhan, meskipun kenaikan tarif royalti akan membebani EBITDA ITMG dan PTBA, dampaknya akan sangat bergantung pada pergerakan harga batu bara tahun ini.
Jika harga tetap kuat atau meningkat, maka dampak negatif terhadap EBITDA dapat diminimalisir. Namun, jika harga mengalami koreksi, maka margin laba akan tertekan lebih dalam, terutama bagi perusahaan yang tidak memiliki efisiensi biaya yang baik.
Strategi Hindari Tekanan
Agar tidak semakin tertekan oleh penyesuaian tarif ini, PT Bukit Asam Tbk menunjukkan performa yang impresif dalam industri batu bara dengan mencatatkan rekor produksi dan penjualan pada 2024.
Dengan strategi yang matang dan optimalisasi pasar, perusahaan ini berhasil mencatatkan total penjualan sebesar 42,9 juta ton, tumbuh 16 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ekspansi pasar menjadi salah satu kunci keberhasilan PTBA, terutama dengan peningkatan ekspor yang signifikan.
Sepanjang 2024, ekspor batu bara PTBA mencapai 20,3 juta ton, mengalami lonjakan 30 persen secara tahunan. Kinerja ekspor ini turut menopang rekor penjualan perusahaan.
Di sisi lain, kewajiban pemenuhan pasar domestik atau Domestic Market Obligation (DMO) juga tetap terjaga dengan realisasi sebesar 22,6 juta ton, meningkat 6 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dengan komposisi penjualan yang semakin seimbang, porsi ekspor kini telah mencapai 47 persen dari total penjualan, sementara pasar domestik masih mendominasi dengan porsi 53 persen.
India menjadi salah satu tujuan ekspor utama PTBA, dengan peningkatan volume sebesar 32 persen menjadi 6,4 juta ton. Selain itu, ekspansi ke negara-negara Asia Tenggara juga memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan perusahaan. Ekspor ke Vietnam mengalami lonjakan luar biasa hingga 250 persen, mencapai 3 juta ton.
Thailand dan Malaysia juga menunjukkan pertumbuhan ekspor yang signifikan, masing-masing meningkat 153 persen dan 221 persen dengan volume ekspor sebesar 1,6 juta ton dan 888.700 ton.
Selain pencapaian penjualan yang mengesankan, PTBA juga berhasil mencetak rekor produksi sepanjang 2024. Total produksi batu bara mencapai 43,3 juta ton, sementara volume angkutan batu bara mencapai 38,2 juta ton.
Peningkatan kapasitas produksi dan logistik ini menjadi bagian dari strategi perusahaan dalam memastikan kelancaran distribusi serta memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat.
Menghadapi 2025, PTBA menargetkan peningkatan produksi yang lebih agresif dengan rencana produksi batu bara sebesar 50 juta ton, naik 16,55 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Sejalan dengan itu, target penjualan pun turut meningkat menjadi 50,1 juta ton, dengan angkutan yang ditargetkan mencapai 43,2 juta ton. Perusahaan melihat peluang besar dalam industri batu bara global, sehingga perencanaan bisnis disusun dengan mempertimbangkan dinamika pasar serta faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan.
Dengan strategi ekspansi yang terus diperkuat dan rekam jejak operasional yang semakin solid, PTBA berada dalam posisi yang kuat untuk terus tumbuh dan berkontribusi terhadap ketahanan energi nasional.
Melalui pencapaian yang konsisten dan peningkatan kapasitas produksi, PTBA berkomitmen untuk mendukung visi pemerintah dalam mewujudkan swasembada energi yang berkelanjutan.
Dengan fondasi bisnis yang kokoh serta optimisme terhadap prospek industri batu bara, PTBA siap melangkah lebih jauh dalam menghadirkan "Energi Tanpa Henti" bagi Indonesia dan pasar global.
Target Produksi Konservatif ITMG
Berbeda halnya dengan PTBA, PT Indo Tambangraya Megah Tbk justru mencatatkan penurunan laba bersih pada kuartal IV 2024 sebesar USD101,1 juta. Angka ini mengalami penurunan 30,1 persen dibandingkan kuartal sebelumnya dan 7,8 persen secara tahunan.
Penurunan laba ini dipengaruhi oleh melemahnya harga jual rata-rata (ASP) batu bara sebesar 4,1 persen serta meningkatnya strip ratio menjadi 9,7x dibandingkan kuartal III yang berada di angka 9,3x.
Meskipun laba bersih sepanjang tahun 2024 mengalami penurunan 25,2 persen menjadi USD374,1 juta, pencapaian ini tetap melampaui ekspektasi analis dengan realisasi sebesar 108 persen dari proyeksi.
Pendapatan ITMG selama tahun 2024 mencapai USD2,3 miliar, yang sesuai dengan ekspektasi dan didorong oleh peningkatan volume penjualan. Namun, lonjakan beban operasional hingga 288,3 persen memberikan tekanan pada margin laba perusahaan.
Menghadapi tahun 2025, ITMG menetapkan target produksi yang lebih konservatif di kisaran 20,8–21,9 juta ton, sejalan dengan perkiraan para analis. Perusahaan berencana untuk lebih fokus pada efisiensi biaya guna mengantisipasi volatilitas harga batu bara yang masih berlanjut. Selain itu, strip ratio diperkirakan berada di kisaran 10–11x, mendekati proyeksi sebesar 10,5x.
Dalam aspek keuangan, ITMG masih memiliki posisi kas yang kuat sebesar USD990 juta, yang akan digunakan untuk dividen, ekspansi cadangan batu bara, serta modal kerja. Perusahaan juga telah menyiapkan belanja modal (capex) sebesar USD50–65 juta yang akan difokuskan pada pemeliharaan infrastruktur dan ekspansi kapasitas pelabuhan.
Dengan strategi ini, ITMG berharap dapat menjaga daya saing dan stabilitas keuangan di tengah tantangan yang ada di industri batu bara global.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.