Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Kapan IHSG Bisa Bullish? ini Penjelasannya

Penguatan IHSG bisa terjadi jika ada konsolidasi.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 11 March 2025 | Penulis: Hutama Prayoga | Editor: Yunila Wati
Kapan IHSG Bisa Bullish? ini Penjelasannya Ilustrasi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji

KABARBURSA.COM - Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG terus menjadi sorotan. Semenjak menyentuh puncak terakhirnya (recent peak) pada pertengahan September 2024, IHSG berada dalam tren bearish.

Pada sesi pertama 5 Maret 2025, penurunan IHSG mencapai -17,3 persen. Pada titik terendahnya (bottom) di akhir Februari 2025, IHSG terguncang hingga -21 persen. Meskipun kemudian pada pekan-pekan ini menunjukkan sedikit pemulihan dengan naik +4,7 persen dan bottom per penutupan sesi pertama 6 Maret 2025.

Mengomentari ini, CEO Akela Trading System Hary Suwanda, memberi gambaran beberapa kondisi jika ingin IHSG kembali bullish atau mengalami kenaikan. Menurut dia, tren penguatan IHSG bisa terjadi jika ada konsolidasi. Dan, pada penutupan perdagangan Senin, 10 Maret 2025, IHSG kembali mengalami penurunan sebesar 0,57 persen ke level 6.598.

Dalam hal ini, ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan yakni perubahan fundamental dan data makro ekonomi yang negatif sudah priced in (ekspektasi pasar sudah tercermin). 

"Semua data ekonomi makro yang negatif ini sudah priced in dan tidak ada berita negatif susulan. Berarti pasar sudah sangat under value,  sehingga mereka tinggal menunggu selanjutnya seperti apa," jelasnya dalam acara Bursa Pagi-pagi, Selasa, 11 Maret 2025.

Terkait penundaan transaksi short selling oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beberapa waktu lalu, yang bertujuan menjaga stabilitas pasar modal Indonesia di tengah IHSG yang menurun, Hary menganggapnya tidak serta merta bisa meredam penurunan IHSG dalam waktu dekat. Justru, salah satu pendorong yang bisa membuat IHSG bullish adalah perbaikan data ekonomi makro. 

"Kenapa? Karena penyebab utamanya belum kelar. Jadi, tidak ada perubahan fundamental yang signifikan," ujarnya. 

Analis yang juga profesional trader and investor US Stock Market & Derivatives Trainer ini memperkirakan IHSG akan terus mengalami penurunan hingga akhir kuartal I 2025 mendatang jika tidak ada perbaikan yang dimaksudnya. 

Hal ini dibuktikan pada pembukaan perdagangan Selasa pagi, 11 Maret 2025. Posisi IHSG kembali dibuka melemah sebesar 91,15 poin atau turun 1,38 persen ke level 6.507,06. Total volume transaksi mencapai 8,87 juta lot dengan nilai perdagangan sebesar Rp430,30 miliar dari 30.220 transaksi. 

Saham Reliance Sekuritas Indonesia Tbk atau dalam kode saham RELI memimpin daftar top gainers setelah melonjak 24,86 persen ke level Rp442 per saham. 

Di posisi kedua, saham PT Sinar Terang Mandiri Tbk atau dalam kode saham MINE yang baru melantai di Bursa Efek Indonesia mencatatkan kenaikan signifikan sebesar 24,44 persen ke level Rp336 per saham. Sebagai informasi, saham MINE menetapkan harga IPO di Rp216 per saham, sehingga secara kumulatif telah mengalami kenaikan sebesar 55,56 persen sejak pencatatan perdananya. 

Sementara itu, saham Aesler Grup Internasional Tbk atau dalam kode saham RONY yang bergerak di sektor arsitektur juga mencatatkan penguatan signifikan, naik 20,00 persen ke level Rp1.980 per saham. 

Saham Jakarta Setiabudi Internasional Tbk atau dalam kode saham JSPT yang beroperasi di sektor properti turut mengalami kenaikan kuat, menguat 12,30 persen ke level Rp17.800 per saham. 

Terakhir, saham Sanurhasta Mitra Tbk atau dalam kode saham MINA yang bergerak di sektor properti naik 11,11 persen ke level Rp210 per saham. 

IHSG Siang Semakin Anjlok

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan pada sesi perdagangan pagi ini, turun sebesar 0,91 persen ke level 6.538,6. Penurunan ini disebabkan oleh aksi jual di saham-saham berkapitalisasi besar setelah bank investasi global Goldman Sachs menurunkan peringkat aset keuangan Indonesia dari overweight menjadi market weight. 

Keputusan tersebut menyoroti peningkatan risiko fiskal akibat kebijakan ekonomi Presiden Prabowo, yang memicu kekhawatiran investor mengenai keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Di sisi lain, pelemahan indeks di bursa saham Wall Street semakin memperburuk sentimen di pasar domestik. Investor global saat ini tengah menghadapi ketidakpastian terkait kebijakan tarif serta meningkatnya risiko resesi di Amerika Serikat, yang turut menyeret pasar Asia-Pasifik ke zona merah.

Dari dalam negeri, seluruh sektor mengalami koreksi, dengan sektor bahan baku dasar, non-siklus konsumen, dan siklikal konsumen menjadi yang paling terpuruk. Saham-saham di sektor konsumen mengalami tekanan akibat melemahnya kepercayaan konsumen Indonesia, yang turun ke level 126,4 pada Februari dari 127,2 di Januari. 

Penurunan ini mencerminkan berkurangnya daya beli masyarakat serta penyusutan kelas menengah, yang memberikan dampak negatif terhadap emiten konsumer seperti Indofood CBP (-1,65 persen), Mayora Indah (-1,35 persen), Unilever Indonesia (-0,84 persen), dan Indofood Sukses Makmur (-2,98 persen).

Selain sektor konsumen, saham batu bara juga mengalami pelemahan setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan rencana penyesuaian tarif royalti untuk komoditas mineral dan batu bara. 

Investor bereaksi negatif terhadap kebijakan ini, yang tercermin dari penurunan harga saham Adaro Energy (-3,91 persen), Adaro Minerals (-3,74 persen), Indo Tambangraya Megah (-2,83 persen), dan Bukit Asam (-0,39 persen).

Top Movers: DCII Melonjak, GOTO Terpuruk

Meskipun mayoritas saham mengalami tekanan, beberapa saham tetap mampu mencatatkan kenaikan signifikan. Saham PT DCI Indonesia Tbk (DCII), perusahaan pusat data, menjadi top gainer dengan lonjakan harga sebesar 9,44 persen. Sementara itu, saham perbankan seperti Bank Mandiri (BMRI) dan Bank Central Asia (BBCA) berhasil menguat masing-masing sebesar 1,06 persen dan 0,56 persen.

Di sisi lain, saham teknologi dan petrokimia mengalami pelemahan. PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) memimpin daftar top laggards dengan penurunan 4,70 persen, diikuti oleh Chandra Asri Petrochemical (TPIA) yang terkoreksi 3,13 persen, dan Barito Renewables Energy (BREN) yang melemah 2,00 persen.

Sentimen yang Berpotensi Mempengaruhi IHSG Pekan ini

Di lain sisi, analis Stocknow.id Abdul Haq Al Faruqy, menilai ada beberapa sentimen yang bisa mempengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada pekan ini, 10-14 Maret 2025.

Abdul melihat IHSG akan bergerak menguat secara terbatas dengan menguji level resistance classic di level 6.798 dan support di 6.380. Penguatan Indeks bisa saja dipengaruhi oleh kombinasi sentimen domestik dan global. 

"Dari sisi eksternal, pasar akan mencermati rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) pada 12 Maret 2025" ujar dia kepada KabarBursa.com di Jakarta, Senin, 10 Maret 2025.

Abdul menjelaskan, jika inflasi AS mengalami penurunan ke level 2,9 persen year-on-year sesuai ekspektasi, hal ini bisa memperkuat spekulasi bahwa Federal Reserve akan lebih dovish dalam kebijakan suku bunganya. Dampaknya, arus modal asing bisa kembali masuk ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga memberikan dorongan positif bagi IHSG.

Sementara itu, dari dalam negeri, Abdul membeberkan stabilitas nilai tukar rupiah dan kebijakan Bank Indonesia dalam mempertahankan suku bunga akan menjadi faktor penentu. 

"Jika rupiah tetap stabil terhadap dolar AS, maka investor domestik dan asing akan lebih percaya diri dalam berinvestasi di pasar saham Indonesia," katanya. 

Selain itu, menurut dia, rilis data ekonomi seperti neraca perdagangan dan pertumbuhan kredit juga dapat memberikan gambaran lebih lanjut mengenai prospek ekonomi nasional.(*)