KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) memutuskan untuk menunda aktivitas short selling di tengah anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Langkah ini dianggap sebagai upaya menstabilkan pasar.
Analis IHSG Harry Suwanda, menganggap penghentian short selling merupakan solusi instan yang efeknya semu dan bisa berdampak kontraproduktif dalam jangka panjang. Harry menganalogikan langkah yang kini dilakukan oleh BEI hanya seperti mengobati orang sakit demam berdarah dikasih obat turun panas.
"Menghentikan short selling itu seperti orang sakit demam berdarah dikasih obat turun panas. Hanya berupaya meredam gejalanya saja tanpa menyelesaikan sumber penyakitnya," kata Harry kepada Kabar Bursa, Senin, 10 Maret 2025.
Menurut dia, langkah yang sebaiknya dilakukan jika ingin memperkuat IHSG adalah memperbaiki fundamental ekonomi, menjaga stabilitas makro, serta meningkatkan transparansi dan tata kelola di pasar modal.
“Kalau mau memperkuat IHSG, fokus utama sebaiknya pada memperbaiki fundamental ekonomi, menjaga stabilitas makro, dan meningkatkan transparansi serta governance di pasar modal. Bukan sekadar menutup satu keran aktivitas pasar,” kata dia.
Dirinya beralasan, keputusan menghentikan short selling tidak akan berdampak signifikan terhadap pergerakan indeks, karena bukan aktivitas itu yang menjadi penyebab utama pelemahan IHSG.
"Tidak, karena bukan kebijakan short selling yang menyebabkan penurunan IHSG," ujar dia.
Lebih lanjut ia menjelaskan, kontribusi short selling terhadap pelemahan IHSG relatif kecil karena aktivitas ini di BEI sendiri sangat terbatas. Menurut Harry, faktor yang jauh lebih dominan dalam pelemahan IHSG saat ini adalah arus keluar dana asing (foreign outflow) yang signifikan.
"Kalau asing jual besar-besaran, dampaknya ke IHSG jauh lebih signifikan," ungkapnya.
Selain itu, kondisi global seperti ketidakpastian suku bunga The Fed, perlambatan ekonomi China, dan ketegangan geopolitik juga turut mempengaruhi pergerakan pasar modal. Di sisi domestik, stabilitas nilai tukar rupiah dan arah kebijakan fiskal serta politik pasca pemilu menjadi faktor yang harus diperhatikan.
Lebih lanjut, Harry memperingatkan bahwa penundaan short selling justru berpotensi menciptakan distorsi pasar.
"Tanpa short selling, harga saham yang fundamentalnya lemah bisa saja dipertahankan secara artifisial, menciptakan bubble kecil," jelasnya.
Langkah ini bisa membuat pasar Indonesia kurang menarik bagi investor institusi atau hedge funds yang biasa menggunakan strategi long-short karena berkurangnya instrumen pengelolaan risiko.
"Lebih berbahaya lagi, kepercayaan investor asing bisa terkikis karena regulasi dianggap tidak konsisten atau terlalu reaktif. Ini bisa memperburuk aliran dana jangka panjang ke pasar modal Indonesia," terangnya.
Dampak Ganda Penundaan Short Selling
Sementara, Head Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi melihat kebijakan tersebut memiliki dampak ganda terhadap pasar. Menurutnya, tanpa short selling, tekanan jual yang berlebihan bisa diredam, sehingga mengurangi gejolak pasar yang sedang terjadi. Namun, ia juga menyoroti dampak negatif dari penundaan ini terhadap likuiditas pasar.
“Kami berpandangan penundaan short selling dapat mengurangi tekanan yang sedang berlangsung dan membantu meredam volatilitas dalam jangka pendek. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga berdampak pada likuiditas yang kemungkinan tidak akan mencapai target sebelumnya,” ujarnya kepada Kabar Bursa, Senin 10 Maret 2025.
Oktavianus menambahkan bahwa langkah ini bukan hal baru di pasar modal. Beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Eropa pernah melarang short selling selama krisis keuangan 2008 sebagai upaya menstabilkan pasar. "Lalu di China 2015, dengan melarang short selling atas respon crash-nya pasar saham. Sehingga memang penundaan short selling berdampak meredam volatilitas dalam jangka pendek," tambahnya.
Namun, meskipun short selling dapat memberikan tekanan di pasar, Oktavianus menilai bahwa mekanisme ini tetap diperlukan dalam kondisi yang lebih stabil.
"Short selling tetap diperlukan untuk mengurangi distorsi harga, karena harga dapat menjadi overvalue karena hanya ada tekanan beli. Selain itu, short selling juga dapat menghambat hedging, karena saat pasar turun, para fund terkadang membutuhkan short selling untuk melindungi dari risiko penurunan harga," ujarnya.
Di sisi lain, Oktavianus menyoroti sejumlah sentimen pasar yang masih cenderung negatif dan mempengaruhi IHSG. Salah satunya adalah kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump yang tetap berjalan sesuai rencana, termasuk terhadap China.
"Potensi paket stimulus China seiring dengan tekanan dari AS, kami melihat ini akan mendorong terjadinya inflow ke China," katanya.
Selain itu, tekanan asing masih berlanjut, terutama terhadap emiten perbankan. Pemangkasan rating saham Indonesia menjadi underweight oleh Morgan Stanley juga dinilai berdampak pada kepercayaan investor asing, meskipun JP Morgan menaikkan rating beberapa saham perbankan.
Faktor lain yang turut membebani pasar adalah fluktuasi nilai rupiah yang terus terdepresiasi terhadap dolar AS, yang pada akhirnya mendorong ketidakstabilan dalam negeri. Oktavianus juga menyoroti kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait Harga Batubara Acuan (HBA) yang dijadikan patokan harga ekspor batubara.
"Kami berpandangan ini memperberat ekspor, karena saat ini terdapat selisih HBA dengan kontrak batubara global. Kekhawatiran adalah saat China mulai mengalihkan impor dari negara lain yang lebih efisien dari harga," ungkapnya.
Penundaan Short Selling Hanya Salah Satu Solusi
Lebih lanjut, Head Riset Kiwoom Liza Camelia Suryanata menilai keputusan otoritas bursa ini sebagai langkah tepat, karena dapat mengurangi salah satu faktor tekanan jual yang berisiko membuat IHSG semakin terpuruk.
“Dengan demikian, setidaknya menghilangkan satu potensi tekanan jual di market yang bisa membuat IHSG tambah longsor,” katanya kepada Kabar Bursa, Senin, 10 Maret 2025.
Untuk diketahui, IHSG sempat mengalami koreksi sebesar 6,3 persen secara year-to-date (YTD), dengan arus keluar dana asing mencapai Rp19,33 triliun, bahkan sempat menyentuh Rp22 triliun dalam beberapa hari terakhir.
“Foreign outflow pun masih tinggi di IDR 19,33 triliun, bahkan sempat mencapai IDR 22 triliun beberapa hari yang lalu,” tambah Liza.
Meski demikian, para pelaku pasar menilai bahwa daripada sekadar menunda short selling, lebih baik otoritas bursa berfokus menciptakan iklim pasar modal yang lebih kondusif dan terstruktur. Menurut mereka, pemerintah juga perlu lebih peduli terhadap posisi IHSG sebagai representasi kesehatan perusahaan-perusahaan nasional di pasar modal.
Sebagai perbandingan, pada September 2024, pemerintah China telah menggelontorkan paket stimulus senilai CNY 800 miliar untuk mendukung likuiditas pasar saham di sana. Dari jumlah tersebut, CNY 500 miliar dialokasikan untuk pembiayaan fasilitas swap bagi broker dan fund manager, sementara CNY 300 miliar digunakan untuk fasilitas refinancing bagi perusahaan dan pemegang saham yang ingin melakukan buyback. Pihak regulator China bahkan mempelajari skema pendanaan untuk menstabilkan harga saham.
Dalam konteks Indonesia, Liza menekankan bahwa implementasi short selling sebaiknya dilakukan ketika kondisi pasar sudah lebih stabil dan arus modal asing mulai kembali positif. Selain itu, sosialisasi mengenai mekanisme short selling juga perlu diperkuat agar para pelaku pasar, baik anggota bursa maupun investor, lebih siap menghadapi kebijakan tersebut.
“Pasar modal seyogyanya ingin dikenal sebagai pasar keuangan yang sehat, dan bukan merupakan ‘meja judi’,” tegasnya.(*)