Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Pandangan Dasar Sebelum Menjadi Trader Saham

Hal yang pertama harus dilakukan investor saham adalah mempelajari value perusahaan itu sebelum memutuskan untuk berinvestasi.

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 09 March 2025 | Penulis: Desty Luthfiani | Editor: Pramirvan Datu
Pandangan Dasar Sebelum Menjadi Trader Saham Hall Bursa Efek Indonesia di Bilangan SCBD, Jakarta Selatan. Foto: KabarBursa/Abbas

KABARBURSA.COM - Memutuskan untuk berinvestasi di pasar modal sering kali membutuhkan waktu dan pertimbangan panjang. Terutama bagi investor pemula. Banyak yang kebingungan langkah apa yang harus dilakukan sebelum membeli saham agar bisa mendapatkan keuntungan maksimal. 

Salah satu kesalahan umum investor pemula adalah membeli saham hanya berdasarkan rekomendasi orang lain, mengikuti tren di media, atau sekadar memilih perusahaan terkenal. Bahkan, ada yang terjebak dalam keputusan emosional, seperti menjual saham tanpa perhitungan yang matang.  

Padahal, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahami nilai saham itu sendiri, bukan hanya melihat harga pasar. Dikutip dari buku buku Value Investing Beat The Market in Five Minutes. Investor legendaris Warren Buffett pernah mengajarkan dua aturan utama dalam investasi: pertama, jangan pernah kehilangan uang; kedua, jangan pernah melupakan aturan pertama. Buffett menekankan bahwa investasi bukan sekadar mencari keuntungan besar, tetapi juga meminimalkan risiko kehilangan modal.

Dijelaskan dalam buku itu, Buffet menekankan pentingnya efisiensi dalam investasi, bukan bagaimana agar memperoleh keuntungan besar dari investasi saham. Melainkan, bagaimana sebisa mungkin tidak kehilangan uang dalam berinvestasi.

Investor harus memahami perbedaan antara harga saham dan nilai intrinsik saham. Sebagai ilustrasi, jika sebuah barang memiliki harga pasaran Rp250 juta, tetapi dijual Rp150 juta karena pemiliknya butuh uang cepat, maka pembeli yang memahami nilainya akan langsung mengambil kesempatan tersebut. Dalam saham, prinsip ini dikenal sebagai value investing, yaitu membeli saham di bawah nilai wajarnya dan menahannya hingga mencapai harga yang seharusnya.  

Ia memanfaatkan keuntungan dengan cara, barang itu dijual lagi dengan harga pasaran. Walhasil, ia mendapatkan keuntungan Rp100 juta dan bisa membeli barang serupa dengan harga Rp150 juta.

Lalu bagaimana, jika diimplementasikan pada perdagangan saham. Buffet mengajarkan untuk membeli saham pada harga yang lebih rendah dari seharusnya.

Misal saham emiten X memiliki harga seharusnya Rp2.000. Namun, di pasar saham harganya Rp500. Maka itu momen yang pas untuk melakukan pembelian. Kemudian tidak buru-buru menjualnya.

Bagaimana cara melihat nilai saham dalam suatu perusahaan ?

Cara mencari nilai yakni yang jelas membaca laporan keuangan perusahaan yang bisa di akses di keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI). Investor hanya dengan memasukkan kata kunci kode saham perusahaan yang diincar semua informasi sudah ada di sana. 

Beberapa aspek fundamental yang perlu diperhatikan antara lain pendapatan perusahaan dari tahun ke tahun, beban utang dan piutang, laba bersih, serta margin keuntungan. Setelah memahami laporan keuangan, investor dapat menggunakan beberapa rasio valuasi untuk menentukan apakah harga saham tersebut masih murah (undervalued) atau sudah terlalu mahal (overvalued).  

Dilansir dari laman Stockbit. Salah satu indikator valuasi yang wajib dipahami adalah price to book value (PBV), yang membandingkan harga saham dengan nilai buku per lembar saham. 

Rumus PBV adalah harga saham dibagi nilai buku per saham. 

PBV = harga saham / nilai buku per saham (book value per share).

Untuk menghitung nilai buku per saham, investor perlu membagi total ekuitas perusahaan dengan jumlah saham beredar. 

Sebagai contoh, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) memiliki ekuitas sebesar Rp197,815 triliun dan jumlah saham beredar 123,28 miliar lembar. Maka nilai buku per sahamnya adalah Rp1.604, dan dengan harga saham saat ini Rp7.700, maka PBV BBCA adalah 4,8. 

Investor yang mencari saham undervalued biasanya mengincar PBV di bawah 1, karena artinya harga saham masih lebih rendah dibanding nilai bukunya. Namun, standar PBV berbeda di setiap industri, sehingga perbandingan harus dilakukan dengan perusahaan sejenis. 

Indikator valuasi lainnya adalah price to earnings ratio (PER), yang digunakan untuk menilai apakah harga saham wajar dibandingkan dengan laba per saham (earnings per share/EPS). 

Rumus PER adalah harga saham dibagi EPS, sedangkan EPS dihitung dengan laba bersih dibagi jumlah saham beredar. 

PER = Harga Saham / Laba per Saham (EPS)

Sebagai contoh, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) mencatatkan laba bersih sebesar Rp2 triliun dengan jumlah saham beredar 24,03 miliar lembar. Maka, EPS ANTM adalah Rp84,22, dan jika harga sahamnya Rp1.785, maka PER-nya adalah 21,19. Umumnya, semakin kecil nilai PER, semakin murah saham tersebut. Namun, agar analisis lebih akurat, PER suatu saham harus dibandingkan dengan rata-rata PER sektor yang sama. Misalnya, PER saham perbankan sebaiknya dibandingkan dengan saham BBNI, BBRI, atau BMRI, bukan dengan saham pertambangan seperti ANTM. 

Kemudian jika investor ingin mempertimbangkan pertumbuhan laba perusahaan di masa depan, mereka dapat menggunakan price earnings growth (PEG), dengan rumus PER dibagi pertumbuhan EPS tahunan.

Sebagai contoh, jika perusahaan A memiliki PER 22 dan pertumbuhan EPS tahunan dari 1,74 ke 2,09 atau sekitar 20 persen, maka PEG Ratio-nya adalah 22 dibagi 20 yang menghasilkan 1,1. Investor biasanya mencari saham dengan PEG di bawah 1, yang berarti saham tersebut masih tergolong murah dibanding pertumbuhan labanya. Sebaliknya, PEG di atas 1 menunjukkan bahwa saham sudah cukup mahal.  

Dengan memahami konsep PBV, PER, dan PEG, investor bisa menghindari keputusan impulsif dan melakukan analisis mendalam sebelum membeli saham. Membaca laporan keuangan dan menggunakan indikator valuasi yang tepat akan membantu investor memilih saham yang memiliki prospek cerah dan minim risiko. (*)