KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah dunia naik pada Sabtu, 8 Maret 2025, tetapi tidak mampu bertahan di level tertingginya setelah Presiden AS Donald Trump mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap Rusia jika tidak segera mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan Ukraina.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Sabtu, Kontrak berjangka Brent naik 1,3 persen menjadi USD70,36 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) menguat 1,02 persen ke USD67,04 per barel. Sebelumnya, Brent sempat menyentuh USD71,40 dan WTI mencapai USD68,22 setelah Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak mengatakan OPEC+ tetap berencana menaikkan produksi pada April, tetapi bisa mempertimbangkan langkah lain, termasuk pemangkasan produksi.
“Kalau harga minyak tidak sesuai ekspektasi, tunggu saja sebentar,” ujar analis senior di Price Futures Group, Phil Flynn. Ia pun menyoroti volatilitas pasar yang dipicu kabar dari OPEC+ dan potensi sanksi baru terhadap Rusia.
Namun, tekanan terhadap harga minyak masih besar. Brent mencatat penurunan mingguan 3,8 persen, yang terburuk sejak November 2022, sementara WTI turun 3,9 persen, menjadi penurunan mingguan terdalam sejak Januari 2023.
Selain Rusia, kebijakan energi AS juga mempengaruhi pasar. Menteri Keuangan AS Scott Bessent menegaskan Washington berencana memangkas ekspor minyak Iran hingga titik terendah. Bahkan, pemerintahan Trump sedang mempertimbangkan inspeksi kapal tanker minyak Iran di laut sebagai langkah untuk menekan ekspor minyak negara tersebut hingga nol.
Di sisi lain, pasar tenaga kerja AS menunjukkan pertumbuhan di Februari dengan tingkat pengangguran naik tipis ke 4,1 persen. Namun, ketidakpastian kebijakan perdagangan dan pemangkasan anggaran federal yang dalam bisa menghambat ketahanan ekonomi dalam beberapa bulan ke depan.
Sementara itu, The Fed terus mengamati dampak kebijakan Trump terhadap perekonomian. Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan perubahan kebijakan yang cepat serta risiko geopolitik yang meningkat menjadi perhatian utama bagi pasar.
Harga Minyak Diprediksi Terus Melemah
Harga minyak mentah dunia diprediksi terus melemah dalam dua tahun ke depan seiring melambatnya pertumbuhan permintaan dan meningkatnya produksi global. Berdasarkan laporan terbaru dari Badan Informasi Energi AS (EIA), harga rata-rata minyak mentah Brent pada 2024 berada di level USD81 per barel sebelum turun ke USD74 per barel pada 2025 dan USD66 per barel pada 2026.
Pelemahan harga ini dipicu oleh peningkatan produksi minyak dari negara-negara di luar Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC+), sementara pertumbuhan permintaan cenderung lebih lambat dibanding periode sebelum pandemi. Meski OPEC+ berupaya menahan produksi guna menjaga keseimbangan pasar, lonjakan suplai dari negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Guyana, dan Brasil diperkirakan akan tetap mendominasi pasar.
Namun, ada faktor ketidakpastian yang bisa mengubah proyeksi tersebut. Salah satunya adalah sanksi tambahan dari Amerika Serikat terhadap sektor minyak Rusia yang diumumkan pada 10 Januari 2025. Kebijakan ini berpotensi memangkas ekspor minyak Rusia ke pasar global yang dapat mengganggu keseimbangan pasokan dan mempengaruhi pergerakan harga.
Produksi Global Terus Naik
Dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan produksi minyak global didominasi oleh negara-negara di luar OPEC+ yang mampu menutup peningkatan konsumsi dunia meski OPEC+ melakukan pemangkasan produksi. Pada 2024, produksi minyak dari negara-negara di luar OPEC+ naik sebesar 1,8 juta barel per hari (bph), sedangkan produksi OPEC+ justru turun 1,3 juta bph. Tren ini diperkirakan berlanjut hingga 2025 sebelum mulai melemah pada 2026.
Pertumbuhan terbesar berasal dari kawasan Amerika Utara dan Selatan, terutama Amerika Serikat, Kanada, Guyana, dan Brasil. Keempat negara ini meningkatkan produksi cairan minyak mereka sebesar 1,1 juta bph pada 2024 dan diproyeksikan menambah 1,0 juta bph pada 2025 serta 0,9 juta bph pada 2026.
Namun, masih ada ketidakpastian mengenai apakah mereka mampu mempertahankan laju pertumbuhan ini, mengingat adanya kemungkinan kendala kapasitas transportasi minyak serta potensi keterlambatan proyek eksplorasi baru.
Di sisi lain, OPEC+ diperkirakan akan mulai melonggarkan pemangkasan produksinya secara bertahap menjelang 2026. Meski begitu, kebijakan ini telah beberapa kali mengalami penundaan, sehingga tetap menjadi faktor ketidakpastian dalam proyeksi pasokan minyak dunia.
Produksi minyak mentah Amerika Serikat diperkirakan mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada 2025 dengan rata-rata 13,5 juta bph, sebelum naik sedikit ke 13,6 juta bph di 2026. Namun, setelah itu pertumbuhan produksi diprediksi melambat karena penurunan jumlah rig pengeboran akibat harga minyak yang lebih rendah.
Sebagian besar produksi minyak AS masih akan didorong oleh kawasan Permian Basin yang selama 15 tahun terakhir menjadi sumber utama pertumbuhan produksi minyak mentah dunia. Namun, pertumbuhannya diperkirakan tidak secepat tahun-tahun sebelumnya dan akan diimbangi oleh penurunan produksi dari basin serpih lainnya, produksi konvensional di darat, serta ladang minyak lepas pantai.
Pelemahan pertumbuhan produksi minyak AS pada 2026 menambah ketidakpastian bagi pasokan global. OPEC+ diperkirakan akan meningkatkan produksinya saat pemangkasan sukarela berakhir pada 2026, tetapi keputusan tersebut telah beberapa kali tertunda sehingga arah kebijakan mereka masih sulit diprediksi.(*)