KABARBURSA.COM - Wall Street makin babak belur setelah perang dagang dengan mitra dagang utama kian panas. Selasa kemarin, pemerintahan Trump resmi memberlakukan tarif impor baru terhadap Kanada dan Meksiko, sekaligus menggandakan tarif terhadap China. Ketiga negara itu langsung membalas dengan kebijakan serupa sehingga memicu kekhawatiran perlambatan ekonomi global.
Dilansir dari AP di Jakarta, Rabu, 5 Maret 2025, indeks S&P 500 anjlok 1,2 persen dengan lebih dari 80 persen saham yang masuk indeks utama ini ditutup di zona merah. Dow Jones Industrial Average turun lebih dalam, mencapai 1,6 persen, sementara Nasdaq yang berbasis teknologi hanya turun tipis 0,4 persen setelah sempat menyentuh level koreksi 10 persen dari puncak tertingginya. Saham raksasa seperti Nvidia dan Microsoft masih mampu menahan laju penurunan lebih lanjut.
Sektor keuangan jadi korban terbesar. JPMorgan Chase ambles 4 persen, sementara Bank of America lebih parah, jatuh 6,3 persen. Pasar Eropa pun tak luput dari kejatuhan. DAX Jerman anjlok 3,5 persen, terutama karena saham produsen mobil terkena dampak paling besar. Sementara itu, bursa Asia mengalami penurunan yang lebih moderat.
“Pasar saat ini masih kesulitan memperkirakan seberapa parah perang dagang ini bakal berdampak,” kata analis strategi investasi di Baird, Ross Mayfield. “Jelas ini eskalasi yang lebih besar dibanding apa yang terjadi di periode pertama pemerintahan Trump.”
Dampak dari ketegangan perdagangan ini bahkan sudah menghapus seluruh keuntungan pasar saham AS sejak Trump terpilih pada November lalu. Sebelumnya, reli pasar saham AS dibangun atas optimisme terhadap kebijakan ekonomi yang pro-bisnis, tapi kini investor makin waswas terhadap inflasi dan kenaikan harga barang akibat tarif impor yang semakin tinggi.
Retail dan Konsumen Kena Getahnya
Perusahaan ritel juga mulai mengeluhkan dampak perang dagang ini. Target turun 3 persen, meskipun mencatat laba lebih tinggi dari ekspektasi. Perusahaan ini memperingatkan bahwa tarif impor akan menekan margin keuntungan mereka secara signifikan di awal tahun.
Sementara itu, Best Buy mengalami kejatuhan harga saham terbesar di indeks S&P 500, anjlok 13,3 persen setelah memberikan proyeksi laba yang lebih lemah dari perkiraan dan memperingatkan dampak buruk dari tarif impor.
“Perdagangan internasional sangat krusial bagi bisnis dan industri kami,” ujar CEO Best Buy, Corie Barry. Ia menjelaskan China dan Meksiko adalah dua sumber utama produk yang dijual oleh perusahaannya, dan kenaikan tarif ini kemungkinan besar akan membuat harga barang di AS ikut melonjak.
Per Selasa ini, impor dari Kanada dan Meksiko dikenakan tarif 25 persen, sementara produk energi dari Kanada dikenakan tarif tambahan 10 persen. Tarif impor dari China yang sebelumnya 10 persen, kini dilipatgandakan menjadi 20 persen.
China langsung membalas dengan mengenakan tarif baru hingga 15 persen terhadap impor utama dari AS, termasuk ayam, daging babi, kedelai, dan daging sapi. Selain itu, Beijing juga memperketat aturan bisnis terhadap perusahaan AS. Kanada ikut membalas dengan tarif baru senilai lebih dari USD100 miliar (Rp1.650 triliun), yang akan diberlakukan dalam 21 hari ke depan. Meksiko pun mengambil langkah serupa dengan mengenakan tarif impor tambahan terhadap produk-produk dari AS.
Sementara itu, perusahaan di indeks S&P 500 baru saja menyelesaikan musim laporan keuangan mereka. Meski secara keseluruhan mencatat pertumbuhan laba 18 persen di kuartal IV, investor kini lebih pesimistis terhadap kuartal berikutnya. Awalnya, Wall Street memperkirakan pertumbuhan laba sebesar 11 persen, tapi kini ekspektasi itu dipangkas menjadi hanya 7 persen.
“Dampak ke pertumbuhan ekonomi akan menjadi hal yang paling diperhatikan di laporan keuangan perusahaan berikutnya,” ujar analis senior di Charles Schwab, Kevin Gordon.
Suku Bunga Masih Jadi Teka-Teki
Investor Wall Street makin waswas setelah serangkaian laporan ekonomi terbaru menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Rumah tangga di AS mulai pesimistis soal inflasi dan mulai mengerem pengeluaran. Padahal, selama ini konsumsi rumah tangga adalah motor utama pertumbuhan ekonomi AS di tengah suku bunga yang masih tinggi.
Pasar berharap The Fed akan terus memangkas suku bunga pada 2025, tapi bank sentral AS justru lebih hati-hati. Salah satu alasannya adalah ketidakpastian dampak perang dagang dan tarif impor terhadap inflasi. The Fed diperkirakan bakal mempertahankan suku bunga di level saat ini dalam rapat kebijakan moneter akhir Maret nanti.
Sebelumnya, The Fed sudah menaikkan suku bunga ke level tertinggi dalam dua dekade untuk menjinakkan inflasi. Pemangkasan suku bunga baru dimulai pada 2024 setelah inflasi mulai mendekati target 2 persen. Namun, inflasi masih bertahan sedikit di atas target itu, dan tarif impor baru bisa membuat harga barang naik lagi, yang berpotensi memicu inflasi baru.
Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) Treasury AS bergerak beragam. Yield Treasury 10 tahun naik ke 4,20 persen dari 4,16 persen pada Senin, meskipun masih jauh lebih rendah dari level bulan lalu yang mendekati 4,80 persen. Investor kini lebih khawatir soal daya tahan ekonomi AS dalam menghadapi ketidakpastian global.
“Tarif sudah berlaku dan tidak ada jaminan bahwa ini hanya sementara. Dampaknya mulai terasa di pasar obligasi, di mana ancaman inflasi bisa menggerus nilai obligasi bertenor 10 tahun,” ujar Kepala Strategi Investasi di CFRA, Sam Stovall.
Sementara itu, yield Treasury 2 tahun tetap stabil di 3,94 persen, menunjukkan bahwa pasar masih menunggu kejelasan dari kebijakan moneter The Fed.(*)