Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Wall Street Tergelincir usai Trump Umumkan Tarif 25 Persen

Bursa saham tergelincir juga setelah survei Institute of Supply Management (ISM) menunjukkan penurunan pada sektor manufaktur

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 04 March 2025 | Penulis: Syahrianto | Editor: Syahrianto
Wall Street Tergelincir usai Trump Umumkan Tarif 25 Persen Suasana di New York Stock Exchange (NYSE) atau dikenal Wall Street. (Foto: Pexels)

KABARBURSA.COM – Indeks utama Wall Street ditutup melemah tajam pada Senin, 3 Maret 2025 setelah Presiden Donald Trump mengumumkan pemberlakuan tarif 25 persen terhadap Kanada dan Meksiko. Selain itu, faktor kedua adalah data manufaktur Amerika Serikat (AS) menunjukkan pelemahan.

Seperti dikutip dari Reuters, indeks S&P 500 turun 104,19 poin (1,75 persen) menjadi 5.850,31, sedangkan Nasdaq Composite melemah 497,09 poin (2,64 persen) ke 18.350,19. Dow Jones Industrial Average pun terperosok 643,61 poin (1,47 persen) ke level 43.197,30.

Bursa saham mulai tergelincir setelah survei Institute of Supply Management (ISM) menunjukkan penurunan pada sektor manufaktur. Data survei ISM menunjukkan indeks manufaktur Purchasing Managers' Index atau PMI turun menjadi 50,3 pada Februari, lebih rendah dari 50,9 di Januari. Indeks pesanan baru—indikator utama untuk prospek ekonomi—bahkan menyusut ke 48,6 dari 55,1 di bulan sebelumnya. Penurunan ini mencerminkan melemahnya sentimen bisnis di tengah kekhawatiran akan dampak tarif baru.

Wall Street kemudian semakin tertekan usai Trump menegaskan bahwa tarif 25 persen terhadap Kanada dan Meksiko akan berlaku mulai Selasa, 4 Maret 2025. 

Trump menyatakan bahwa kedua negara tersebut "tidak memiliki ruang" untuk menghindari tarif ini, sementara tarif balasan dari Kanada dan Meksiko akan mulai berlaku pada 2 April.

“Saya melihat ini sebagai kelanjutan dari tren data ekonomi yang kurang baik, yang meredam optimisme dari laporan keuangan kuartal IV yang sebenarnya cukup positif,” ujar James St. Aubin, CIO Ocean Park Asset Management di Santa Monica, California.

Selain itu, ketidakpastian kebijakan Trump, termasuk soal kebijakan perdagangan dan potensi PHK, semakin membebani pasar. “Sentimen positif terpaksa mundur, sementara ketakutan akan skenario terburuk semakin dominan di kalangan investor,” tambah St. Aubin.

Laporan terbaru tentang pelemahan permintaan konsumen memicu kekhawatiran akan perlambatan ekonomi dan inflasi yang tetap tinggi. Trump juga mengancam akan mengenakan tambahan tarif 10 persen terhadap impor dari China, yang dapat memicu aksi balasan dari Beijing.

Saham perusahaan asal China yang terdaftar di AS ikut terkena dampak negatif. Nio dan JD.com masing-masing turun sekitar 6 persen dan 1 persen. Kekhawatiran akan inflasi yang persisten juga membuat Federal Reserve lebih berhati-hati dalam memangkas suku bunga, meskipun data ketenagakerjaan dan aktivitas bisnis pekan ini bisa memengaruhi keputusan Federal Reserve atau The Fed.

Di sektor otomotif, saham Tesla sempat naik setelah Morgan Stanley menetapkannya sebagai "top pick" di sektor otomotif AS, tetapi akhirnya ditutup melemah. Sementara itu, saham Intel juga kehilangan keuntungan awal setelah laporan bahwa Nvidia dan Broadcom tengah menguji produksi chip bersama perusahaan tersebut.

Hedge Fund Taruhan Besar Saham akan Turun

Hedge fund global mencatat penjualan saham bersih terbesar dalam satu tahun terakhir, didorong oleh prediksi bahwa harga saham akan turun, menurut laporan Goldman Sachs pada Jumat, 28 Februari 2025.

Periode tersebut mencakup transaksi dari 21-27 Februari, dengan sentimen pesimistis meluas di seluruh kawasan, terutama di Amerika Utara dan Asia. Hampir semua sektor terkena dampaknya, kecuali layanan komunikasi.

Di sektor kesehatan, hedge fund melakukan aksi jual bersih yang seluruhnya didorong oleh posisi short selling, mendekati level tertinggi dalam lima tahun terakhir. Padahal, selama enam minggu sebelumnya, hedge fund justru aktif membeli saham-saham di sektor ini.

Taruhan bahwa ETF berbasis saham AS akan jatuh naik 5,4 persen pekan lalu, berdasarkan data klien Goldman Sachs. Hal ini sejalan dengan pelemahan indeks MSCI global yang turun sekitar 3 persen, di tengah meningkatnya kekhawatiran akan perang dagang dan laporan Nvidia yang gagal membangkitkan reli AI di Wall Street.

“Kecepatan pengambilan risiko melambat dibandingkan beberapa bulan terakhir,” ujar Goldman Sachs dalam catatannya, menambahkan bahwa hedge fund mulai mengurangi eksposur di saham AS dan beralih ke saham Asia.

Eksposur terhadap Magnificent Seven—kelompok saham teknologi raksasa AS—telah mencapai level terendah sejak April 2023, menandakan bahwa episode pengurangan risiko hedge fund mungkin sudah mendekati tahap akhir.

Jelang Data Ketenagakerjaan AS

Selanjutnya, investor kini mengalihkan fokus ke laporan ketenagakerjaan AS yang dijadwalkan rilis pada 7 Maret 2025. Data ini dipandang sebagai tolok ukur utama kesehatan ekonomi AS di tengah serangkaian indikator yang mengecewakan.

Sentimen investor semakin terpukul oleh data ekonomi yang melemah, termasuk penurunan indeks keyakinan konsumen, aktivitas bisnis, dan penjualan ritel.

"Pasar berada dalam posisi rentan karena kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi AS semakin nyata," ujar Michael Arone, Chief Investment Strategist di State Street Global Advisors. "Jika laporan ketenagakerjaan menunjukkan tanda-tanda pelemahan, maka ketakutan terhadap perlambatan ekonomi bisa semakin meluas."

Hasil survei Reuters memperkirakan penambahan 133.000 lapangan kerja pada Februari, lebih rendah dibanding 143.000 pada Januari. Sementara itu, tingkat pengangguran diperkirakan naik tipis ke 4,0%. Investor menunggu laporan ini untuk mencari indikasi apakah pasar tenaga kerja masih cukup kuat menopang pertumbuhan ekonomi atau justru mengarah pada perlambatan.

Matthew Miskin, Co-Chief Investment Strategist di John Hancock Investment Management, menekankan pentingnya sektor ketenagakerjaan bagi perekonomian AS. "Konsumen akan terus berbelanja selama mereka merasa aman dalam pekerjaan mereka. Jika ketidakpastian meningkat, mereka bisa menahan pengeluaran, yang berpotensi memperlambat ekonomi lebih jauh," katanya.

Namun, di sisi lain, inflasi yang masih di atas target 2 persen Federal Reserve juga menjadi perhatian utama. Data ketenagakerjaan yang terlalu kuat justru bisa menimbulkan kekhawatiran bahwa inflasi akan lebih sulit dikendalikan, sehingga bank sentral harus mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama. (*)